Kepercayaan publik Israel terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, pemerintahannya, dan militer terus merosot tajam di tengah konflik yang berkepanjangan di Gaza dan meningkatnya ketegangan dengan Iran.
Sebuah survei terbaru yang dirilis pada Ahad (3/8/2025) oleh Institute for National Security Studies (INSS), lembaga riset berbasis di Tel Aviv, menunjukkan bahwa 76 persen warga Israel menyatakan telah kehilangan kepercayaan pada pemerintahan Netanyahu, yang berkuasa sejak Desember 2022.
Penurunan ini semakin terasa selama konflik 12 hari antara Israel dan Iran yang pecah pada 13 Juni lalu. Selama periode tersebut, kepercayaan publik terhadap pemerintah turun dari 30 persen menjadi 23 persen. Sementara itu, kepercayaan terhadap Netanyahu pribadi turun dari 35 persen menjadi 30 persen.
Survei juga mengungkapkan penurunan kepercayaan terhadap militer Israel, yang sebelumnya dianggap sebagai salah satu lembaga paling dihormati di negara itu. Kepercayaan publik terhadap militer turun dari 83 persen menjadi 77 persen.
Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Eyal Zamir, mengalami penurunan dukungan dari 69 persen menjadi 62 persen. Kepercayaan terhadap juru bicara militer juga melemah, dari 63 persen menjadi 56,5 persen.
Lebih jauh lagi, hanya 53 persen responden yang menilai tujuan utama perang di Gaza — yakni mengakhiri kekuasaan Hamas dan membebaskan para sandera — telah tercapai secara penuh atau sebagian. Sebanyak 28 persen menyatakan pesimis bahwa kemenangan di Gaza bisa diraih.
Pemerintah Israel memperkirakan masih ada sekitar 50 warganya yang ditawan di Jalur Gaza, dengan sekitar 20 orang diyakini masih hidup.
Pihak oposisi Israel dan keluarga para sandera menyalahkan Netanyahu atas berlarut-larutnya konflik. Mereka menuduh sang perdana menteri mempertahankan perang demi menjaga dukungan dari mitra koalisinya yang berhaluan sayap kanan ekstrem.
Dalam survei yang sama, sebanyak 42 persen warga Israel menyatakan tidak percaya bahwa tujuan perang akan tercapai, baik secara penuh maupun sebagian.
Sebagian besar responden (61 persen) meyakini bahwa strategi militer Israel saat ini tidak membantu pembebasan para sandera. Hanya 20,5 persen yang percaya kebijakan yang ditempuh mampu menumpas Hamas, dan 25,5 persen yang percaya kebijakan tersebut dapat sekaligus mengalahkan Hamas dan membebaskan para tawanan.
Publik Israel juga terbelah soal kegagalan mencapai kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran sandera. Sebanyak 52 persen menyalahkan pemerintah atas kebuntuan tersebut, sementara 45 persen menyalahkan Hamas sepenuhnya.
Mengenai isu perlucutan senjata Hamas, 52 persen responden yakin hal itu mungkin dicapai, namun 41,5 persen tidak percaya itu bisa terjadi.
Di sisi lain, Hamas pada Sabtu lalu menegaskan tidak akan menyerahkan senjata kecuali jika negara Palestina yang merdeka dan berdaulat sepenuhnya didirikan.
Sejak 7 Oktober 2023, militer Israel telah menggencarkan serangan ke Jalur Gaza. Data terbaru menyebutkan lebih dari 60.400 warga Palestina tewas, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.
Pada November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait operasi militernya di Gaza.