Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan tujuh orang meninggal dunia dalam sehari akibat kelaparan di Jalur Gaza, Minggu (31/8/2025).
Dengan demikian, jumlah korban jiwa akibat krisis pangan di wilayah itu telah mencapai 339 orang, termasuk 124 anak-anak.
Salah satu korban terbaru adalah Syimaa al-Asyram, seorang remaja putri yang meninggal di Rumah Sakit Syuhada al-Aqsha, Deir al-Balah, akibat kekurangan gizi dan minimnya perawatan medis.
Direktur Jenderal Asosiasi Kesehatan dan Komunitas al-Awda di Gaza, Raafat al-Majdalawi, menyebut pengumuman resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai status kelaparan di Gaza sejauh ini tidak membawa perubahan berarti.
“Pengumuman itu tidak diikuti intervensi kemanusiaan yang efektif,” ujarnya.
Ia memperingatkan bahwa kapasitas sistem kesehatan Gaza kini hanya mampu berfungsi sekitar 30 persen, sehingga risiko bencana kemanusiaan kian nyata.
“Kematian di Gaza terus berlanjut, bukan hanya akibat serangan, tetapi juga karena kelaparan. Situasinya benar-benar berada pada tahap bencana,” kata Majdalawi.
Hal senada disampaikan Sonam Dreier, pimpinan tim medis organisasi Doctors Without Borders (Médecins Sans Frontières/MSF) di Kota Gaza.
Kepada Al Jazeera, ia mengatakan bahwa sejak pengumuman resmi PBB soal kelaparan, tidak ada perubahan di lapangan.
“Orang-orang di Gaza masih menderita kelaparan akibat minimnya pasokan. Tiga bulan lalu saya berada di sini, dan sekarang kondisinya lebih buruk. Saya melihat orang-orang kehilangan banyak berat badan, itu tanda mereka tidak pulih. Pasien kami mengalami kekurangan serius zat gizi esensial,” ungkapnya.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel dengan dukungan Amerika Serikat (AS) melancarkan perang di Gaza yang digambarkan otoritas Palestina sebagai “perang pemusnahan”.
Hingga kini, korban tewas dan luka mencapai lebih dari 203.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Lebih dari 9.000 orang masih dinyatakan hilang, ratusan ribu warga terpaksa mengungsi, sementara kelaparan merenggut nyawa semakin banyak warga sipil.