Friday, November 28, 2025
HomeBeritaTak ada buku, tak ada bangunan kelas—anak Gaza tetap datang ke sekolah

Tak ada buku, tak ada bangunan kelas—anak Gaza tetap datang ke sekolah

Setelah dua tahun perang menghentikan pendidikannya, Layan Haji, 11 tahun, kini berjalan menyusuri reruntuhan Kota Gaza menuju ruang kelas darurat. Tenda-tenda yang didirikan di dalam bangunan rusak menggantikan dinding berwarna dan karya seni yang dulu memenuhi sekolahnya.

“Saya berjalan setidaknya setengah jam. Jalannya hancur penuh puing. Sulit dan menyedihkan,” ujar Haji yang mengenakan kemeja robek dan celana tambalan.
Namun ia mengaku tetap bahagia bisa kembali belajar. “Saya senang kembali ke pelajaran,” tutur gadis kecil yang bercita-cita menjadi dokter itu.

Haji adalah satu dari 900 murid yang kini bersekolah di Al-Louloua al-Qatami, salah satu dari sejumlah sekolah yang kembali membuka pintu demi memberikan kesempatan bagi anak-anak melanjutkan pendidikan untuk pertama kalinya sejak perang Israel-Hamas pecah.

“Kami tidak punya buku atau buku tulis. Perpustakaan dibom dan hancur,” kata Haji, yang tinggal di kamp pengungsian di Tal al-Hawa, Gaza City. “Tidak ada apa-apa lagi,” ujarnya.

Sebulan setelah gencatan senjata rapuh mulai berlaku, Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) dan Kementerian Pendidikan Gaza menyatakan bahwa anak-anak mulai kembali ke sekolah di wilayah-wilayah yang tidak berada di bawah kendali militer Israel.

‘Pekerjaan Berat’

Said Sheldan, 16 tahun, mengatakan sangat gembira bisa kembali bersekolah setelah perang mereda.
Namun ia mengakui kondisinya masih jauh dari layak. “Saya tidak punya buku, pulpen, tas. Tidak ada kursi, listrik, atau air—bahkan jalan pun tidak ada,” ujarnya.

Sebelum masuk kelas, Sheldan harus mengurus kebutuhan dasar keluarga. “Setiap pagi saya mengambil air dan antre untuk roti,” katanya. Keluarganya telah mengungsi “10 kali” dan “tidak lagi memiliki rumah.”

Kepala sekolah, Iman al-Hinawi (50), berharap pihaknya bisa segera menyediakan buku dan perlengkapan secara gratis. Namun ia menekankan bahwa perang telah memaksa anak-anak Gaza melakukan “pekerjaan berat” untuk membantu keluarga, terutama jika pencari nafkah tewas.

“Mereka mengumpulkan kayu bakar, mengambil air, dan mengantre makanan,” katanya, menggambarkan kondisi di wilayah yang sebelumnya dinyatakan mengalami kelaparan oleh PBB.

AFP melaporkan suasana yang diwarnai jeritan dan tangis anak-anak yang membawa ember plastik atau panci penyok saat berebut bantuan makanan di tengah kerumunan besar.

Untuk membantu memulihkan kondisi psikologis, sekolah menerapkan metode belajar melalui permainan. Anak-anak perempuan menari sambil menyelesaikan soal matematika, sementara murid lain bermain peran untuk menghafal puisi.

Namun Faisal al-Qasas, pengelola sekolah, mengatakan banyak siswa tetap gelisah karena harus memikirkan antrean roti dan air di rumah.

Sekolah yang menjalankan dua shift untuk 900 murid itu mengandalkan “kegiatan ekstrakurikuler untuk membantu kesehatan mental siswa” agar mereka bisa kembali fokus belajar.

Momen Kritis

Menurut penilaian PBB, 97% sekolah di Gaza mengalami kerusakan, sebagian akibat “serangan langsung,” dan sebagian besar membutuhkan pembangunan ulang atau rehabilitasi besar-besaran.

Serangan Israel telah menewaskan banyak warga Palestina yang berlindung di sekolah. Israel menuding Hamas bersembunyi di fasilitas semacam itu.

Dengan sekolah-sekolah yang juga berfungsi sebagai tempat pengungsian, UNRWA mulai membuka “ruang belajar sementara.” Bulan lalu, Kepala UNRWA Philippe Lazzarini mengatakan lebih dari 25.000 anak mengikuti kelas darurat tersebut, dan sekitar 300.000 lainnya akan mengikuti belajar daring.
Namun angka itu masih jauh dari estimasi kementerian pendidikan Gaza yang mencatat lebih dari 758.000 pelajar di wilayah tersebut.

Di wilayah al-Mawasi di Gaza selatan, berbagai inisiatif lokal, sebagian mendapat dukungan internasional, berupaya mengembalikan anak-anak ke sekolah. Yayasan Education Above All (EAA) dari Qatar meluncurkan program “Rebuilding Hope for Gaza,” untuk membantu lebih dari 100.000 siswa.

Program itu mencakup distribusi perlengkapan sekolah, akses internet dan listrik, serta dukungan psikologis. Namun dengan seluruh keterbatasan, salah satu sekolah di al-Mawasi hanya mampu menyediakan empat mata pelajaran: bahasa Arab, bahasa Inggris, matematika dan sains.

“Kami berupaya membantu sebanyak mungkin anak kembali belajar, meski hanya melalui mata pelajaran dasar,” kata Hazem Abu Habib dari inisiatif yang didukung EAA.
Sebelum perang, Gaza “bebas buta huruf,” ujarnya. “Tetapi kini pendidikan menghadapi masa paling kritis.”

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler