Thursday, December 5, 2024
HomeBeritaRusia gagal bantu Assad, kelompok perlawanan kuasai Aleppo dengan mudah

Rusia gagal bantu Assad, kelompok perlawanan kuasai Aleppo dengan mudah

Rusia kesulitan mengendalikan serangan balik kelompok oposisi bersenjata di Aleppo, saat mereka bergerak cepat menuju pusat kota, lapor Middle East Eye.

Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan pada Jumat (30/11) Moskow menganggap serangan tersebut sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Suriah dan berharap rezim Bashar al-Assad dapat segera mengendalikannya.

Namun, penting untuk dicatat, Peskov tidak mengumumkan rencana Rusia untuk de-eskalasi atau menyarankan bahwa Moskow akan turun tangan secara langsung mendukung pasukan Assad seperti yang telah dilakukan sebelumnya.

Sumber keamanan Turki kepada Middle East Eye mengatakan bahwa Rusia lambat merespons perkembangan di lapangan karena mereka telah memindahkan sebagian besar kekuatan udara mereka ke Ukraina.

Akibatnya, Rusia hanya meninggalkan pasukan yang lebih kecil di Suriah, yang tidak cukup untuk mengimbangi serangan yang dipimpin oleh kelompok militan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang dimulai sejak Rabu lalu.

Omer Ozkizilcik, peneliti lembaga think tank Atlantic Council, mengatakan bahwa meskipun Rusia berusaha untuk membatasi serangan dengan menargetkan lokasi tertentu di Idlib dan wilayah lainnya di Suriah barat laut, upayanya tidak cukup untuk menghentikan serangan tersebut.

“Rusia bukanlah penonton, tetapi kita kemungkinan sedang menyaksikan batas kemampuan militer Rusia,” katanya. “Kinerja Rusia selama dua hari terakhir menunjukkan bahwa banyak kekuatan udara mereka telah dipindahkan ke Ukraina.”

Ozkizilcik menambahkan, gambar satelit dari pangkalan udara Rusia di Hmeimim, Provinsi Latakia, Suriah, menunjukkan pengurangan dramatis dalam kehadiran angkatan udara Rusia dibandingkan tahun 2019.

“Laporan dari sumber lokal mengenai aktivitas udara menunjukkan bahwa Rusia sebagian besar menggunakan model pesawat tempur yang lebih tua,” tambahnya.

Dukungan Turki

Ketegangan antara Turki dan Rusia telah meningkat baru-baru ini. Bulan ini, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengkritik Ankara karena memasok drone ke Ukraina yang telah membunuh tentara Rusia.

Meskipun Turki tidak terlibat langsung dalam serangan di Suriah, Ankara tampaknya mendukung operasi tersebut.

Operasi sebelumnya yang dilakukan pemerintah Suriah di daerah yang dikuasai oposisi telah memaksa pengungsi menuju perbatasan Turki, sebuah situasi yang semakin tidak dapat diterima oleh masyarakat Turki.

Ozkizilcik menyoroti bahwa Angkatan Udara Rusia membom sebuah pangkalan milik koalisi Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki.

Pangkalan tersebut berada di “zona aman” yang dikuasai Turki, sehingga Ozkizilcik menggambarkan serangan tersebut sebagai pesan langsung kepada Ankara.

Sejak itu, HTS dan pasukan sekutunya telah membuat kemajuan signifikan, merebut wilayah yang luas dan dengan cepat bergerak ke pinggiran kota Aleppo.

Beberapa kelompok pemberontak yang berafiliasi dengan SNA yang didukung Turki telah bergabung dalam operasi tersebut, meskipun mayoritas pasukan ini sejauh ini enggan berpartisipasi.

Sumber keamanan Turki kepada MEE pada Kamis (29/11) mengatakan bahwa operasi ini bertujuan untuk mengembalikan batas “zona de-eskalasi” Idlib, yang awalnya disepakati pada 2019 oleh Rusia, Turki, dan Iran.

Anton Mardasov, peneliti Middle East Institute (MEI), mengatakan tidak ada keraguan di Rusia bahwa serangan ini dipimpin HTS  yang didukung Turki, mengingat pasokan amunisi yang cepat dan koordinasi dengan pasukan SNA.

Dia juga mencatat bahwa pelatihan untuk drone FPV (first-person view) yang banyak digunakan oleh pemberontak Suriah dalam serangan mereka, dilaporkan dilakukan di wilayah yang dikuasai Turki musim panas lalu.

“Kemungkinan operator drone terlibat dalam operasi ini dari Idlib, karena HTS memiliki pengalaman terbatas dengan drone FPV,” kata Mardasov.

Assad lemah tanpa bantuan asing

Menurut Mardasov, serangan ini seharusnya menjadi pengingat bagi Assad mengenai kemampuannya yang sebenarnya. Sebab kekuasaannya hanya bertahan berkat dukungan dari Rusia, Iran, dan Hizbullah – yang saat ini sedang sibuk dengan konflik di Timur Tengah.

Assad, pada kenyataannya, telah dua kali menolak tawaran Ankara untuk menormalkan hubungan.

Mardasov menambahkan bahwa Angkatan Udara Rusia sebagian besar mengandalkan intelijen pemerintah Suriah yang lemah untuk mengidentifikasi target dalam upaya menghentikan serangan tersebut.

Dia juga mengungkapkan bahwa sebagian besar unit tentara Suriah baru-baru ini lebih fokus pada perdagangan dan perpajakan ketimbang operasi militer, dan kurang memiliki keterampilan perang modern.

“Dalam beberapa tahun terakhir, Suriah telah menjadi tempat bagi Rusia untuk mengirim jenderal yang tidak efektif, banyak di antaranya membuat kesalahan serius dalam mengelola pasukan di Ukraina,” katanya.

“Meskipun keterlibatannya di Ukraina, Rusia bisa mengerahkan beberapa unit penerbangan tempur ke Suriah, tetapi ini tidak akan banyak berpengaruh tanpa pertahanan yang terorganisir di lapangan, yang kemudian diikuti dengan serangan balasan.”

Jika pemberontak terus berhasil, Mardasov percaya akan ada biaya reputasi yang signifikan bagi Rusia.

Dia menyarankan bahwa Moskow mungkin akan mengambil tindakan, mungkin melibatkan Korps Afrika, penerus kelompok paramiliter Wagner, tetapi mengatakan bahwa ini akan memerlukan waktu untuk terwujud.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular