Suriah pada Senin (15/9/2025) memulai pemilihan umum pertama sejak kejatuhan rezim Bashar al-Assad pada Desember lalu. Pemilu ini akan membentuk parlemen baru pasca-pemerintahan Baath yang telah berkuasa selama beberapa dekade digulingkan oleh kelompok pemberontak Islamis.
Pemungutan suara untuk memilih 210 anggota Majelis Rakyat dijadwalkan berlangsung hingga Sabtu, dengan kemungkinan diperpanjang apabila diperlukan. Di bawah sistem baru yang diperkenalkan oleh pemerintahan transisi Presiden Ahmed al-Sharaa, anggota parlemen tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan melalui kolese elektoral lokal.
Dua pertiga kursi akan ditentukan oleh komite-komite pemilihan daerah, sementara sisanya—sebanyak 70 kursi—akan ditunjuk langsung oleh Presiden Al-Sharaa.
Pemilu Tanpa Suara di Wilayah Minoritas
Pemungutan suara tidak dilakukan di provinsi mayoritas Druze di Suweida, serta di dua wilayah otonom yang dikuasai Kurdi, yakni Raqqa dan Hasakah. Ketiga wilayah tersebut masih berada dalam ketegangan politik dengan pemerintah pusat, di tengah kekhawatiran akan meningkatnya pengaruh kelompok Islamis dalam pemerintahan.
Pemerintah mengakui kesulitan untuk mengintegrasikan kembali wilayah-wilayah tersebut ke dalam sistem pemerintahan nasional, terutama setelah meningkatnya kekerasan sektarian di wilayah pesisir Suriah dan Suweida dalam beberapa bulan terakhir.
Akibat absennya pemungutan suara di wilayah-wilayah tersebut, sebanyak 19 kursi di Majelis Rakyat akan dibiarkan kosong hingga situasi memungkinkan diadakannya pemilu lanjutan.
Penggunaan sistem komite dalam menentukan anggota parlemen menuai kritik dari sejumlah pihak, yang mempertanyakan transparansi dan keterwakilan dalam proses pemilihan. Namun, pemerintah membela sistem ini dengan alasan situasi keamanan yang belum stabil, tantangan demografis, serta kendala administratif yang dihadapi selama masa transisi.
Para pejabat menyatakan bahwa pemilu langsung belum memungkinkan mengingat jutaan warga Suriah masih mengungsi di dalam negeri, dan pemerintahan saat ini masih berada dalam fase transisi.
Pada bulan Maret lalu, Presiden Al-Sharaa telah menandatangani konstitusi sementara yang menetapkan masa transisi selama lima tahun menuju pemilihan presiden yang baru.
Konstitusi tersebut memberikan wewenang luas kepada presiden, termasuk dalam hal pembentukan undang-undang, penunjukan anggota parlemen, dan pengangkatan hakim.


