Saturday, March 15, 2025
HomeBeritaTanpa seragam sekolah dan buku, siswa Gaza kembali ke sekolah yang hancur

Tanpa seragam sekolah dan buku, siswa Gaza kembali ke sekolah yang hancur

Dalam pemandangan yang penuh keteguhan, sejumlah siswa di Gaza kembali ke sekolah mereka yang hancur untuk melanjutkan pendidikan mereka.

Mereka menantang kondisi sulit yang dipaksakan oleh perang Israel di Gaza. Meskipun tanpa seragam sekolah dan buku, harapan akan masa depan yang lebih baik menjadi dorongan bagi mereka untuk terus belajar.

Shamed Ihab (13 tahun), seorang siswa kelas 9 dari kamp pengungsi Bureij di Gaza Tengah. Dia adalah termasuk di antara ratusan siswa yang bergegas kembali ke sekolah mereka dengan harapan menemukan bangku belajar mereka seperti sebelumnya. Namun, kenyataannya berbeda.

“Kami hanya menemukan beberapa dinding yang hancur dan sisa-sisa ruang kelas. Meski begitu, kami memilih untuk kembali ke kehidupan belajar kami meskipun segalanya telah hancur di sekitar kami,” katanya kepada Kantor Berita Jerman.

Bukan hanya sekolah yang hilang bagi Ihab, tetapi juga seragam sekolahnya, yang tidak bisa ia simpan selama berbulan-bulan mengungsi.

“Benar bahwa kami kehilangan hampir segalanya, tetapi itu tidak akan menghentikan kami untuk belajar. Kami bertekad untuk membangun masa depan kami, meskipun sekolah kami telah hancur,” imbuhnya.

Ihab percaya bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar dari kondisi sulit yang dialami penduduk Gaza.

“Pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk bertahan, bukan hanya dari kesulitan hidup, tetapi juga dari kebodohan yang ingin dipaksakan Israel kepada kami,” ujarnya.

Ia mengaku bahwa tidak mudah bagi saya kembali ke sekolah dan tidak menemukan banyak teman saya. Beberapa dari mereka dibunuh oleh tentara Israel, sementara yang lain mengungsi ke daerah lain.

“Tetapi saya bertemu dengan teman-teman baru yang memiliki tekad yang sama untuk melanjutkan pendidikan, apapun keadaannya. Pendidikan adalah senjata terkuat melawan kebodohan, dan kami tahu bahwa ilmu adalah alat perubahan di dunia ini,” terangnya.

Belajar di tengah kehancuran

Kementerian Pendidikan Gaza mengumumkan beberapa hari yang lalu bahwa tahun ajaran baru telah dimulai.

Hal ini menandai pertama kalinya kegiatan belajar mengajar dilanjutkan sejak perang Israel di Gaza yang dimulai pada Oktober 2023.

Dalam konferensi pers di Kota Gaza, kementerian menyatakan bahwa ratusan ribu siswa telah kembali ke sekolah. Meskipun lebih dari 80% sekolah telah dihancurkan oleh tentara Israel.

Beberapa sekolah darurat didirikan dalam tenda dan pusat belajar alternatif untuk memastikan pendidikan tatap muka tetap berlangsung.

“Kami memulai tahun ajaran baru ini dalam kondisi luar biasa, meskipun ada tantangan besar akibat perang dan kehancuran yang masif,” kata kementerian tersebut.

Mereka menegaskan komitmennya untuk menjamin hak pendidikan bagi semua siswa. Baik di sekolah yang masih berdiri, yang telah direnovasi, maupun di sekolah alternatif yang didirikan di berbagai wilayah.

Hala Al-Sab’a (13 tahun), seorang siswi kelas sembilan, adalah salah satu dari mereka yang kembali ke sekolahnya meskipun dalam kondisi sulit.

“Kami sangat merindukan sekolah dan kehidupan belajar kami. Ini adalah awal baru bagi perjalanan pendidikan kami,” ungkapnya.

Ia mengatakan kepada Kantor Berita Jerman bahwa mereka tidak memiliki peralatan sekolah.

“Benar bahwa kami tidak memiliki buku, catatan, atau bahkan seragam sekolah, tetapi kami memiliki tekad dan keinginan untuk terus belajar, meskipun hanya mengandalkan hafalan,” katanya.

Ia menegaskan bahwa mereka adalah generasi muda yang sangat membutuhkan ilmu untuk masa depannya.

“Kami adalah generasi masa depan yang akan menggunakan ilmu sebagai senjata utama untuk membangun kembali tanah air kami dan membawanya menuju kemajuan,” lanjutnya.

Pendidikan jarak jauh

Tidak semua siswa dapat kembali ke sekolah tatap muka karena kurangnya kebutuhan dasar seperti transportasi.

Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan menyediakan opsi pembelajaran jarak jauh bagi siswa yang tidak bisa hadir secara langsung.

Mereka menjelaskan bahwa mereka menggunakan platform virtual seperti “Teams” dan “Wise School” untuk memastikan proses pembelajaran tetap berlangsung meskipun dalam kondisi luar biasa.

Ibrahim Abdulrahman, dari kamp pengungsi Jabalia di utara Gaza, adalah salah satu siswa yang tidak dapat kembali ke sekolahnya.

“Saya bermimpi kembali ke sekolah dan bertemu teman-teman serta guru-guru saya, tetapi kehancuran besar di sekolah menghalangi saya untuk melakukannya,” katanya kepada Kantor Berita Jerman.

Ia menambahkan bahwa mereka mempunyai banyak tantangan dalam pembelajaran jaral jauh.

“Bahkan pembelajaran daring pun tidak mudah bagi saya. Dengan seringnya internet terputus, saya takut kehilangan tahun ajaran saya atau masa depan pendidikan saya jika situasi ini terus berlanjut dalam waktu yang lama,” katanya.

Tantangan Terbesar

Di sisi lain, seorang guru bernama Amina yang mengajar di salah satu sekolah di Gaza menegaskan bahwa meskipun dalam kondisi sulit, siswa tetap berpegang teguh pada pendidikan.

“Harapan dalam diri siswa selalu lebih besar dari semua kesulitan. Meskipun sekolah kami mengalami kehancuran besar, kami melihat dalam mata mereka keinginan mendalam untuk belajar,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa pembelajaran pendidikan bukan hanya sekadar proses akademik, tetapi juga bentuk perlawanan nyata terhadap tantangan.

“Sangat sulit untuk menyediakan bahan ajar dalam kondisi seperti ini, tetapi kami tetap mengajar karena kami tahu bahwa setiap pelajaran yang kami sampaikan adalah langkah menuju masa depan yang lebih baik,” jelas Amina.

Ia menyoroti upaya besar para guru untuk mendukung siswa secara psikologis selain dari segi akademik.

“Kami membantu mereka mengatasi kesulitan mental melalui metode pembelajaran inovatif, serta memberikan dukungan emosional agar mereka tetap bisa melanjutkan pendidikan mereka, apapun keadaannya,” terangnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular