Surat kabar The Guardian menyoroti kondisi kemanusiaan yang sangat genting bagi anak-anak di Jalur Gaza, di mana kebutuhan dasar seperti pangan dan obat-obatan masih jauh dari mencukupi.
Dalam laporannya, jurnalis Alison Griffin menulis bahwa krisis ini terus berlanjut meski pertempuran telah berhenti, dan kebutuhan anak-anak terhadap makanan, obat, serta rasa aman kian mendesak.
Menurut laporan itu, beberapa hari terakhir memang diwarnai dengan harapan yang hati-hati menyusul tercapainya gencatan senjata.
Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, anak-anak bisa tidur tanpa takut akan drone, serangan udara, atau kebakaran yang melalap tenda mereka.
Perlahan, keluarga-keluarga mulai kembali ke lingkungan mereka yang telah hancur untuk mencari sisa-sisa kehidupan di tengah reruntuhan.
“Yang paling penting masih hilang,” tulis Griffin.
Warga Gaza masih tidak memiliki akses penuh dan berkelanjutan terhadap bantuan kemanusiaan serta layanan dasar, sesuatu yang seharusnya menjadi hak asasi anak-anak di wilayah pendudukan.
Penderitaan yang luar biasa
Anak-anak dan bayi, kata laporan itu, kini menghadapi malnutrisi parah, sementara kasus diare, kudis, dan pneumonia terus meningkat di klinik-klinik.
Upaya untuk membangun kembali Gaza, menurut Griffin, tidak akan bermakna sebelum kebutuhan dasar ini terpenuhi.
Meski sebagian bantuan telah masuk melalui badan-badan PBB dan organisasi kemanusiaan setelah gencatan senjata, jumlahnya jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan anak-anak secara berkelanjutan. B
antuan dari organisasi Save the Children (Selamatkan Anak-anak) bahkan telah dihentikan sejak Maret 2025.
Padahal Gaza membutuhkan setidaknya 600 truk bantuan dan 50 tangki bahan bakar setiap hari, selain pasokan gas, air bersih, makanan, dan perlengkapan kebersihan tanpa hambatan.
Selamatkan anak-anak
Dengan datangnya musim dingin dan suhu yang terus menurun, penyediaan tempat tinggal, selimut, dan pakaian hangat menjadi kebutuhan mendesak, terutama karena 92 persen rumah di Gaza telah rusak atau hancur, menurut data UNRWA.
Foto-foto yang beredar, tulis Griffin, tidak mampu menggambarkan sepenuhnya penderitaan ratusan ribu warga yang kini tinggal di reruntuhan yang sama sekali tak layak dihuni.
Save the Children menyerukan akses kemanusiaan jangka panjang tanpa hambatan serta gencatan senjata permanen.
Kepala eksekutif organisasi tersebut di Inggris, Mostafa Malik, mengusulkan pembentukan mekanisme internasional di perbatasan Rafah antara Gaza dan Mesir untuk mempercepat serta menjamin transparansi penyaluran bantuan.
Organisasi ini telah menyiapkan bantuan di Mesir dan bekerja sama dengan badan-badan PBB untuk memperluas layanan dasar, termasuk pencegahan dan pengobatan malnutrisi.
Griffin menegaskan bahwa anak-anak Gaza membutuhkan lebih dari sekadar makanan dan air—mereka memerlukan dukungan psikologis, pendidikan, dan rehabilitasi jangka panjang.
PBB telah menetapkan wilayah Palestina sebagai tempat paling berbahaya di dunia bagi anak-anak pada tahun 2024.
Ribuan anak kini membutuhkan dukungan psikososial untuk mengatasi trauma akibat kekerasan yang mereka alami. Selain itu, tiga tahun tanpa sekolah telah mengancam masa depan pendidikan mereka.
Organisasi kemanusiaan memperkirakan dapat membuka ruang belajar sementara bagi 700 ribu anak, asalkan akses ke Gaza dibuka sepenuhnya.
Namun tragedi fisik juga membayangi: Gaza kini mencatat tingkat amputasi anak tertinggi di dunia, dengan lebih dari 800 anak kehilangan anggota tubuh sejak awal perang.
Sepanjang 2024 saja, penggunaan senjata peledak di wilayah padat penduduk menyebabkan rata-rata 15 anak terluka setiap hari, banyak di antaranya mengalami cacat permanen.
“Anak-anak Gaza, tidak hanya membutuhkan bantuan untuk bertahan hidup hari ini—mereka membutuhkan dunia yang peduli agar bisa hidup esok hari,” tutup Griffin.