Monday, December 15, 2025
HomeBeritaWarga Gaza terjebak di luar menanti dibukanya perlintasan Rafah

Warga Gaza terjebak di luar menanti dibukanya perlintasan Rafah

Perlintasan Rafah menjadi stasiun terakhir dalam hidup Um Najy—sekaligus panggung perpisahan terakhirnya dengan sang putra, jurnalis Saleh al-Jaafarawi.

Di bulan-bulan awal perang, perempuan itu meninggalkan Gaza untuk menjalani pengobatan kanker di Qatar.

Ia melangkah melewati gerbang perlintasan dengan tubuhnya, tetapi hatinya tertinggal—tergantung di bahu anaknya—dalam pelukan yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi yang terakhir.

“Aku akan melihat wajahmu dalam keadaan baik, Nak,” demikian kalimat terakhir yang ia ucapkan kepada Saleh sebelum mereka berpisah.

Ia tak pernah menyangka, pertemuan berikutnya dengan sang anak hanyalah lewat layar ponsel.

Tubuh Saleh terbujur kaku, berlumuran darah, dalam perpisahan abadi yang dingin dan bisu.

Dalam dua tahun perang, duka demi duka menimpa Um Najy. Putra sulungnya ditangkap, ia sendiri didiagnosis kanker dan harus meninggalkan Gaza untuk berobat.

Tak lama berselang, kabar syahidnya putra yang lain datang bersamaan dengan berita hancurnya rumah keluarga mereka.

Ikatan yang bersifat keyakinan

Dalam kesepakatan pertukaran tahanan yang berlangsung seiring perjanjian gencatan senjata, putra sulung Um Najy akhirnya kembali dalam keadaan bebas setelah 16 bulan mendekam di penjara Israel.

Namun, gerbang Rafah yang tertutup bagi warga Gaza yang terjebak di luar wilayah itu menghalanginya untuk memeluk anak yang baru dibebaskan tersebut, bahkan sekadar berziarah ke makam putranya yang gugur.

Meski Gaza kini dipenuhi luka dan kehancuran, Um Najy merindukan saat ia dapat kembali.

“Secara fisik saya jauh dari Gaza, tetapi cintanya mengalir di dalam darah saya,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.

Ia menegaskan bahwa hubungannya dengan Gaza bukan semata ikatan tempat atau harta benda, melainkan ikatan keyakinan.

“Siapa pun yang memahami makna ribat di Gaza tidak akan pernah bisa melepaskan diri darinya. Karena itu saya selalu berdoa agar Allah tidak mencabut pahala ribat itu dari saya, meski saya berada jauh,” katanya.

Meski kota itu menyimpan kenangan pahit, Um Najy tak pernah berdamai dengan gagasan hidup jauh darinya—bahkan ketika kehidupan yang lebih layak tersedia di luar Gaza.

“Saya makan dari hasil bumi Gaza, tumbuh besar di sana, menikah, dan membesarkan anak-anak. Bagaimana mungkin saya melupakan semua itu?” Ia mengenang jasa tanah kelahirannya dengan lirih.

Ia memanggul kesedihan besar dan tidak menuntut apa pun selain dibukanya perlintasan Rafah.

Harapannya, agar ia dapat duduk di sisi makam putranya, berbicara dengannya, merasakan kedekatan yang hilang.

Memeluk anaknya yang baru keluar dari penjara; menggendong cucu-cucu yang lahir saat ia terpisah; kembali ke pelukan suaminya; dan merangkai ulang kehidupan yang tercerai-berai.

“Impian saya hanya satu: kami kembali berkumpul. Namun, kekosongan yang ditinggalkan Saleh akan selalu menjadi luka yang tak pernah sembuh,” katanya.

“Tak tergantikan”

Seperti Um Najy, hidup pemuda bernama Shukri Falfal juga terhenti di depan gerbang Rafah sejak hari ia terpaksa meninggalkan Gaza.

Ia pergi pada hari ketika keluarganya tak lagi memiliki tempat berlindung selain trotoar jalan.

Ia menyeberang ke Mesir dengan beban yang ia sebut sebagai “rasa bersalah karena selamat”.

Sejak itu, Shukri tak benar-benar hidup di luar Gaza. Seluruh hidupnya tergantung pada satu harapan: kembali.

Setiap pagi ia terbangun dengan pertanyaan yang sama—apakah Rafah sudah dibuka?

Keinginannya untuk kembali tampak mencolok, terutama jika dibandingkan dengan besarnya kerugian material yang ia dan ayahnya alami.

“Lebih dari 90 persen investasi properti kami hancur. Pabrik furnitur keluarga lenyap dari peta. Toko-toko suplemen gizi yang kami miliki tak tersisa apa pun,” tuturnya.

Namun, Shukri hanya berbicara dengan bahasa harapan.

“Kami kehilangan segalanya, tetapi kami akan kembali. Gaza akan dibangun ulang oleh tangan anak-anaknya sendiri,” katanya.

Baginya, tanah air bukanlah sesuatu yang bisa diganti.

“Tak ada tempat di dunia ini yang dapat menggantikan rumah,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa sejak menit pertama pengasingan, ia hanya menunggu hari pulang.

“Menyusuri kembali jalan-jalan kota saya, bertemu siapa pun dari tetangga dan sahabat yang masih tersisa, dan memulai lagi, meski harus dari nol,” ujarnya.

Rindu berkumpul kembali

Jika kehilangan rumah dan pekerjaan membuat sebagian orang kian bertekad untuk pulang, bagi yang lain, pengasingan menjadi ujian harian bagi martabat dan keibuan.

Iman Sallam tidak meninggalkan Gaza demi kehidupan yang lebih baik.

Ia melarikan diri dari hujan bom, membawa anak-anaknya, serpihan kenangan, dan sedikit tabungan yang mendadak berubah dari bekal hidup menjadi sekadar alat bertahan.

Ia meninggalkan suaminya—seorang jurnalis—di Gaza. Sang suami memilih bertahan untuk menjalankan tugas profesional meliput perang.

Sementara Iman memikul kecemasan atas keselamatannya dan tanggung jawab membesarkan empat anak sendirian.

Ia tiba di negeri asing tanpa mengenal siapa pun—tanpa rumah, pekerjaan, atau perlindungan.

Namun, ia tetap berpegang pada panggilan pendidikannya. Sebelumnya, Iman mengajar di sekolah-sekolah Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).

Di tengah pahitnya pengasingan, ia tak pernah meninggalkan murid-muridnya di Gaza.

Ia terus mengajar jarak jauh dan menjaga komunikasi agar mereka tetap mendapatkan secuil hak atas pendidikan.

Upaya itu, sebagaimana diakuinya, tak mendapat penghargaan yang layak. Ia dan ratusan pegawai UNRWA lainnya justru dikejutkan dengan kebijakan cuti luar biasa tanpa bayaran selama satu tahun.

Seketika, sekitar 600 pegawai kehilangan penghasilan.

“Pegawai UNRWA yang selama bertahun-tahun melayani pengungsi kini berdiri mengantre bantuan—menunggu dua kilogram daging beku di bawah terik Kairo,” katanya getir.

Iman mempertanyakan martabat apa yang masih tersisa setelah pemandangan itu?

Ia menanti satu momen saja: diizinkan kembali.

“Yang saya inginkan hanyalah berkumpul kembali dengan suami di kota kami, di tempat kami. Apakah dosa kami karena selamat dari bom, sehingga harus mati perlahan di pengasingan tanpa ujung?” tanyanya.

Tetap bertahan meski kehilangan

Nasib serupa dialami mereka yang selama ini membawa kisah Gaza ke mata dunia, namun kini terjebak jauh darinya.

Salah satunya adalah sutradara Farid Khaled. Selama 25 tahun, ia menenteng kamera menyusuri jalan dan gang Gaza—membuat film yang membuka luka, sekaligus menampilkan keindahan kota yang ia cintai.

Farid mendirikan perusahaan produksi di Gaza dan satu lagi di Mesir. Ia kerap berpindah di antara keduanya hingga perang meletus, ketika ia sedang berada di Kairo.

“Saya terpisah dari keluarga yang tinggal di Jabalia. Rumah kami hancur. Mereka menjalani dua tahun penuh kesengsaraan, sementara saya jauh dari mereka,” ujarnya.

Upayanya untuk kembali berkumpul selalu kandas oleh penutupan Rafah.

“Saya kehilangan perusahaan yang saya bangun dengan susah payah—nilainya ratusan ribu dolar. Saya kehilangan rumah. Tetapi tidak ada kehilangan yang sebanding dengan jauhnya saya dari keluarga, yang menghadapi semua ketakutan itu sendirian,” kata Farid.

Ia hanya menunggu satu kesempatan untuk kembali dan membangun ulang sisa mimpi yang dirintis selama seperempat abad.

Sumber-sumber terkait menyebutkan adanya kesepahaman awal bahwa perlintasan Rafah tidak akan dibuka satu arah tanpa jaminan jelas yang memungkinkan kembalinya warga Gaza yang terjebak di luar.

Hal ini menyusul pengumuman Israel pada 3 Desember 2025 tentang rencana membuka perlintasan hanya satu arah.

Sebuah langkah yang ditolak Kementerian Luar Negeri Mesir karena dinilai berpotensi mendorong pengusiran paksa warga Palestina.

“Bukan fenomena luar biasa”

Dalam konteks ini, Kantor Media Pemerintah Gaza mengungkapkan kepada Al Jazeera Net bahwa sejak awal perang pada Oktober 2023, sekitar 120.000 warga Gaza bepergian ke luar wilayah.

Dari jumlah itu, sekitar 80.000 orang kini terjebak di Mesir menanti izin kembali, sementara sekitar 40.000 lainnya tersebar di 19 negara untuk keperluan sementara.

Direktur Kantor Media Pemerintah Gaza, Ismail al-Thawabta, menjelaskan bahwa di antara para pelancong tersebut terdapat sekitar 12.450 pasien dan pendamping yang keluar untuk berobat.

Di antaranya, 8.300 pemegang kewarganegaraan asing yang pergi melalui pengaturan khusus negara mereka, serta ribuan mahasiswa yang melanjutkan studi di luar negeri.

Ia menegaskan, dari sisi jumlah, arus perjalanan ini tidak dapat disebut luar biasa dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Perbedaannya terletak pada satu hal mendasar: perlintasan hanya dibuka satu arah.

Kepulangan ke Gaza hanya diizinkan dalam periode gencatan senjata yang terbatas dan dalam jumlah kecil, sehingga jumlah warga yang terjebak terus menumpuk.

Al-Thawabta menambahkan, pihaknya menerima puluhan ribu permohonan dari keluarga Palestina yang menuntut hak kembali dan mendesak pembukaan Rafah.

Hal ini, menurutnya, mencerminkan kuatnya tekad mayoritas warga untuk pulang, serta menegaskan bahwa kepergian mereka sama sekali bukan migrasi permanen.

Ia menutup dengan menegaskan bahwa narasi tentang “migrasi massal” hanyalah bagian dari wacana pendudukan untuk melegitimasi pengusiran paksa rakyat Palestina.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler