Tuesday, March 18, 2025
HomeBeritaSeorang ibu, korban terakhir dari serangan Israel terhadap Jurnalis Yerusalem

Seorang ibu, korban terakhir dari serangan Israel terhadap Jurnalis Yerusalem

Penangkapan jurnalis foto asal Yerusalem, Latifa Abdul Latif (35 tahun), pada hari Minggu kemarin kembali menyoroti isu penargetan jurnalis oleh pendudukan Israel di Yerusalem, yang terus berlangsung sejak 7 Oktober 2023.

Sejak saat itu, puluhan jurnalis menjadi sasaran, baik melalui penangkapan, pengusiran, maupun berbagai bentuk intimidasi dan penindasan lainnya.

Menurut sumber-sumber lokal, pasukan pendudukan menangkap jurnalis Latifa, seorang ibu dari seorang anak dan sebelumnya telah diusir dari Masjid Al-Aqsha.

Ia ditangkap dari rumahnya di Kota Tua dengan tuduhan menghasut dan mendukung terorisme, seperti yang diumumkan oleh polisi Israel.

Media Israel kemudian melanjutkan kampanye hasutan dan pemalsuan tuduhan terhadap dirinya.

Dalam pernyataan polisi, disebutkan bahwa mereka telah memantau aktivitas jurnalis tersebut di media sosial selama beberapa minggu terakhir. Mereka mengaku menemukan konten yang mereka sebut sebagai “menghasut,” yang dipublikasikan beberapa bulan lalu.

Konten tersebut mencakup video pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, serta unggahan tentang Izz al-Din Masalma, pelaku serangan di pos pemeriksaan terowongan pada Desember lalu.

Beberapa jam sebelum penangkapan Latifa, polisi Israel memanggil jurnalis asal Yerusalem, Lana Kamleh, ke kantor polisi Al-Maskobiya di Yerusalem. Polisi menginterogasinya selama 2 jam terkait pekerjaannya sebagai jurnalis.

Hal yang sama dialami oleh puluhan jurnalis lainnya. Beberapa di antaranya mengungkapkan bahwa mereka telah dipanggil dan diinterogasi dalam beberapa bulan terakhir.

Sementara sebagian lainnya memilih bungkam karena alasan pribadi atau profesional, sehingga sulit untuk menghitung jumlah total kasusnya.

Pengusiran dari Al-Aqsha

Dalam konteks yang sama, polisi Israel melancarkan kampanye pengusiran dari Masjid Al-Aqsha sebelum dan selama bulan Ramadan.

Aksi itu disebut sebagai langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap jurnalis dan fotografer.

Di antara mereka adalah Rami Al-Khatib, pegawai Departemen Media dan Hubungan Masyarakat di Departemen Wakaf Islam (lembaga Yordania yang bertanggung jawab atas Al-Aqsa), yang diusir dari masjid dan Kota Tua selama dua bulan.

Untuk mencegah liputan media di dalam dan sekitar Masjid Al-Aqsha, Israel mengusir jurnalis dan fotografer selama Ramadan dengan masa pengusiran yang bervariasi hingga 6 bulan.

Di antara mereka adalah Latifa Abdul Latif, Bassem Zaidani, Muhammad Abu Sunaina, Nadin Jaafar, Muhammad Dweik, Ibrahim Sanjallawi, dan Muhammad Al-Sadiq. Beberapa dari mereka bahkan ditangkap saat tengah menjalankan tugas di Al-Aqsha.

Sebelumnya, pada malam 28 Februari lalu, Israel menangkap pasangan jurnalis Muhammad Al-Sadiq dan Bayan Al-Ja’bah saat berada di dalam Masjid Al-Aqsha. Mereka ditangkap bersama 2 anak perempuan mereka.

Muhammad langsung diusir dari masjid, sementara istrinya ditahan selama beberapa jam dan dibebaskan dengan syarat tahanan rumah serta pengusiran dari rumahnya di Kamp Pengungsi Shuafat.

Dia juga dipanggil lagi untuk diinterogasi dan dijadwalkan menjalani persidangan dengan tuduhan hasutan, meskipun sedang hamil sembilan bulan.

Tuduhan hasutan

Tuduhan “hasutan” mendominasi dakwaan terhadap jurnalis Yerusalem, jika memang dakwaan resmi diajukan.

Sering kali, polisi Israel langsung mengeluarkan keputusan pengusiran tanpa pengadilan, tanpa dakwaan.

Dakwaan itu tanpa hak untuk banding secara hukum atas keputusan yang mereka sebut sebagai langkah “pencegahan” atau “perang melawan terorisme.”

Menurut data yang dirilis oleh Komite Perlindungan Jurnalis, jumlah jurnalis Palestina yang dipenjara oleh Israel adalah yang tertinggi sejak tahun 1992.

Komite tersebut menyatakan bahwa “Israel” termasuk salah satu negara dengan tingkat pemenjaraan jurnalis tertinggi.

Para jurnalis menghadapi tuduhan yang bersifat anti-negara seperti menyebarkan berita bohong atau terorisme sebagai balasan atas liputan kritis mereka.

Sementara Israel membungkam suara jurnalis Yerusalem dan menutup lensa kamera mereka.

Negara tersebut mengabaikan gelombang besar hasutan dari jurnalis dan aktivis Israel yang mendorong pembunuhan terhadap warga Palestina, serta menyebarkan foto, data pribadi, dan lokasi rumah mereka.

Contohnya adalah kelompok “Pemburu Nazi” di aplikasi Telegram dan puluhan lainnya.

Selain itu, beberapa jurnalis Israel yang dikenal luas masih bebas beroperasi dan berpindah di Yerusalem. Termasuk ekstremis Arnon Segal, salah satu penyerbu utama Masjid Al-Aqsha yang terus menghasut penghancuran masjid dan genosida di Gaza.

Di sampingnya, terdapat ekstremis Yedidya Epstein, yang menyamar sebagai jurnalis dan membuntuti warga Yerusalem dengan kameranya.

Ia menghasut penangkapan mereka, dan menghalangi pekerjaan mereka—seperti yang dia lakukan tahun lalu terhadap jurnalis Al Jazeera Najwan Samri dan jurnalis Saif Al-Qawasmi.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular