Thursday, June 5, 2025
HomeBeritaUltimatum Haredi: Wajib militer atau kabinet runtuh

Ultimatum Haredi: Wajib militer atau kabinet runtuh

Tekanan politik terhadap pemerintahan koalisi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kembali menguat.

Isu tentang pembebasan kaum Haredi (Yahudi ultra-Ortodoks) dari wajib militer menjadi pemicu utama, di tengah eskalasi tekanan dari para mitra sayap kanan ekstrem dalam pemerintahan, serta bayang-bayang proses hukum yang kini mulai menyasar sang perdana menteri secara langsung.

Sejumlah analis politik Israel kini memandang semakin besar kemungkinan digelarnya pemilu dini, setelah partai-partai Haredi mulai mengancam mundur dari koalisi pemerintah.

Di sisi lain, dua tokoh penting dalam pemerintahan Netanyahu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, juga telah menyatakan akan menolak segala bentuk kesepakatan parsial yang dapat mengarah pada penghentian perang di Gaza.

Semua ini berlangsung bersamaan dengan dimulainya proses interogasi terhadap Netanyahu oleh kejaksaan Israel pekan ini, terkait berbagai kasus dugaan korupsi yang telah lama membayangi kepemimpinannya.

Kendati dinamika politik di Tel Aviv terus bergolak, sejumlah pengamat meyakini bahwa kemungkinan pembubaran Knesset dan penyelenggaraan pemilu dini tidak akan memberikan dampak berarti terhadap jalannya perang di Gaza.

Netanyahu dinilai tetap bersikeras mempertahankan pendekatan kesepakatan terbatas (parsial deal), yang bertujuan melemahkan posisi tawar kelompok perlawanan Palestina, khususnya terkait isu sandera.

Lebih dari itu, perang kini menjadi instrumen vital dalam menjaga stabilitas pemerintahan sayap kanan yang ia pimpin, sekaligus sebagai amunisi utama dalam kampanye politik menjelang pemilu yang akan datang.

Terbelahnya Haredi dan ancaman koalisi

Ancaman nyata terhadap koalisi saat ini datang dari kelompok Haredi, khususnya terkait desakan mereka untuk segera melegalkan pembebasan dari wajib militer.

Tenggat waktu dari kelompok ini kepada Netanyahu akan berakhir pada Selasa mendatang, bersamaan dengan berakhirnya perayaan Shavuot (Hari Raya Pekan).

Mereka menuntut draf undang-undang yang menjamin pembebasan mereka dari dinas militer, yang bisa dinegosiasikan secara formal antara para rabi mereka dan pemimpin koalisi.

Namun, sikap di internal partai Haredi sendiri masih terbelah. Menurut harian Maariv, ancaman pengunduran diri dari partai Yahadut HaTorah terutama datang dari faksi Agudat Yisrael yang dipimpin Menteri Perumahan Yitzhak Goldknopf.

Adapun faksi lainnya dalam partai yang sama, Degel HaTorah, di bawah pimpinan anggota Knesset Moshe Gafni, masih membuka ruang kompromi, setidaknya hingga masa libur Shavuot selesai.

Sementara itu, Partai Shas yang memiliki 11 kursi di Knesset, dipimpin oleh Aryeh Deri—salah satu sekutu dekat Netanyahu—tidak menunjukkan tekanan serius agar undang-undang tersebut segera disahkan.

Pengamat urusan Israel, Firas Yaghi, memprediksi bahwa anggota Yahadut HaTorah bisa saja benar-benar hengkang dari pemerintahan.

Hal ini terutama karena mereka merasa tidak memperoleh manfaat politik langsung dari keberadaan mereka dalam koalisi saat ini.

Bahkan, dengan masuk ke oposisi, mereka bisa mendapatkan posisi tawar yang lebih baik di mata publik pendukung mereka.

Lebih lanjut, Yaghi menyebut bahwa keberlangsungan perang Gaza justru akan memperbesar tekanan terhadap kaum Haredi untuk ikut wajib militer.

Oleh karena itu, mereka cenderung mendukung setiap kesepakatan yang bisa menghentikan perang.

Hubungan baik sebagian tokoh Haredi dengan Washington juga disebut sebagai salah satu faktor yang memungkinkan mereka memainkan peran strategis dalam menekan Netanyahu.

Strategi gangguan legislasi

Kendati demikian, perlu dicatat bahwa sekalipun partai Yahadut HaTorah yang memiliki delapan kursi benar-benar keluar dari koalisi, pemerintahan Netanyahu masih akan memiliki dukungan minimal mayoritas, yakni 61 kursi.

Namun, para politisi Haredi punya taktik lain: memboikot sidang-sidang Knesset yang membahas dan mengesahkan rancangan undang-undang, sehingga melumpuhkan agenda legislasi pemerintah.

Menurut Maariv, boikot yang dilakukan oleh partai ini sejauh ini berhasil menghentikan pembahasan rancangan undang-undang pada sidang umum hari Rabu.

Hari yang khusus dijadwalkan untuk pemungutan suara terhadap rancangan awal legislasi selama masa sidang musim panas yang akan berakhir pada 24 Juli mendatang.

Jika pada akhirnya faksi Agudat Yisrael memutuskan tidak mundur dari pemerintahan, mereka kemungkinan akan meningkatkan tekanan dengan memperluas boikot hingga ke hari Senin.

Hari di mana biasanya rancangan undang-undang dari pemerintah diajukan ke Knesset untuk disahkan.

Langkah ini berpotensi melumpuhkan kerja legislasi, dan dalam skenario ekstrem, dapat menjatuhkan koalisi pemerintah secara keseluruhan.

Mantan anggota Knesset dan dosen studi Israel, Jamal Zahalka, meyakini bahwa partai-partai Haredi tidak akan menjatuhkan pemerintah Netanyahu, kecuali jika mereka benar-benar yakin bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan besar bagi mereka.

Namun, menurutnya, kondisi seperti itu belum tercipta saat ini. Pemerintah yang mungkin terbentuk melalui pemilu berikutnya justru bisa lebih buruk bagi kelompok Haredi, terutama dari sisi anggaran dan kepastian hukum terkait pembebasan dari wajib militer yang selama ini menjadi tujuan utama mereka.

Manuver Netanyahu dan ancaman kanan ekstrem

Di tengah tekanan dari kelompok Haredi yang menuntut pembebasan dari wajib militer, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tampak memilih bersikap dingin.

Ia tidak diharapkan untuk segera memenuhi tuntutan itu, meskipun janji pengesahan undang-undang tersebut termasuk dalam kesepakatan koalisi yang ia tandatangani bersama partai Yahadut HaTorah dan Shas.

Menurut analis politik saluran televisi Channel 12, Dafna Liel, Netanyahu sedang berpacu dengan waktu.

Ia tidak benar-benar yakin bahwa undang-undang pembebasan dari dinas militer dapat lolos di parlemen dalam komposisi koalisi saat ini.

Apalagi, isu wajib militer merupakan hal sensitif bagi koalisi yang dipimpin oleh para pendukung militer, termasuk pesaing utamanya, mantan perdana menteri Naftali Bennett, yang dalam banyak jajak pendapat muncul sebagai lawan terkuat Netanyahu.

Liel menambahkan bahwa Netanyahu berusaha mengulur waktu setidaknya hingga akhir masa sidang musim panas, dan berharap penarikan diri Haredi—jika terjadi—baru dilakukan pada awal masa sidang berikutnya.

Netanyahu juga memiliki kalkulasi strategis: jika pada akhirnya ia terpaksa menghadapi pemilu dini, maka ia ingin tampil di mata publik sebagai sosok yang terpaksa melakukannya.

Hal itu dikarenakan alasan keamanan nasional atau politik besar, bukan karena kegagalan memperluas basis wajib militer—isu yang berpotensi merugikan elektabilitas Partai Likud, terutama jika koalisi berikutnya tetap akan mencakup partai-partai Haredi.

Sejalan dengan pandangan Liel, analis politik harian Maariv, Anna Braski, juga menyebut bahwa Netanyahu belum sepenuhnya memutuskan apakah ia lebih memilih pemilu atau tetap berusaha mengesahkan undang-undang.

Bahkan jika ia berhasil menyenangkan semua pihak, undang-undang yang disetujui Haredi justru bisa menjadi bumerang politik bagi Likud, apalagi undang-undang tersebut pasti akan digugat ke Mahkamah Agung dalam waktu dekat.

Pekan lalu, Netanyahu dilaporkan beberapa kali menekan Ketua Komisi Luar Negeri dan Keamanan Knesset dari fraksi Likud, Yuli Edelstein—yang menentang pembebasan Haredi dari wajib militer—untuk menawarkan kompensasi dalam bentuk anggaran yang besar dan menggoda.

Selasa malam, usai libur Shavuot, dijadwalkan pertemuan penting antara Haredi, Edelstein, dan seorang menteri.

Tim Netanyahu diperkirakan akan meminta perpanjangan waktu sepuluh hari lagi guna merampungkan naskah akhir undang-undang. Namun kali ini, tidak ada jaminan bahwa Haredi akan menyetujui permintaan itu.

Ancaman dari kubu sayap kanan

Selain tekanan dari kubu Haredi, Netanyahu juga harus menghadapi ancaman politik dari dua sekutunya yang paling ekstrem: Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir.

Keduanya menentang keras kesepakatan damai yang diprakarsai oleh utusan khusus Amerika Serikat untuk Timur Tengah, Steven Wietkoff.

Proposal terbaru Wietkoff yang diajukan kepada Hamas menawarkan pertukaran 10 sandera hidup dan 18 jenazah, dengan imbalan jeda perang selama 60 hari, penarikan pasukan Israel dari beberapa wilayah, serta distribusi bantuan kemanusiaan di bawah pengawasan PBB.

Hamas memberikan tanggapan awal yang digambarkan sebagai “ya, tetapi…”, menurut analis Channel 13, Moria Asaroff.

Smotrich awalnya menyetujui Netanyahu untuk membuka negosiasi berdasarkan kerangka proposal tersebut.

Namun ketika rincian usulan baru mulai dibahas lebih dalam, ia segera mengubah sikap, menyatakan tidak akan menerima kesepakatan parsial yang menurutnya hanya akan melemahkan tekanan terhadap Gaza.

“Perang harus dilanjutkan hingga Gaza benar-benar tunduk,” tegasnya.

Ben Gvir, dalam pernyataan terpisah, juga menyatakan penolakannya.

“Saya tidak setuju dengan proposal Wietkoff. Netanyahu telah membuat kesalahan besar dengan menyetujui pendekatan itu,” ujarnya.

Kendati demikian, pengamat politik dan mantan anggota Knesset, Jamal Zahalka, menilai bahwa keduanya tidak akan benar-benar menjatuhkan pemerintah Netanyahu.

Menurutnya, Smotrich dan Ben Gvir akan menghadapi kritik tajam dari pendukung mereka sendiri jika menjatuhkan pemerintahan sayap kanan, terlebih karena mereka tidak mungkin mendapat pemerintahan yang lebih ekstrem dari yang ada saat ini.

Senada dengan itu, pakar urusan Israel, Elif Sabbagh, juga berpandangan bahwa posisi Smotrich dan Ben Gvir semakin lemah di tengah perang, terutama karena mereka dituding gagal mendorong kebijakan pembagian beban yang adil dalam wajib militer.

Sekalipun mereka akhirnya hengkang dari pemerintahan akibat kesepakatan terkait Gaza, mereka tetap akan mendukung pemerintahan dari luar.

Pemilu dini

Skenario pemilu dini di Israel kembali menjadi perbincangan hangat, namun sejauh ini kecil kemungkinan hal itu akan terwujud dalam waktu dekat.

Menurut analis politik harian Maariv, Anna Braski, jika pun terjadi pemilu dini, besar kemungkinan pelaksanaannya akan maju ke awal 2026, bukan pada akhir masa jabatan Knesset yang dijadwalkan Oktober tahun tersebut.

Braski menilai bahwa bagi Netanyahu, lebih baik jika ia menghadapi pemilu dengan narasi “kami tidak menyerah pada kewajiban wajib militer bagi Haredi”, ketimbang masuk ke pemilu dini dalam keadaan tangan kosong tanpa pencapaian signifikan yang bisa dijual ke pemilih.

Karena itu, satu-satunya hal yang benar-benar dibutuhkan Netanyahu saat ini adalah waktu.

Ia memperkirakan bahwa Netanyahu bisa saja mencapai kesepakatan diam-diam dengan mayoritas pemimpin Haredi untuk menentukan waktu pemilu yang menguntungkan semua pihak.

Pasalnya, baik Haredi maupun Netanyahu tidak yakin akan bisa kembali berkuasa jika pemilu diadakan terlalu cepat.

Senada dengan itu, analis politik Elif Sabbagh menegaskan bahwa meskipun saat ini tekanan dari Haredi, Smotrich, dan Ben Gvir kian menguat, tidak ada satu pun dari mereka yang ingin mengambil risiko kehilangan kekuasaan melalui pemilu dini.

“Tidak ada jaminan mereka akan kembali duduk di pemerintahan setelah pemilu, jadi tidak ada kepentingan nyata untuk menjatuhkan kabinet Netanyahu sekarang,” kata Sabbagh.

Mantan anggota Knesset, Jamal Zahalka, juga memperkirakan bahwa pemilu Israel akan berlangsung pada Juni 2026—beberapa bulan sebelum jadwal resmi, seperti yang telah berulang kali terjadi dalam dekade terakhir.

Namun ia menegaskan bahwa keputusan akhir akan sangat dipengaruhi oleh dinamika politik internal, terutama pengesahan anggaran negara.

Jika anggaran tidak disahkan sebelum akhir Maret 2026, maka pemerintahan Netanyahu akan jatuh secara otomatis.

“Netanyahu tidak akan secara sukarela mengumumkan pemilu dini kecuali jika ia benar-benar yakin akan menang. Dan saat ini, keyakinan itu masih sangat jauh,” ujar Zahalka.

Di sisi lain, pengamat politik Israel, Yaghi, meyakini bahwa Netanyahu sama sekali tidak tertarik pada pemilu dini.

“Survei menunjukkan peluang Netanyahu sangat kecil. Ia sedang diadili dan kemungkinan akan dinyatakan bersalah. Jika pemerintahannya jatuh, maka kasus kebocoran keamanan dari kantornya akan mencuat kembali,” ujarnya.

Selain itu, Netanyahu juga menghadapi tekanan dari penyelidikan resmi pemerintah Israel atas tragedi 7 Oktober 2023.

Jika ia tidak mampu mempertahankan kekuasaan, maka opsi yang tersedia baginya hanyalah penjara, pemakzulan, pengakuan bersalah, atau terus memanfaatkan perang untuk menunda pemilu, termasuk membuka kemungkinan eskalasi militer dengan Iran.

Gaza, luka terbuka yang sengaja dibiarkan

Di luar soal pemilu, satu hal yang dinilai tidak akan berubah dalam waktu dekat adalah kondisi Gaza.

Baik pemilu berlangsung lebih cepat maupun sesuai jadwal, luka Gaza diperkirakan tetap dibiarkan menganga.

Survei menunjukkan bahwa mantan perdana menteri Naftali Bennett—yang juga merupakan tokoh kanan—mengungguli Netanyahu dan koalisinya dalam sejumlah jajak pendapat. Namun hal ini belum tentu mengubah nasib Gaza.

Elif Sabbagh menilai bahwa bagi Netanyahu, Gaza adalah luka terbuka yang justru dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

“Selama dunia Arab tetap lemah, bahkan bekerja sama dengan Netanyahu, dan selama dukungan Amerika tetap kokoh, maka tidak ada alasan bagi Netanyahu untuk mengakhiri krisis Gaza,” ujarnya.

Menurutnya, meski Netanyahu gagal mengklaim kemenangan penuh atau mengusir warga Gaza, Israel dan Amerika tetap akan menghalangi upaya rekonstruksi Gaza.

Tak satu pun pemimpin Arab yang berani membantu pembangunan kembali tanpa tunduk pada syarat-syarat keras dari Israel dan AS.

Zahalka berpandangan bahwa Netanyahu akan memperpanjang perang di Gaza hingga pemilu berikutnya.

Di tengah kampanye, ia bisa saja mendeklarasikan “kemenangan mutlak” dan mengumumkan keberadaan permanen pasukan Israel di Gaza.

Namun ia meragukan bahwa Bennett akan benar-benar memperoleh suara sebanyak yang ditunjukkan dalam survei.

“Pertarungan utama oposisi masih akan terjadi antara Lieberman, Gantz, Lapid, dan Bennett,” ujarnya.

Meski begitu, Zahalka menegaskan bahwa Bennett tidak kalah sayap kanan dibanding Netanyahu.

“Jika dia menang pun, tidak ada yang bisa ia lakukan di Gaza yang lebih ekstrem dari perang genosida dan penghancuran total yang dilakukan pemerintah saat ini. Satu-satunya perbedaan adalah komposisi koalisi: alih-alih ultra-kanan, koalisi Bennett mungkin terdiri dari partai-partai tengah,” jelasnya.

Menurut Zahalka, tujuan strategis Israel tetaplah pemindahan paksa (depopulasi) Gaza. Jika Mesir tetap menolak, maka Israel akan terus menciptakan kondisi tidak layak hidup di Gaza, sambil menunggu waktu yang tepat untuk mengeksekusi rencana tersebut.

“Selama tidak ada kekuatan yang benar-benar menghentikan Israel, pembantaian dan penghancuran akan terus berlangsung, bahkan mungkin satu tahun lagi atau lebih. Pemilu, dengan demikian, tidak akan menghentikan mesin kematian ini,” tegasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular