Sejak kemerdekaan masing-masing—Lebanon pada tahun 1943 dan Suriah pada 1946—relasi antara kedua negara bertetangga ini dibayangi oleh ketegangan yang kerap kali mencuat akibat perbedaan pandangan politik dan ideologi.
Elit politik Suriah selama bertahun-tahun memandang Lebanon sebagai bagian alami dari Suriah Raya. Sementara Lebanon menapaki jalur berbeda dengan sistem politik dan ekonomi yang lebih liberal dan terbuka ke Barat.
Sebuah kajian dari Pusat Studi Al Jazeera bertajuk “Suriah dan Lebanon: Dari Ketegangan Menuju Kerja Sama” karya peneliti politik Timur Tengah, Ziad Majed, menyoroti dinamika sejarah relasi 2 negara ini serta tantangan dan peluang menuju fase baru kerja sama yang lebih erat.
Jejak panjang ketegangan
Sejarah mencatat sejumlah peristiwa penting yang memperkeruh hubungan Beirut-Damaskus.
Mulai dari pemisahan bea cukai pada 1950, rangkaian kudeta militer di Suriah, hingga pembentukan Republik Arab Bersatu antara Suriah dan Mesir yang memicu perpecahan pendapat di kalangan elite Lebanon.
Ketegangan makin memuncak kala Presiden Hafez al-Assad mengambil alih kekuasaan di Suriah pada 1970.
Suriah kian aktif menggunakan Lebanon sebagai panggung perluasan pengaruh regional, terlebih setelah meletusnya perang saudara Lebanon pada 1975.
Intervensi militer Suriah yang dibungkus legitimasi Arab dan Amerika Serikat semakin mengokohkan posisi Damaskus di Beirut.
Masuknya Iran ke dalam orbit konflik juga melahirkan Hizbullah pasca invasi Israel ke Lebanon pada 1982.
Suriah kian memperkuat kendali atas Lebanon usai bergabung dalam koalisi internasional melawan Saddam Hussein pada 1990.
Kendali politik dan keamanan Suriah di Lebanon berlangsung hingga gelombang protes besar-besaran menyusul pembunuhan mantan Perdana Menteri Lebanon, Rafik Hariri, pada 2005 memaksa Suriah menarik pasukannya.
Namun dinamika politik tidak berhenti. Munculnya poros-poros kekuatan baru, keretakan internal, dan bentrokan domestik di 2008 menuntun pada Perjanjian Doha sebagai upaya menstabilkan situasi di Lebanon.
Runtuhnya rezim Assad dan efek domino
Di pihak Suriah, gelombang revolusi Arab mencapai Damaskus pada 2011. Protes rakyat berubah menjadi konflik bersenjata yang berlarut-larut.
Iran dan Hizbullah turun tangan menyokong rezim Bashar al-Assad, diikuti Rusia pada 2015. Namun sejak 2019, tekanan ekonomi, korupsi, dan isolasi internasional makin menggoyahkan rezim Assad, terlebih setelah Rusia terlibat dalam perang Ukraina.
Puncaknya terjadi pada akhir 2024. Serangan kelompok oposisi yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham meluluhlantakkan pertahanan rezim.
Satu per satu kota jatuh, hingga akhirnya pada 8 Desember 2024, Assad melarikan diri dan rezimnya runtuh. Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Ahmad al-Sharaa, diangkat sebagai kepala pemerintahan transisi.
Namun sekitar seperempat wilayah Suriah masih berada di bawah kendali pasukan Kurdi dan kehadiran militer Amerika Serikat (AS).
Israel juga turut memanfaatkan kekacauan ini dengan menggencarkan serangan udara dan memperluas pendudukan di Dataran Tinggi Golan serta wilayah-wilayah perbatasan Lebanon.
Transisi politik di Lebanon
Di saat Suriah mengalami pergolakan besar, Lebanon pun memasuki babak baru. Setelah serangkaian konflik dan tekanan internasional.
Terutama dari AS dan Arab Saudi, serta mediasi Prancis dan Qatar, para elit politik Lebanon mencapai kesepakatan.
Jenderal Joseph Aoun, Panglima Angkatan Bersenjata Lebanon, terpilih sebagai Presiden Republik.
Nawak Salam—mantan Duta Besar Lebanon untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan hakim di Mahkamah Internasional—ditunjuk sebagai Perdana Menteri untuk membentuk pemerintahan penyelamat.
Namun, Lebanon masih harus menghadapi konsekuensi perang dengan Israel yang menewaskan sejumlah besar pemimpin Hizbullah, termasuk Sekjen Hassan Nasrallah. Infrastruktur hancur di selatan dan pinggiran Beirut, serta eksodus besar-besaran warga sipil.
Israel masih menolak mundur dari lima titik pendudukan baru di wilayah Lebanon, dan isu normalisasi hubungan diplomatik menjadi bagian dari negosiasi regional yang lebih luas.
Tantangan berat di depan mata
Di Suriah, tantangan utama meliputi:
- Menjaga stabilitas keamanan dan mencegah aksi balas dendam.
- Menyatukan militer dan mengintegrasikan kelompok bersenjata.
- Menyelesaikan isu Kurdi dan menarik pasukan asing.
- Memulai rekonstruksi, menghapus sanksi, dan memastikan kembalinya para pengungsi.
- Menyusun konstitusi baru dan menggelar pemilu.
- Memulihkan wilayah yang diduduki Israel.
Sementara di Lebanon, tantangan tidak kalah kompleks:
- Reformasi keuangan dan perbankan, menarik investasi, serta menyelesaikan krisis listrik dan air.
- Rekonstruksi wilayah selatan dan suburbia Beirut.
- Penolakan terhadap normalisasi dengan Israel dan penguatan kedaulatan negara.
- Penataan ulang strategi pertahanan nasional termasuk masa depan Hizbullah.
- Penataan kembali kamp pengungsi Palestina dan pemulangan pengungsi Suriah secara terorganisir.
5 pilar kerja sama baru
Terlepas dari sejarah kelam, masa depan hubungan Lebanon-Suriah kini membuka ruang kolaborasi di berbagai bidang:
- Pemulangan Pengungsi: Koordinasi untuk menjamin kepulangan yang aman dan bermartabat.
- Rekonstruksi: Kolaborasi dalam mengakses bantuan internasional.
- Penetapan Batas Darat: Termasuk status wilayah Shebaa yang masih diduduki Israel, serta pengawasan terhadap penyelundupan.
- Penetapan Batas Laut: Kerja sama eksplorasi minyak dan gas di perairan Mediterania.
- Koordinasi Diplomatik: Menghadapi ancaman Israel dan memperjuangkan hak atas wilayah masing-masing.
Menuju masa depan bersama
Meski tetap ada perbedaan sistem dan filosofi politik antara kedua negara, kerja sama Suriah-Lebanon bukan hanya memungkinkan, tapi juga mendesak.
Dengan sokongan komunitas internasional dan negara-negara Arab, integrasi ekonomi dan keamanan regional bisa menjadi pintu keluar dari krisis panjang yang menjerat keduanya.