Seorang pemuda Gaza berjalan tertatih sejauh dua kilometer sebelum tiba di instalasi gawat darurat Rumah Sakit Hamad untuk Rehabilitasi di barat laut Gaza.
Bahunya berdarah akibat serpihan peluru tank Israel yang ditempatkan di dekat pos militer Zikim, kawasan perbatasan utara.
Tim medis berhasil menghentikan pendarahan sebelum memindahkannya ke Rumah Sakit Al-Shifa, Gaza City, untuk pemeriksaan lanjutan.
Pemuda itu, yang meminta namanya tidak dipublikasikan, bercerita bagaimana ia menempuh perjalanan lebih dari 25 kilometer dari Gaza tengah menuju pintu Zikim, mencari saudaranya yang hilang dua hari sebelumnya saat mencoba mendapatkan bantuan makanan.
Setelah berjam-jam pencarian, ia menemukan pakaian saudaranya—beserta sisa-sisa tulang yang telah dicabik anjing liar.
Namun, saat mencoba mengumpulkan jasadnya, tembakan seorang penembak jitu Israel menewaskannya seketika.
Deretan korban kelaparan
Di Rumah Sakit Hamad, pemandangan memilukan tersaji setiap hari. Sejak Juni lalu, rumah sakit ini membuka unit gawat darurat darurat untuk melayani gelombang korban serangan di sekitar Zikim.
Di ruang sempit itu, jasad dan korban luka akibat serangan terhadap warga pencari bantuan menumpuk tanpa henti.
Dokter Islam Al-Sha’arawi, salah satu tenaga medis di rumah sakit, tengah merawat seorang anak perempuan yang tertembak drone Israel di Sheikh Radwan, Gaza City.
Anak itu dibawa dengan kereta kuda setelah berhari-hari kawasan tersebut dihujani bom.
“Puncak kesibukan selalu terjadi saat bantuan masuk lewat pintu Zikim. Pernah kami harus menangani hingga 200 korban luka dalam waktu bersamaan,” tutur Al-Sha’arawi.
Dalam kondisi darurat, tim medis harus memilah pasien, mendahulukan yang paling kritis sebelum dipindahkan ke rumah sakit lain di Gaza City.
Menurut Al-Sha’arawi, sebagian besar korban yang mereka tangani tertembak di kepala oleh penembak jitu Israel.
“Banyak pasien kehilangan rahang, atau peluru meledak di kepala. Bahkan saat mengenai kaki, tembakan itu disengaja untuk menyebabkan amputasi,” ujarnya.
Kekurangan obat dan alat
Dokter Basma Najm, sejawat Al-Sha’arawi, mengeluhkan minimnya obat-obatan dan peralatan medis.
“Banyak korban datang dalam kondisi kritis, dibawa dengan tandu darurat, kereta kuda, atau berjalan kaki. Banyak yang meninggal sebelum sampai rumah sakit karena pendarahan tak tertangani,” katanya.
Sejak Juni 2025, bersamaan dengan izin Israel mengizinkan kembali distribusi bantuan ke Gaza utara, Rumah Sakit Hamad—yang didanai Qatar Fund for Development—membuka unit gawat darurat untuk menampung korban perang.
Hingga 10 September, rumah sakit ini mencatat menerima 567 jenazah dan merawat 5.974 korban luka.
Sementara itu, data khusus yang diperoleh menyebutkan bahwa total korban jiwa di kalangan pencari bantuan sejak awal perang mencapai 2.444 orang.
Dari jumlah itu, 784 meninggal di sekitar pintu Zikim, 607 di dekat pusat bantuan AS di Rafah, dan 429 di Netzarim, pusat distribusi yang dikelola lembaga AS Gaza Humanitarian Foundation.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menolak skema distribusi bantuan versi Israel. Skema itu dinilai hanya mencakup sebagian kecil Gaza, tidak menjawab kebutuhan mendesak, serta justru memaksa ribuan warga untuk berpindah secara paksa ke zona yang rentan.
PBB juga menilai langkah itu menjadikan bantuan kemanusiaan sebagai alat politik dan militer, sementara kelaparan digunakan sebagai senjata tawar-menawar.