Kekerasan kembali merenggut nyawa di Jalur Gaza. Sejak Ahad (15/6) dini hari, sedikitnya 52 warga Palestina dilaporkan gugur, termasuk 17 orang yang sedang mengantre bantuan kemanusiaan.
Rentetan serangan yang dilancarkan Israel terjadi di berbagai wilayah Gaza, menyasar warga sipil yang sudah terjebak dalam kelaparan dan krisis kemanusiaan akut.
Sumber medis di sejumlah rumah sakit Gaza mengonfirmasi bahwa 17 korban jiwa berasal dari kalangan warga yang sedang menunggu bantuan di sekitar pusat distribusi milik lembaga yang didukung AS, di kawasan Al-‘Alam, sebelah barat Rafah, selatan Jalur Gaza.
Foto-foto eksklusif yang diperoleh Al Jazeera menunjukkan bahwa para korban tertembak langsung oleh peluru tentara Israel saat tengah mengantre makanan.
Puluhan warga terluka dalam insiden tersebut, dan berhasil dilarikan ke Rumah Sakit Nasser serta beberapa rumah sakit lapangan di daerah Al-Mawasi, wilayah pantai barat Khan Younis, Gaza selatan.
Sementara itu, serangan udara Israel pada Minggu malam juga menewaskan seorang perempuan dan melukai beberapa lainnya ketika sebuah rumah di kawasan Al-Mukhabarat, barat laut Kota Gaza, dihantam rudal.
Di tempat lain, pesawat tempur Israel menghancurkan sebuah rumah di belakang Aula Abidin di Jalan Salahuddin, Gaza tengah.
Rumah Sakit Al-Awda melaporkan menerima 11 jenazah dan 35 korban luka akibat serangan tersebut.
Sasaran bantuan dan ancaman kelaparan
Serangan terhadap warga sipil yang menanti bantuan kini menjadi pola kekerasan yang berulang.
Di tengah blokade total dan kelangkaan pangan ekstrem, ribuan warga Gaza setiap hari berbondong-bondong menuju lokasi distribusi bantuan yang dijanjikan.
Namun, Pemerintah Gaza memperingatkan bahwa pusat-pusat distribusi bantuan yang dikenal dengan nama “mekanisme Amerika-Israel” justru menjadi “perangkap maut”.
Sejak 27 Mei lalu, sebanyak 300 warga Palestina dilaporkan gugur dan 2.649 lainnya terluka saat mencoba mengakses makanan dari pusat-pusat distribusi tersebut. Hingga kini, setidaknya 9 orang masih dinyatakan hilang.
Mekanisme baru ini dijalankan di luar kendali PBB dan organisasi kemanusiaan internasional.
Pemerintah Israel, dengan dukungan Amerika Serikat (AS), meluncurkan skema distribusi melalui lembaga bernama Gaza Relief Foundation, yang tidak diakui oleh komunitas internasional.
Pemerintah Gaza menyebut lembaga tersebut sebagai upaya manipulatif untuk mengalihkan tekanan dunia sekaligus menjebak warga sipil dalam skenario penargetan militer.
Sejak 2 Maret 2025, Israel menutup semua jalur masuk bantuan ke Gaza. Hanya sejumlah kecil truk bantuan yang diizinkan masuk melalui gerbang Kerem Shalom, yang berada di bawah kendali Israel.
Padahal, wilayah Gaza memerlukan setidaknya 500 truk bantuan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan minimum 2,3 juta penduduknya.
Kebijakan ini telah mendorong Gaza ke ambang kelaparan massal. Wabah penyakit, gizi buruk, dan kematian akibat kekurangan makanan kini menyebar cepat, terutama di kalangan anak-anak dan warga lanjut usia.
Sejak pecahnya serangan besar Israel pada 7 Oktober 2023, Jalur Gaza mengalami salah satu krisis kemanusiaan paling parah dalam sejarah modern.
Serangan yang dikategorikan banyak pihak sebagai “genosida” ini telah menewaskan dan melukai lebih dari 184.000 warga Palestina, mayoritas di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Sebanyak 11.000 orang dinyatakan hilang, sementara ratusan ribu lainnya terusir dari rumah mereka.