Presiden Suriah, Ahmad Al-Sharaa, pada Kamis (17/7) dini hari menyampaikan pidato usai pengumuman kesepakatan gencatan senjata di Provinsi Suweida. Dalam pidatonya, ia menuduh Israel berupaya menggagalkan penghentian kekerasan tersebut, namun langkah itu berhasil dicegah berkat mediasi dari pihak Amerika Serikat, negara-negara Arab, dan Turki.
“Sejak tumbangnya rezim sebelumnya, entitas Israel terus berupaya menjadikan tanah kami sebagai wilayah konflik dan memecah belah rakyat kami,” ujar Sharaa. Ia menegaskan bahwa Suriah tidak akan menjadi tempat bagi ambisi pihak luar dan berjanji akan mengembalikan wibawa negara.
Terkait serangan udara Israel yang terjadi sehari sebelumnya di Damaskus dan wilayah lain di Suriah, Sharaa mengungkapkan bahwa pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit.
“Kami berada di antara dua pilihan, yaitu berperang melawan Israel atau memberi ruang bagi para pemuka Druze untuk mencapai kesepakatan. Kami memilih melindungi tanah air,” kata Presiden Suriah tersebut.
Menurutnya, pemerintah Suriah telah mengerahkan seluruh institusi negara untuk menghentikan konflik internal yang terjadi di Suweida dan berhasil mengembalikan keamanan di wilayah itu.
Mengenai kesepakatan yang dicapai dengan para tokoh Druze, Sharaa mengatakan bahwa beberapa faksi lokal dan para pemuka agama ditugaskan untuk memulihkan ketertiban. Ia menegaskan bahwa komunitas Druze merupakan bagian penting dari tatanan kebangsaan Suriah dan perlindungan terhadap mereka menjadi prioritas negara.
“Rakyat Suriah memiliki sejarah panjang dalam menolak segala bentuk pemecahbelahan. Kami adalah anak-anak negeri ini dan memiliki kemampuan melewati upaya Israel dalam memecah belah bangsa,” ujarnya.
“Suriah bukanlah tempat untuk eksperimen konspirasi luar negeri atau ambisi kekuasaan. Membangun Suriah yang baru hanya bisa tercapai dengan bersatu dan menempatkan kepentingan nasional di atas segalanya.”
Sebelumnya, pada Rabu (16/7), Israel melancarkan serangkaian serangan udara ke beberapa lokasi di Suriah, termasuk Suweida dan Damaskus. Serangan tersebut menargetkan Gedung Staf Umum, Kementerian Pertahanan, dan area sekitar Istana Kepresidenan.
Menteri Pertahanan Israel, Yisrael Katz, dalam pernyataannya menyebut bahwa masa peringatan kepada Damaskus telah berakhir dan memperingatkan akan adanya “serangan yang menyakitkan” sebagai tanggapan atas ketegangan di wilayah Druze.