Seorang sumber resmi dari pemerintah Suriah mengecam keras upaya memanfaatkan peristiwa kekerasan di Provinsi Suweida dan wilayah pesisir sebagai alasan untuk menolak tunduk pada otoritas negara, atau untuk meragukan niat pemerintah pusat.
Dalam pernyataannya kepada saluran televisi Al-Ikhbariya Al-Suriyah, sumber tersebut menyebut tindakan semacam itu sebagai “upaya terang-terangan untuk memanipulasi opini publik dan memutarbalikkan fakta.”
Tanggapan atas Negosiasi dengan SDF
Terkait negosiasi yang tengah berlangsung dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), sumber pemerintah menegaskan bahwa negara Suriah “tidak pernah dan tidak akan menerima” bentuk tekanan atau prasyarat yang bertentangan dengan prinsip kesatuan negara dan lembaga-lembaga kedaulatannya.
“Dialog nasional yang sejati tidak boleh berlangsung di bawah tekanan senjata, atau melalui intervensi asing, melainkan harus berlandaskan pada komitmen terhadap kesatuan wilayah dan legitimasi negara,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa pernyataan terkait “penolakan menyerahkan senjata” dan “keinginan mempertahankan blok militer independen” tidak dapat diterima, dan bertentangan dengan prinsip pembentukan angkatan bersenjata nasional yang bersatu.
Pernyataan tersebut juga menyebut bahwa upaya mempertahankan status bersenjata dan kecenderungan separatis hanya akan menambah ketegangan, dan bahwa setiap seruan untuk membentuk “identitas terpisah” merupakan bentuk separatisme yang ditolak dalam kondisi apa pun.
Perkembangan di Suweida
Sejak Minggu malam, Provinsi Suweida mengalami gencatan senjata setelah bentrokan bersenjata selama sepekan antara kelompok Druze dan suku Badui. Menurut Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah, bentrokan tersebut menyebabkan sedikitnya 814 orang tewas dan lebih dari 900 lainnya luka-luka.
Perjanjian antara Pemerintah dan SDF
SDF saat ini menguasai wilayah luas di utara dan timur Suriah, termasuk ladang minyak dan gas utama yang sangat dibutuhkan oleh Damaskus. Kelompok tersebut juga mengelola kamp dan pusat penahanan yang menampung ribuan anggota ISIS, termasuk warga asing.
Pada 10 Maret lalu, Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa dan pemimpin SDF Mazloum Abdi menandatangani perjanjian penting di Damaskus. Perjanjian tersebut mencakup penghentian total pertempuran, integrasi lembaga sipil dan militer SDF ke dalam struktur negara Suriah, termasuk pengelolaan perbatasan, bandara, dan ladang minyak.
Perjanjian itu juga menjamin hak semua warga Suriah untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik tanpa diskriminasi, serta mengakui komunitas Kurdi sebagai bagian asli dari bangsa Suriah.
Kedua pihak berkomitmen memfasilitasi kembalinya para pengungsi, melawan sisa-sisa rezim Bashar al-Assad, serta menolak segala bentuk upaya pemecah-belah atau hasutan sektarian. Seluruh isi perjanjian direncanakan akan diimplementasikan secara penuh sebelum akhir tahun ini.