Upaya oposisi Israel untuk membubarkan parlemen atau Knesset gagal setelah mayoritas anggota menolak usulan undang-undang yang mewajibkan Yahudi ortodoks wajib militer dalam pemungutan suara yang berlangsung pada Rabu malam waktu setempat.
Seperti dilaporkan Channel 14 pada Kamis (13/6) pagi, sebanyak 61 dari 120 anggota Knesset memilih menolak, sementara 53 lainnya menyatakan dukungan.
Sebelum pemungutan suara, partai-partai ultra-Ortodoks menyatakan penolakan terhadap rancangan undang-undang pembubaran tersebut.
Sikap ini muncul setelah Ketua Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan Knesset, Yuli Edelstein, mengumumkan telah dicapai kesepakatan awal terkait rancangan undang-undang wajib militer.
Partai-partai oposisi, termasuk Yesh Atid yang dipimpin mantan Perdana Menteri Yair Lapid serta Israel Beiteinu di bawah kepemimpinan mantan Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman.
Sebelumnya mereka telah menyampaikan niat mereka untuk mengajukan usulan pembubaran parlemen.
Pada 4 Juni lalu, Yesh Atid secara resmi mendaftarkan permohonan agar pemungutan suara diadakan pada 11 Juni.
Kritik terhadap pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kian menguat di tengah perang yang masih berlangsung di Gaza.
Ketua Partai Demokrat Israel, Yair Golan, menyatakan bahwa perang di Gaza telah kehilangan legitimasi dan berubah menjadi perang politik demi mempertahankan kekuasaan Netanyahu.
Saat ini, Netanyahu menghadapi tuntutan dari Mahkamah Pidana Internasional atas dugaan kejahatan perang.
Oposisi menuduh Netanyahu berusaha meloloskan rancangan undang-undang yang akan membebaskan warga ultra-Ortodoks dari kewajiban militer, sebagai bagian dari konsesi kepada dua partai koalisi utama, Shas dan United Torah Judaism.
Kebijakan tersebut dinilai sebagai langkah untuk menjaga stabilitas koalisi dan mencegah jatuhnya pemerintahan.
Pemilu parlemen terakhir di Israel digelar pada akhir 2022. Sesuai jadwal, pemilu berikutnya akan berlangsung pada akhir 2026, kecuali jika pemilu dini disepakati.