Gelombang protes terhadap perang Israel di Gaza terus membesar dan mulai mengguncang sendi-sendi dalam negeri, termasuk institusi militer.
Desakan untuk mengakhiri perang, menolak wajib militer, dan mendorong tercapainya kesepakatan pertukaran tahanan kini menggema dari berbagai kalangan. Termasuk mantan tentara, agen intelijen, hingga tenaga medis militer.
Tercatat 59 warga Israel ditahan oleh Hamas, dengan 24 di antaranya diyakini masih hidup. Seruan untuk memulangkan mereka dengan segera telah menjadi pemicu utama protes, yang kini semakin terdengar dari kalangan yang dulunya merupakan tulang punggung pertahanan negara.
Protes dari dalam tubuh militer
Times of Israel mencatat bahwa lebih dari 250 mantan agen Mossad juga menyuarakan dukungan terhadap langkah para veteran tersebut.
Mereka mendesak agar pemerintah menghentikan operasi militer dan fokus menyelamatkan para sandera, meskipun itu berarti menghentikan pertempuran sepenuhnya.
Sementara itu, Haaretz melaporkan bahwa sekitar 1.600 veteran pasukan terjun payung dan infanteri Israel telah menandatangani surat terbuka.
Mereka menuntut dihentikannya perang dan mendesak pemerintah memberi prioritas kepada pembebasan para sandera.
Dalam perkembangan lain, lebih dari 150 dokter dari korps medis cadangan militer Israel juga ikut menandatangani petisi yang dikirim kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel, Katz.
Dalam petisi tersebut, mereka mengecam perang yang dianggap lebih melayani kepentingan politik pribadi daripada tujuan keamanan nasional.
Retakan dalam struktur pertahanan
Langkah-langkah protes ini dianggap para analis sebagai pertanda adanya keretakan serius di tubuh militer dan keamanan Israel.
Pemerintah Netanyahu menghadapi tekanan dari dalam, bahkan dari tokoh-tokoh yang sebelumnya merupakan bagian dari kekuatan pertahanan negara.
Para pengamat memperingatkan bahwa membesarnya gerakan protes ini dapat berdampak langsung terhadap kesiapan tempur dan kohesi internal militer.
Hal ini terjadi di tengah situasi perang yang berlarut-larut tanpa kepastian capaian strategis.
Perang yang menguras dan tanpa tujuan jelas
Dalam analisisnya kepada Al Jazeera, jurnalis dan penulis isu Palestina Yoav Stern menyoroti beban berat yang kini dipikul militer Israel.
Mereka tak hanya menghadapi perang urban di Gaza, tetapi juga operasi militer berkelanjutan di Tepi Barat.
Ia menyebut situasi yang dihadapi Israel saat ini menyerupai perang gerilya yang menyebabkan kehancuran besar-besaran namun belum mampu memenuhi tujuan resmi yang dicanangkan pemerintah.
“Masyarakat Israel kini mulai keluar dari trauma serangan Hamas di awal perang, dan mulai menuntut kesepakatan nyata untuk memulangkan para sandera,” ujar Stern.
Penolakan layanan militer sebagai bentuk tekanan
Gelombang protes juga ditandai dengan penolakan sejumlah prajurit aktif dan cadangan untuk melanjutkan dinas militer.
Dukungan terhadap langkah ini juga datang dari sejumlah mantan pejabat keamanan. Mereka berharap tekanan ini dapat memaksa Netanyahu untuk kembali ke meja perundingan demi mencapai kesepakatan pertukaran tahanan.
Stern meyakini bahwa meluasnya penolakan ini akan berdampak besar terhadap konsep “Tentara Rakyat” yang selama ini menjadi dasar eksistensi militer Israel.
Ia juga menyebut bahwa ketidakpuasan publik terus tumbuh karena semakin banyak yang menilai bahwa perang ini telah keluar dari rel keamanan nasional dan didorong oleh ambisi politik pribadi.
Gejala krisis kepercayaan
Peneliti urusan Israel dari Arab Center for Policy Advancement, Amir Makhoul, menyebut bahwa situasi ini mencerminkan krisis kepercayaan dalam militer.
Ia menegaskan bahwa gejala ini bukan sekadar keluhan dari prajurit cadangan, tetapi telah menyentuh keluarga para prajurit aktif, yang tidak memiliki ruang untuk bersuara dalam struktur militer.
“Jika tren ini terus berlanjut, maka akan terjadi erosi dukungan terhadap kelanjutan operasi militer, terutama karena gerakan keluarga para sandera juga kian aktif dan vokal,” kata Makhoul kepada Al Jazeera.
Ia menambahkan bahwa meluasnya penolakan terhadap dinas militer dan keberlanjutan perang mengirim sinyal jelas.
Menurutnya, konflik ini tidak lagi didorong oleh kepentingan pertahanan nasional, melainkan oleh agenda-agenda pribadi para elit politik.
Titik balik tekanan publik
Menurut Makhoul, perang yang berlangsung saat ini tidak hanya gagal mencapai target militernya, tetapi juga membahayakan kehidupan sandera, prajurit, dan warga sipil.
Ia menilai bahwa gagalnya pemerintah menjelaskan tujuan jangka panjang perang ini telah memperdalam kesenjangan antara rakyat dan elit penguasa.
Di akhir analisisnya, Makhoul menyatakan bahwa gerakan yang dipimpin oleh keluarga para sandera kini menjadi simbol perlawanan baru yang melampaui batas konflik internal.
Gerakan ini, katanya, dapat menjadi pendorong utama tercapainya kesepakatan pertukaran tahanan—meskipun itu berarti mengorbankan kelanjutan operasi militer Israel di Gaza.