Seruan untuk mengakhiri perang genosida di Gaza menggema dalam upacara wisuda Universitas Harvard, Kamis (29/5/2025), di tengah ketegangan antara universitas bergengsi itu dan pemerintah Amerika Serikat (AS).
Mahasiswa dan sejumlah hadirin menuntut diakhirinya apa yang mereka sebut sebagai perang pemusnahan terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza.
Sementara Presiden Universitas Harvard, Alan Garber, mendapat sambutan hangat karena sikapnya menghadapi tekanan pemerintah.
Dalam prosesi wisuda tahunan itu, seorang pengunjuk rasa mengangkat poster bertuliskan bahwa perang telah menghancurkan seluruh universitas di Gaza.
Di luar lokasi acara, sekelompok demonstran berkumpul menyerukan penghentian serangan militer dan meminta diberlakukannya gencatan senjata.
Sebagian lulusan pun mengenakan keffiyeh, syal bermotif kotak-kotak yang telah menjadi simbol solidaritas terhadap Palestina.
Presiden Alan Garber disambut tepuk tangan meriah dari para mahasiswa yang menuntut dihentikannya perang.
Dalam pidatonya, Garber menyebutkan kehadiran mahasiswa internasional beserta keluarganya sebagai hal yang patut disyukuri.
Meski demikian, ia tidak secara langsung menyinggung polemik hukum yang sedang berlangsung dengan pemerintahan Trump.
Upacara wisuda tahun ini berlangsung bersamaan dengan putusan pengadilan federal yang melarang pemerintahan AS mencabut izin Harvard dalam menerima mahasiswa dan peneliti asing.
Namun, Departemen Keamanan Dalam Negeri AS menegaskan akan meningkatkan tekanannya terhadap universitas tersebut.
Pemerintahan Trump menuduh Harvard membiarkan berkembangnya sentimen anti-Yahudi serta memihak agenda liberal.
“Harvard telah menunjukkan rasa tidak hormat yang besar terhadap negara ini dan terus melangkah lebih jauh,” kata Trump dalam pernyataannya pada Rabu (28/5).
Selasa sebelumnya, pemerintah AS mengumumkan pemotongan dana federal sebesar 60 juta dollar AS untuk Harvard.
Pemotongan tersebut disebut sebagai tanggapan atas kegagalan universitas itu dalam menindak protes mahasiswa yang menentang genosida di Gaza.
Pemerintah juga menggunakan sanksi keuangan dan investigasi hukum sebagai alat untuk membungkam aktivisme mahasiswa yang menentang perang.
Gelombang protes sendiri mencuat sejak April 2024, bermula di Universitas Columbia dan dengan cepat menyebar ke lebih dari 50 kampus di seluruh AS.
Dalam gelombang protes itu, lebih dari 3.100 orang ditahan polisi, mayoritas di antaranya adalah mahasiswa dan dosen.
Situasi ini menyoroti ketegangan yang semakin tajam antara nilai kebebasan akademik dan tekanan politik yang muncul seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah.