Puluhan warga Palestina yang dibebaskan dari tahanan Israel tiba di Jalur Gaza pada Senin (13/10/2025) sore, sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel. Momen ini memunculkan pemandangan penuh haru di Gaza, yang selama dua tahun terakhir dihantam perang tanpa henti.
Sejak pagi, ratusan warga—terdiri dari para ibu, ayah, dan anak-anak—telah memadati area sekitar Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, Gaza Selatan. Mereka menunggu kedatangan orang-orang tercinta, sambil membawa foto dan bendera Palestina. Di tengah terik matahari musim gugur, harapan dan kelelahan tampak di wajah mereka.
Bus yang membawa para tahanan melintasi perbatasan Kerem Shalom disambut sorak-sorai dan nyanyian dari warga. Sebagian besar dari mereka telah menghabiskan bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, di penjara Israel. Setibanya di Gaza, mereka langsung menjalani pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Nasser.
Umm Mahmoud Abu Oweida, warga Kamp Pengungsi Jabalia, telah menanti selama 17 bulan untuk bertemu kembali dengan putranya, Mahmoud (27), yang ditangkap dalam penggerebekan Israel pada Mei 2024.
“Seperti mimpi rasanya. Saya tak pernah membayangkan bisa memeluk anak saya lagi,” ujarnya kepada The New Arab. “Mereka menggerebek sekolah malam hari dan membawa para pria. Selama 17 bulan, saya tidak tahu apakah dia masih hidup. Mereka bilang hari ini dia ada dalam daftar, tapi saya baru percaya kalau sudah menyentuh wajahnya.”
Namun, kegembiraan itu bercampur duka. Banyak yang kembali ke kampung halaman yang telah rata dengan tanah, rumah-rumah hancur, dan keluarga yang telah tiada.
“Saya tidak percaya anak saya bisa kembali setelah delapan tahun,” kata Huda Abu Ali. “Ini hari yang kami nantikan, meski kami sudah kehilangan segalanya akibat perang.”
Abu Khaled al-Nuwairi kehilangan istri dan empat anaknya saat rumah mereka dibom. Putranya, Khaled (23), ditangkap saat menolong korban luka di Rumah Sakit Al-Shifa, April 2024 lalu.
“Mereka menangkap dia di depan mata saya,” katanya dengan suara bergetar. “Hari ini dia bebas, tapi keluarga saya sudah tiada. Kebebasan rasanya hampa tanpa mereka.”
Gencatan senjata yang memungkinkan pertukaran tahanan ini mulai berlaku sejak Jumat lalu, menghentikan dua tahun serangan udara Israel yang dimulai pada Oktober 2023. Serangan itu menewaskan lebih dari 67.000 orang, dan ribuan lainnya masih tertimbun reruntuhan.
Menurut organisasi Palestina yang memantau tahanan, Israel akan membebaskan 1.968 orang sebagai bagian dari kesepakatan ini. Di antaranya, 250 menjalani hukuman seumur hidup, 154 dideportasi dari Tepi Barat dan Yerusalem, serta 1.718 berasal dari Gaza dan ditangkap selama perang terakhir.
Ini menjadi pertukaran tahanan terbesar sejak kesepakatan tahun 2011 untuk membebaskan tentara Israel Gilad Shalit. Namun, Gaza kini berubah menjadi puing-puing, penuh duka dan kelaparan.
Kementerian Urusan Tahanan di Gaza menyambut baik pembebasan ini sebagai “langkah penting untuk mengakhiri penderitaan ribuan warga Palestina di penjara Israel”. Mereka juga mendesak komunitas internasional untuk terus menekan Israel agar membebaskan seluruh tahanan Palestina.
Sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam, menyebut kesepakatan ini sebagai “kemenangan bagi keteguhan rakyat Palestina”. Mereka mengatakan bahwa “Israel gagal membebaskan tawanan mereka dengan kekuatan dan terpaksa bernegosiasi”.
Meski disambut haru, pengamat memperingatkan bahwa kesepakatan ini memiliki implikasi politik yang mendalam.
Pengamat politik yang berbasis di Ramallah, Esmat Mansour, menyebutnya sebagai “kesepakatan kemanusiaan di permukaan, namun sarat kepentingan politik”.
“Amerika Serikat ingin mengarahkan krisis Gaza menjadi isu keamanan regional. Sementara Hamas melihat kesepakatan ini sebagai cara memulihkan legitimasi setelah setahun kehancuran,” ujarnya kepada The New Arab.
Pengamat politik di Gaza, Ahed Ferwana, menyoroti deportasi lebih dari 150 tahanan sebagai bagian dari kesepakatan ini.
“Ini menjadikan kebebasan sebagai pengasingan. Banyak dari mereka dipaksa meninggalkan rumah dan tidak tahu ke mana harus pergi,” kata Ferwana.