Friday, September 19, 2025
HomeBeritaTulkram: Kamp kosong dan pasar lumpuh di bawah bayang-bayang penjajahan

Tulkram: Kamp kosong dan pasar lumpuh di bawah bayang-bayang penjajahan

Di pintu masuk Kamp Tulkram, bagian utara Tepi Barat, hanya segelintir toko yang kembali diizinkan buka setelah berbulan-bulan tutup total.

Serangkaian operasi militer Israel menjadikan kamp ini kawasan militer tertutup, memaksa ribuan penghuninya mengungsi.

Di dalam kamp, jalan-jalan masih lengang. Pasar-pasar tetap terkunci. Warga mengungsi, sebagian tinggal di pusat penampungan, sebagian lagi menempati rumah kontrakan.

Sejak serangan besar-besaran Israel beberapa bulan lalu—disertai penghancuran infrastruktur, rumah, dan toko—kamp Tulkram praktis lumpuh.

Kehilangan sumber nafkah

Abdul Naser Tuwair, pemilik bengkel di pintu masuk kamp, mencoba membuka kembali usahanya.

Namun, ia segera berhadapan dengan kenyataan pahit: keberadaan militer Israel yang terus-menerus membuat pelanggan enggan datang.

“Pekerjaan saya bergantung pada perbaikan mobil, terutama milik warga Palestina dari wilayah Israel. Tapi sekarang hampir mustahil,” ujarnya.

Menurut dia, tentara kerap menghentikan mobil-mobil itu, kadang menyitanya atau membuangnya jauh dari lokasi, bahkan menganiaya pemiliknya. Akibatnya, pelanggan menghindari bengkelnya.

Setelah merugi besar akibat penutupan panjang, Tuwair mencoba bertahan. Namun, ia kembali menyerah.

“Bengkel ini satu-satunya sumber penghasilan saya. Saat berhenti, tidak ada lagi pemasukan. Dampaknya langsung terasa bagi keluarga,” katanya.

Ia menegaskan bahwa tak ada bantuan atau kompensasi yang diterima dari pihak mana pun.

Bagi Tasnim Sleit, seorang jurnalis keturunan pengungsi dari Haifa, penderitaan itu terasa berlapis. Ia mengungsi dua kali dari kamp Tulkram.

Pertama, dipaksa meninggalkan rumahnya di dalam kamp. Setelah menyewa rumah di sekitarnya, pengusiran kembali terjadi. Rumah barunya diubah tentara menjadi pos militer hingga kini.

“Pengungsian bukan sekadar pindah tempat, tetapi pencabutan kasar dari kehidupan sehari-hari, dari rasa aman paling dasar,” ucapnya.

Ia menggambarkan kamp kini benar-benar kosong. Dua lingkungan yang sempat bertahan lebih lama, Haret al-Matar dan Haret al-Hadaideh, juga dikosongkan pekan lalu.

“Tak ada satu pun warga yang kembali,” ujarnya.

Hanya tiga toko kecil di pintu utara yang boleh beroperasi. Namun, akses pelanggan terhalang gundukan tanah yang dipasang militer.

Tentara juga terus mengintimidasi pemilik toko maupun pembeli, membuat mereka sepi pelanggan.

Sleit menambahkan, kondisi toko-toko yang dibuka pun mengenaskan. Salah satunya, toko daging, dipenuhi tumpukan daging busuk yang tertinggal berbulan-bulan di dalam lemari pendingin sejak serangan pertama.

Toko lain dipenuhi debu dan barang rusak.

“Meskipun kerusakan tidak total, jejak kehancuran terlihat di mana-mana,” ujarnya.

Ekonomi terkunci

Situasi ekonomi di Tulkram pun memburuk drastis. Menurut Sleit, kegiatan dagang di kota dan kamp hampir berhenti total.

Kehidupan masyarakat terikat pada ritme penggerebekan militer dan krisis gaji yang memperberat kondisi.

“Tulkram dulu pusat dagang bagi desa sekitar dan juga bagi warga Palestina dari wilayah Israel. Sekarang mereka enggan datang, karena kehadiran militer, pos-pos pemeriksaan, dan intimidasi, khususnya di pos Jabara,” jelasnya.

Dampaknya terlihat jelas: pasar lesu, roda perdagangan nyaris berhenti. Data lokal mencatat, sejak dimulainya operasi “Tembok Besi”, militer Israel menghancurkan dan membakar sekitar 300 toko di Kamp Tulkram dan Kamp Nur Shams.

Kerugian besar menimpa pedagang kecil maupun pemilik toko.

Kementerian Ekonomi Nasional Palestina melaporkan, sekitar 83 persen unit usaha di Kabupaten Tulkram terhenti—sementara maupun permanen—akibat operasi militer dan blokade.

Kondisi ini menjerumuskan kota dan kamp ke dalam stagnasi ekonomi mendalam, memperpanjang resesi yang melanda pasar lokal.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular