Wednesday, May 7, 2025
HomeBeritaSultan Basha Al-Atrash: Pemimpin revolusi Suriah dari kaum Druze

Sultan Basha Al-Atrash: Pemimpin revolusi Suriah dari kaum Druze

Pada awal Maret lalu, pemimpin Druze Lebanon, Walid Jumblatt, menyampaikan pernyataan yang mengundang perhatian.

“Mereka yang pernah mempersatukan Suriah di era Sultan Basha Al-Atrash takkan menyambut ajakan Netanyahu. Israel hanya ingin memanfaatkan sekat-sekat agama dan mazhab demi keuntungannya sendiri serta memecah Kawasan,” katanya.

Ucapan Jumblatt itu seperti membawa kita kembali satu abad silam, tepatnya pada tahun 1925.

Ketika percikan pertama Revolusi Suriah Raya dimulai dari wilayah Jabal al-Arab—wilayah pegunungan di selatan Suriah yang menjadi basis komunitas Druze.

Revolusi ini dipimpin langsung oleh Sultan Basha Al-Atrash dalam perlawanan sengit melawan pasukan kolonial Prancis.

Revolusi yang semula hanya menggeliat di kota Sweida, dengan cepat meluas ke berbagai kota besar seperti Damaskus, Hama, Deir Ezzor, hingga Aleppo.

Di bawah panji perjuangan nasional, para tokoh pejuang dari berbagai latar belakang politik, ideologi, dan agama seperti Abdul Rahman Shahbandar, Fawzi al-Qawuqji, Ibrahim Hananu, dan Saleh al-Ali bersatu padu melawan kolonialisme Prancis yang membangun kekuasaan dengan semangat sektarian dan pemecah-belah.

Siapakah sebenarnya Sultan Basha Al-Atrash? Bagaimana ia mampu memimpin revolusi besar dari selatan Suriah? Dan bagaimana pula kiprahnya dalam dunia politik setelah kepergian Prancis hingga akhir hayatnya?

Latar belakang dan masa penjajahan

Sultan Basha Al-Atrash lahir pada tahun 1888 di desa Al-Qurayya, Provinsi Sweida, di selatan Suriah.

Ia berasal dari keluarga Druze terkemuka, di mana ayahnya, Zuqan Al-Atrash, dikenal sebagai pemuka lokal yang mendirikan kepemimpinan spiritual keluarga Al-Atrash sejak 1869.

Sebagai pemuda, Sultan Al-Atrash bergabung dalam militer Kesultanan Utsmaniyah. Ia bertempur di medan perang Anatolia dan Balkan, dan mendapatkan gelar “Basha” sebagai bentuk penghargaan atas jasanya.

Namun, seusai Perang Dunia I, kesadarannya akan pentingnya kemerdekaan bangsa Arab kian menguat.

Ia pun kembali ke Suriah dan menjalin hubungan erat dengan Damaskus, menjadikan desanya sebagai tempat perlindungan para pejuang nasionalis.

Sultan Al-Atrash tercatat sebagai orang pertama yang mengibarkan bendera Revolusi Arab—yang dipimpin oleh Emir Faisal bin Hussein—di tanah Syam.

Ia bahkan mengangkat bendera itu di rumahnya sebelum pasukan Faisal memasuki Damaskus.

Ketika akhirnya Damaskus dibebaskan pada 1918, ia turut serta mengibarkan bendera Arab di kantor pemerintah di Lapangan Marjeh. Atas keberanian dan peran sentralnya, Raja Faisal I kembali menganugerahinya gelar “Basha”.

Namun, ketika kawasan Syam dibagi-bagi menjadi entitas politik terpisah oleh kekuatan kolonial, otoritas Prancis menawarkan jabatan penguasa administratif wilayah Druze kepada Sultan Al-Atrash, mengingat pengaruhnya yang besar.

Tapi tawaran itu ditolak mentah-mentah. Ia menolak skema pecah-belah, dan tetap teguh pada prinsip persatuan dunia Arab.

Dalam sebuah pernyataan yang dicatat oleh penulis Hasan Amin Al-Ba’ini dalam buku Sultan Basha Al-Atrash dan Revolusi Suriah Raya, Al-Atrash menyebut bahwa Suriah yang malang mendapat bagian paling buruk.

“Negeri ini dicabik-cabik dan diperintah oleh kolonialisme murni, hingga rakyatnya merindukan masa pemerintahan Utsmaniyah,” ujarnya.

Pada musim panas 1920, ketika pasukan Prancis bergerak dari Lebanon menuju Damaskus, Al-Atrash membentuk pasukan berkuda untuk mendukung militer Arab yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Youssef Al-Azma.

Mereka bergerak menuju daerah selatan Damaskus hingga mencapai kota Barraq. Namun, kabar kekalahan tragis pasukan Arab dan gugurnya Al-Azma di medan tempur menghentikan gerak mereka. Peristiwa ini menjadi pukulan batin yang sangat dalam bagi Al-Atrash.

Ia tidak menyerah. Pada 1921, ia kembali menolak keras gagasan pembentukan negara Druze yang terpisah, sebuah ide yang menurutnya bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan Arab.

Dalam upaya menyelamatkan impian itu, ia mengirim seorang sahabatnya, Hamad Al-Barbour, untuk menyampaikan pesan lisan kepada Raja Faisal yang kala itu hendak meninggalkan Palestina melalui pelabuhan Haifa.

Isi pesannya singkat namun kuat: ajakan kepada Raja Faisal agar datang ke Jabal al-Arab untuk melanjutkan perjuangan dan mendirikan negara Arab.

Namun jawaban yang diterima Al-Atrash sangat menyakitkan.

“Katakan pada Sultan, semuanya telah terlambat,” katanya.

Ia kemudian hanya bisa berujar dengan getir, “Faisal telah mati,” seolah menyatakan bahwa impian Arab bersatu telah padam.

Prancis, yang ingin menjinakkan perlawanan dari wilayah Druze, mengirim Jenderal Gouraud pada 1921 untuk membuka negosiasi.

Hasilnya, sebuah kesepakatan dicapai yang menyatakan pendirian wilayah administratif khusus untuk Druze dengan pemerintahan semi-otonom.

Syaratnya, komunitas Druze harus mengakui mandat Prancis. Sulaiman Al-Atrash, kerabat Sultan, kemudian ditunjuk sebagai pemimpin wilayah itu.

Namun hubungan ini segera memburuk. Pada 1922, pasukan Prancis menangkap Adham Khanjar, seorang pejuang terkemuka asal Lebanon selatan, saat ia sedang dalam perjalanan mengantarkan pesan kepada Sultan Al-Atrash.

Ia dituduh hendak membunuh Jenderal Gouraud. Meski Al-Atrash mencoba menyelamatkannya, Khanjar tetap dieksekusi di Beirut pada Mei 1923. Insiden ini menyulut kemarahan besar di kalangan warga Druze.

Sebagai balasan, Sultan Al-Atrash melancarkan serangkaian serangan gerilya terhadap pasukan Prancis.

Rumahnya di Al-Qurayya dihancurkan oleh penjajah. Ia pun memimpin perlawanan selama setahun penuh, sebelum akhirnya mengungsi ke Yordania dan kemudian menyerahkan diri kepada Prancis pada 1923 melalui mediasi Inggris dalam kesepakatan gencatan sementara.

Situasi tetap panas. Setelah kematian mendadak Sulaiman Al-Atrash akibat diracun di Damaskus pada 1924, otoritas Prancis melanggar perjanjian sebelumnya dan menunjuk Kapten Carbillet sebagai gubernur baru.

Ia menerapkan kebijakan keras: kerja paksa, penangkapan sewenang-wenang, politik adu domba antarwarga, dan menargetkan keluarga Al-Atrash sebagai musuh utama.

Tekanan yang meluas ini akhirnya menyulut pemberontakan rakyat. Demonstrasi besar-besaran meletus di Sweida dan menjalar ke berbagai penjuru negeri.

Dari titik inilah Revolusi Suriah Raya benar-benar dimulai, membawa semangat nasionalisme yang menyatukan berbagai kelompok dalam satu perlawanan besar melawan penjajahan.

Revolusi Suriah raya

Pelanggaran yang terus-menerus dilakukan oleh pasukan Prancis terhadap masyarakat Jabal al-Arab di bawah pimpinan Kapten Carbillet, memicu masyarakat Druze untuk mengirimkan delegasi resmi ke Beirut pada 6 Juni 1925.

Mereka menuntut agar Carbillet digantikan dengan seorang gubernur Druze.

Politikus Suriah Abdul Rahman Shahbandar, yang dikenal sebagai otak di balik Revolusi Suriah Raya, mencatat dalam memoirnya berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh Carbillet dan anak buahnya.

Seperti penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan tanpa pengadilan, hingga pemaksaan denda dan penghinaan publik terhadap tokoh-tokoh lokal di Sweida.

Bahkan, pejabat lokal seperti Fahd Bek Al-Atrash, penguasa daerah Salkhad, dipukuli tanpa penyelidikan lebih lanjut.

Penolakan dari Komisioner Tinggi Prancis, Maurice Paul Sarrailh, untuk menerima delegasi tersebut dan ancamannya untuk mengusir mereka ke Tadmur (Palmyra), menjadi pemicu utama pecahnya Revolusi Suriah Raya.

Sultan Basha Al-Atrash segera mengadakan pertemuan besar di Sweida, yang bertepatan dengan demonstrasi massal di desa-desa dan kota-kota, serta memulai koordinasi dengan para pemimpin politik di Damaskus, termasuk Shahbandar.

Shahbandar, yang sadar bahwa negara berada di ambang pemberontakan besar, bergerak untuk memperluas gerakan perlawanan bersenjata, dengan tujuan untuk mengobarkan revolusi di berbagai wilayah Suriah guna melemahkan kekuatan militer Prancis.

Ia mulai meningkatkan komunikasi dengan tokoh-tokoh penting di berbagai kota, menyerukan perlawanan bersenjata dan menantang penjajahan.

Salah satu langkah pentingnya adalah berkoordinasi dengan Ibrahim Hananu, seorang pemimpin perlawanan yang sudah mulai melawan Prancis sejak 1920 di wilayah utara Suriah.

Aktivitas revolusioner di wilayah ini terus berlanjut hingga April 1926, dengan pertempuran-pertempuran besar seperti Pertempuran Tel Ammar pada musim semi 1925.

Hal itu menjadi salah satu momen penting perlawanan di utara, yang berfokus pada pembebasan Suriah dan pencapaian kemerdekaannya.

Dalam upaya memperluas Revolusi Suriah Raya, Shahbandar juga berkoordinasi dengan para pemimpin dari berbagai daerah untuk memperluas penyebaran perlawanan ke wilayah timur dan utara.

Seperti yang dicatat oleh sejarawan Stephen Longrigg dalam bukunya History of Syria and Lebanon under the Mandate, para pemberontak dari Sweida mendeklarasikan sebuah pemerintahan nasional yang bersatu.

Pemerintah Nasional itu terdiri dari para pemimpin suku Druze dan nasionalis yang berasal dari kota-kota, menjadikan ini sebagai bentuk kedekatan yang signifikan antara Damaskus dan Sweida, yang memberikan revolusi karakter baru dan bersifat inklusif.

Sebagai respons, pasukan udara Prancis melancarkan serangan udara yang menghancurkan desa-desa dan menewaskan banyak warga sipil.

Hal ini memicu persidangan para pemberontak di Aleppo, sementara Shahbandar terus berkomunikasi dengan Fawzi al-Qawuqji, yang juga telah memulai perlawanan di Hama sebagai protes terhadap kebijakan kolonial Prancis dan pemecahan wilayah Suriah.

Qawuqji meraih kemenangan besar di gurun, yang kemudian memberi wewenang lebih besar kepadanya untuk melanjutkan perjuangan di wilayah Ghouta.

Di Jabal al-Arab, Sultan Basha Al-Atrash mengungkapkan adanya konspirasi Prancis untuk mengasingkan para pemimpin lokal ke Tadmur dan Al-Hasakah, yang mempercepat deklarasi revolusi pada 21 Juli 1925.

Ia mengeluarkan sebuah pernyataan bersejarah yang menyerukan seluruh rakyat Suriah untuk melawan penjajahan.

Gerakan-gerakan revolusioner dimulai dengan membakar kantor Komisi Tinggi di Salkhad, diikuti dengan kemenangan di Pertempuran Kufr dan Pertempuran Al-Mazra’a, yang membuat pasukan Prancis menderita kerugian besar dan memaksa Paris untuk mengirimkan pasukan besar di bawah komando Jenderal Michaux.

Seiring dengan meningkatnya intensitas revolusi, Partai Rakyat mulai berkomunikasi dengan Sultan Al-Atrash untuk memperluas pemberontakan ke Damaskus.

Namun, serangan ini gagal karena kekuatan yang tidak cukup besar. Sebagai gantinya, para pemberontak berfokus untuk menghadapi serangan besar Prancis di al-Mseifra, di mana mereka memberikan kerugian besar pada musuh sebelum mundur di bawah serangan udara.

Perlawanan di Hama yang dipimpin oleh Qawuqji turut mengurangi tekanan terhadap Sweida, yang membuat pasukan Prancis terpaksa mundur sementara.

Sementara itu, revolusi ini meluas ke wilayah Ghouta Damaskus, yang dipimpin oleh pejuang Hassan al-Kharrat.

Salah satu pertempuran paling sengit adalah “Pertempuran Al-Zor Pertama” di Mleiha. Tak lama kemudian, pemberontakan meletus di dalam Damaskus pada Oktober 1925, ketika para pemberontak menguasai kawasan Shaghour dan Midan.

Prancis membalas dengan serangan artileri berat dari benteng kota yang menghancurkan ratusan rumah.

Perlawanan terus berlangsung di tempat-tempat seperti Al-Zor Kedua, Yalda, dan Nabek, sementara di selatan, revolusi semakin meluas dari Jabal al-Arab ke Hossayba dan Rashaya.

Pemberontak bahkan berhasil menguasai benteng setelah pertempuran sengit, meskipun mereka segera menghadapi kesulitan besar karena kekurangan persenjataan dan pasokan.

Menghadapi kekurangan senjata, para pemberontak dari selatan, yang dipimpin oleh Sultan Basha Al-Atrash, terpaksa mengungsi ke Yordania dan wilayah utara Jazirah Arabia.

Prancis kemudian mengeluarkan hukuman mati untuk Sultan Al-Atrash, yang memaksanya tinggal di pengasingan hingga kembali pada 1937 setelah pengampunan yang diberikan setelah penandatanganan Perjanjian 1936 yang mengatur kemerdekaan Suriah dan berakhirnya mandat Prancis. Ia disambut sebagai pahlawan saat kembali ke Damaskus.

Seperti yang ditulis oleh Mohammad Nadhir Sinan dalam bukunya Why Syria, dalam sebuah wawancara setelah kemerdekaan, Sultan Al-Atrash ditanya oleh seorang jurnalis Jerman tentang bagaimana ia akan merangkum keberanian para pejuang revolusi.

“Tak ada batu di tanah ini yang tidak kami balik dengan kuda kami, tak ada setetes debu pun yang tidak kami sirami dengan darah kami,” jawabnya. Hal ini mencerminkan pengorbanan besar para pejuang.

Dalam memoirnya Peristiwa Revolusi Suriah Raya, Sultan Al-Atrash juga menceritakan bagaimana perjuangan para pemberontak dari Jabal dan Ghouta.

Mereka berhasil membebaskan banyak warga sipil dari wilayah Golan yang sebelumnya ditawan oleh milisi pro-Prancis, yang mengarahkannya ke daerah berlumpur yang dikenal dengan nama Naqat Jamra.

Scene tragis tersebut kembali membangkitkan semangat para pejuang, yang melawan dengan penuh keberanian.

Al-Atrash menggambarkan adegan memilukan di mana anak-anak dan perempuan terperangkap dalam lumpur, dengan luka-luka yang terkontaminasi tanah, sementara seorang ibu terbunuh oleh peluru Prancis saat anaknya sedang menyusui.

Salah satu kerabat wanita tersebut menggendong bayi itu, seraya berteriak, “Ia menyusui darah!”

Sebuah teriakan yang mengguncang hati nurani dan menggambarkan penderitaan besar yang dialami oleh rakyat sipil akibat kekejaman penjajah pada saat itu.

Kemerdekaan dan kematian Sultan Basha al-Atrash

Perjuangan Sultan Basha al-Atrash tidak berakhir dengan selesainya Revolusi Suriah Raya. Ia terus memperjuangkan kedaulatan nasional Suriah dalam berbagai fase sejarah modern negara ini.

Pada tahun 1945, setahun sebelum kepergian pasukan Prancis, ia memainkan peran kunci dalam mengusir pasukan Prancis dari Jabal al-Arab.

Sultan Basha al-Atrash memimpin putra-putra daerah tersebut untuk mengepung dan mengusir pasukan Prancis dari wilayah mereka, menjadikan Sweida sebagai salah satu kota pertama di Suriah yang dibebaskan dari penjajahan Prancis.

Sebagai balasan, Prancis melancarkan serangan udara yang berdarah pada 29 Mei, yang menargetkan Damaskus, Sweida, dan beberapa daerah lainnya, yang kemudian dianggap sebagai awal dari berakhirnya kehadiran Prancis di Suriah.

Setelah penjajah Prancis meninggalkan Suriah, Sultan al-Atrash menjadi salah satu tokoh pertama yang menyerukan pembentukan tentara Arab bersatu pada tahun 1948 untuk membebaskan Palestina.

Berkat dorongan dan panggilan untuk berjuang tersebut, ratusan pemuda dari Jabal al-Arab ikut berpartisipasi, dengan sekitar 80 dari mereka yang gugur di medan perang di Palestina.

Cerita ini diceritakan oleh Sultan al-Atrash dalam memoarnya yang disunting dan dipresentasikan oleh putranya, Mansour, yang diterbitkan pada tahun 2008.

Selama masa pemerintahan Adib al-Shishakli, Sultan al-Atrash mengalami pembatasan karena sikapnya yang menentang kediktatoran.

Hal ini memaksanya untuk meninggalkan negara pada awal tahun 1954, setelah meningkatnya protes mahasiswa dan penahanan terhadap putranya, Mansour al-Atrash.

Ketegangan ini berujung pada pertempuran bersenjata yang membuat pasukan Shishakli mengebom Jabal al-Arab.

Seperti yang dicatat oleh Mohammad Alwan dalam bukunya Masalah-Masalah Timur Tengah. Setelah jatuhnya rezim Shishakli, Sultan al-Atrash kembali ke Suriah.

Pada bulan Desember 1966, setelah terjadinya kudeta militer yang dipimpin oleh Salah Jadid dan Hafez al-Assad, yang mengakibatkan penangkapan sejumlah perwira dan politisi Druze serta pembunuhan terhadap beberapa tokoh.

Termasuk Selim Hatoum yang gagal dalam percobaannya menggulingkan Hafez dan Jadid, Sultan al-Atrash mengirimkan telegram keras kepada pemerintahan baru, memperingatkan mereka tentang akibat-akibat dari kebijakan mereka.

“Anak-anak kami di penjara sedang berpuasa, kami memegang kalian bertanggung jawab atas hasilnya. Gunung ini -dan masih tetap- telah terbiasa dengan revolusi. Kami hanya akan membatasi diri pada negosiasi untuk saat ini,” ia menulis dalam telegram tersebut sebagaimana tercatat dalam laporan surat kabar Al-Nahar Lebanon pada waktu itu.

Di kemudian hari, Sultan al-Atrash mengabdikan tahun-tahun terakhir hidupnya untuk kegiatan sosial dan pembangunan di Jabal al-Arab, menghindari jabatan politik meskipun banyak tawaran yang datang kepadanya setelah kemerdekaan.

Ia tetap berpegang pada peran simboliknya sebagai seorang pemimpin yang bebas dan dihormati oleh semua pihak.

Sultan al-Atrash meninggal dunia pada Maret 1982, meninggalkan warisan sebagai salah satu tokoh pahlawan nasional terbesar dalam sejarah Suriah.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular