Mohammed Qreiqeh dikenal luas karena kepiawaiannya bertutur. Kemampuannya itu kembali ia tunjukkan di hadapan dunia dalam sebuah laporan langsung di televisi—hanya beberapa saat sebelum dirinya tewas diterjang peluru dan ledakan Israel.
Koordinator lapangan Al Jazeera berusia 33 tahun itu termasuk di antara enam jurnalis Palestina yang gugur akibat serangan langsung dan disengaja militer Israel terhadap tenda media di dekat Rumah Sakit Al-Shifa, Kota Gaza, Ahad (10/8/2025).
Saat itu, ia tengah menyiarkan laporan tentang krisis kemanusiaan yang semakin parah di Jalur Gaza, di mana berbulan-bulan blokade telah membuat dua juta penduduk terjebak kelaparan.
Lahir pada 1992 di kawasan Shujaiya, Kota Gaza, Qreiqeh menamatkan pendidikan di Universitas Islam Gaza.
Sebelum bergabung dengan Al Jazeera, ia sempat menulis untuk sejumlah media, termasuk Middle East Eye (MEE).
Rekan kerjanya di MEE, Maha Hussaini, mengenang masa-masa bekerja bersama Qreiqeh sejak awal perang Gaza pada Oktober 2023.
Ia mengaku terkesan dengan keberanian dan dedikasi Qreiqeh.
“Saat saya terpaksa mengungsi ke Gaza selatan, Mohammed tetap bertahan di utara. Ia menolak pergi atau meninggalkan tanggung jawabnya. Ia mengumpulkan kesaksian langsung di lokasi-lokasi yang tidak bisa saya jangkau karena pembatasan Israel, bahkan merasa bertanggung jawab memberi saya informasi tentang kejahatan yang belum terliput media. Baginya, itu adalah tugas moral,” tutur Hussaini.
Menurut kantor media pemerintah Gaza, sejak awal perang Israel telah membunuh 238 jurnalis Palestina.
Banyak di antara mereka adalah kolega Qreiqeh. Dalam satu rekaman yang pernah ditayangkan, Qreiqeh memberikan penghormatan kepada Ismail al-Ghoul, jurnalis yang gugur setahun sebelumnya.
Dengan mengenakan helm pers milik almarhum, ia membacakan puisi yang penuh rasa kehilangan.
Kematian Qreiqeh terjadi di tempat yang memiliki luka mendalam dalam hidupnya: Rumah Sakit Al-Shifa.
Di kompleks inilah, setahun lalu, ibunya tewas dalam serangan Israel. Ia baru menemukan jasad sang ibu pada awal April 2024, setelah serangan dua pekan terhadap rumah sakit itu.
Dalam satu tayangan, Qreiqeh terlihat kembali ke lokasi peristirahatan ibunya, berbincang dengan saksi mata tentang kebrutalan penyerbuan tersebut.
Empat bulan setelah kehilangan ibunya, Qreiqeh harus merelakan sang adik yang meninggal akibat luka serangan Israel.
Seperti banyak jurnalis lain di Gaza, ia terpisah dari keluarganya selama berbulan-bulan. Salah satu video yang banyak dibagikan memperlihatkan dirinya menangis saat mendengar suara putrinya dari kejauhan.
Beberapa saat sebelum tewas, Qreiqeh sempat menjawab pertanyaan seputar perang Gaza dalam sebuah siaran langsung dari dalam mobil.
Menanggapi pernyataan terbaru Israel yang mengumumkan rencana menguasai penuh Gaza, ia menyelipkan secercah optimisme.
“Insya Allah—dan saya optimistis—beberapa hari ke depan akan membawa kabar berakhirnya pembantaian ini dan penderitaan yang mencekik. Semoga hari-hari mendatang penuh damai, tenang, dan kebahagiaan. Perang ini harus berakhir. Kita semua kehilangan sesuatu. Saya tidak bicara soal rumah, karena siapa pun yang membangun batu dapat membangunnya kembali. Itu bukan masalah. Allah akan memberi Ganti,” ujarnya.
Ia menambahkan, namun, semua orang di Gaza mengalami kehilangan, setiap orang punya cerita, dan setiap cerita lebih berat dari yang lain.
“Pada akhirnya, ini semua adalah ketentuan Tuhan, dan kita harus ikhlas menerimanya,” imbuhnya.