Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerintahkan para pembantunya untuk memulai proses penetapan cabang-cabang Ikhwanul Muslimin di Mesir, Lebanon, dan Yordania sebagai organisasi teroris, dengan alasan kelompok ini diduga mendukung Hamas di Palestina.
Perintah itu dikeluarkan pada Senin, seiring dengan meningkatnya upaya Washington menekan kelompok-kelompok yang dianggap sebagai musuh Israel di kawasan Timur Tengah.
Menurut perintah tersebut, pemimpin Ikhwanul Muslimin di Yordania dituduh memberikan “dukungan materiil” kepada Hamas, sementara cabang kelompok di Lebanon, yang dikenal sebagai al-Jamaa al-Islamiya, disebut berpihak pada Hamas dan Hezbollah dalam konflik dengan Israel. Sementara itu, seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin di Mesir disebut telah menyerukan serangan kekerasan terhadap mitra dan kepentingan AS selama perang Israel-Gaza, meski rincian klaim ini tidak dijelaskan lebih lanjut.
Gedung Putih menegaskan bahwa Trump tengah menghadapi jaringan transnasional Ikhwanul Muslimin yang dianggap memicu terorisme dan kampanye destabilisasi terhadap kepentingan AS dan sekutunya di Timur Tengah.
Perintah Presiden Trump mengarahkan Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan AS untuk berkonsultasi dengan Kepala Intelijen Nasional dan menyusun laporan tentang penetapan organisasi teroris tersebut dalam waktu 30 hari. Label resmi “organisasi teroris asing” kemudian dapat diterapkan pada cabang-cabang Ikhwanul Muslimin dalam 45 hari setelah laporan tersebut selesai.
Jika ditetapkan, langkah ini akan membuat larangan memberikan dukungan materiil kepada kelompok tersebut, melarang anggota maupun mantan anggotanya masuk ke AS, serta memungkinkan penerapan sanksi ekonomi untuk memotong aliran dana organisasi.
Ikhwanul Muslimin didirikan di Mesir pada 1928 oleh ulama Hassan al-Banna dan memiliki cabang serta afiliasi di berbagai negara Timur Tengah dalam bentuk partai politik dan organisasi sosial. Meski mengklaim berkomitmen pada partisipasi politik secara damai, kelompok ini telah dilarang di beberapa negara di kawasan tersebut.
Penetapan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris juga merupakan tuntutan lama aktivis sayap kanan di AS. Namun, kritikus menilai langkah ini berpotensi memperkuat praktik otoritarianisme dan menekan kebebasan politik di Timur Tengah.
Beberapa kalangan juga khawatir, kebijakan ini bisa digunakan untuk menargetkan aktivis Muslim Amerika dengan tuduhan hubungan dengan Ikhwanul Muslimin atau sumbangan ke organisasi amal yang terkait dengan kelompok tersebut. Nihad Awad, Direktur Eksekutif Council on American-Islamic Relations (CAIR), menyatakan organisasi Muslim Amerika seharusnya tetap aman, karena sebagian besar berbasis di AS dan melayani bantuan bagi jutaan orang di luar negeri.
Rami Khouri, pakar di American University of Beirut, menilai langkah Trump lebih ditujukan pada audiens domestik. “Ini kebijakan luar negeri yang amatir, tapi menarik bagi kelompok sayap kanan di AS dan Israel. Dampaknya terhadap Timur Tengah sangat kecil,” katanya.


