Friday, June 6, 2025
HomeBeritaYedioth Ahronoth: Sidang Netanyahu ungkap pemimpin yang bahayakan warga Israel

Yedioth Ahronoth: Sidang Netanyahu ungkap pemimpin yang bahayakan warga Israel

Dalam sebuah tulisan tajam di harian Yedioth Ahronoth, jurnalis senior Israel, Mirav Batito, melukiskan potret bernuansa kelam dari Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Tulisan ini hadir menyusul sidang lanjutan atas dakwaan pidana terhadap Netanyahu, yang digelar Selasa lalu di Yerusalem.

Dalam sorotan Batito, tampak sosok pemimpin yang bukan hanya terseret kasus hukum, melainkan juga dinilai sebagai ancaman bagi warga Israel dan stabilitas sistem demokrasi di negara itu.

Menurut Batito, suasana persidangan yang semestinya menjadi momentum penyelidikan mendalam melalui metode cross-examination atau pemeriksaan silang, justru memperlihatkan bagaimana Netanyahu tampil dengan seluruh perangkat manipulasi politik yang telah ia kuasai selama puluhan tahun.

Alih-alih bersikap sebagai negarawan yang menghadapi tuduhan serius—mulai dari korupsi, suap, hingga pelanggaran kepercayaan publik—Netanyahu justru memanfaatkan ruang sidang sebagai panggung politik baru.

Ia hadir, tulis Batito, bukan sebagai terdakwa, tetapi sebagai aktor utama dalam sebuah sandiwara, lengkap dengan nada sinis, sikap mengejek, serta narasi penuh penyangkalan.

Lebih jauh, Netanyahu disebut menggunakan pendekatan victimhood—menempatkan diri sebagai korban dari sistem dan media—sekaligus menciptakan realitas tandingan yang memutarbalikkan fakta-fakta hukum dan publik.

Melalui gaya bahasa yang lugas dan bernas, Batito mempertanyakan apakah Netanyahu masih mampu membaca kenyataan yang dihadapi bangsanya.

Dalam situasi nasional yang genting pemimpin Israel itu justru dinilai semakin terlepas dari realitas sosial dan politik yang tengah membelit negaranya.

Perang di Gaza yang telah berlangsung selama 606 hari, gelombang protes dalam negeri yang terus membesar, serta kemunduran strategis di berbagai lini.

10 ciri berbahaya dari Netanyahu

Masih dalam nuansa kritik yang tajam, kolumnis Yedioth Ahronoth, Mirav Batito, mengulas lebih lanjut bagaimana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menunjukkan perilakunya.

Menurutnya, perilaku itu mempertegas bahaya dari sosok pemimpin yang telah kehilangan kedekatan dengan rakyat dan realitas negara.

Ia menggambarkan suasana persidangan Netanyahu bukan sebagai forum hukum yang bermartabat, melainkan sebagai pembukaan dari sebuah “sirkus politik” yang dipimpin sendiri oleh sang perdana menteri.

Di tengah asap perang yang masih tebal di Gaza dan proses negosiasi pertukaran sandera yang mandek, Netanyahu justru memilih melontarkan humor murahan dan ejekan, bahkan menyindir boneka istrinya, Sara Netanyahu, dengan tawa yang menurut Batito terasa asing di tengah duka publik atas jatuhnya para tentara Israel.

Batito lalu memaparkan sepuluh ciri yang menurutnya menyingkap inti karakter Netanyahu—seorang pemimpin yang berubah menjadi ancaman nyata bagi warga dan sistem demokrasi Israel. Berikut ringkasannya:

  1. Panggung balas dendam politik

Alih-alih menjawab pertanyaan hukum, Netanyahu memanfaatkan ruang sidang untuk menyerang balik para penyelidik, jurnalis, dan pengamat politik seperti Amnon Abramovich yang pernah mengatakan Netanyahu tak layak dicatat dalam sejarah Israel.

  1. Permainan kata dan penghindaran jawaban tegas

Ketika ditanya apakah ia berkata jujur, Netanyahu menjawab demikian.

“Saya berkata jujur, tapi bukan berarti saya tak pernah salah,” katanya.

Lalu ia menghindar dari tuduhan berbohong.

“Saya hanya mengatakan apa yang saya ingat,” ujarnya. Sebuah upaya membingungkan fakta dan merelatifkan kebenaran.

  1. Mentalitas sebagai korban

Netanyahu berulang kali mengklaim dirinya dianiaya oleh sistem. Ia menyebut kasus ini sebagai “persekusi” dan menuding media telah menciptakan tuduhan “konyol dari kehampaan”.

  1. Penolakan Total terhadap Tuduhan

Dengan nada percaya diri, Netanyahu mengatakan bahwa ia tidak takut apa pun.

“Saya tidak melakukan kejahatan,” katanya sambil menyangkal semua keterlibatannya dalam kebijakan yang kini diperiksa secara hukum.

  1. Meremehkan skandal berat

Dalam menanggapi dugaan keterlibatannya dalam skandal pembelian kapal selam dari Jerman. Netanyahu menjawab sinis.

“Apa itu kapal selam Bibi?” katanya.

Bahkan ia menyebut pemanggilannya ke pengadilan sebagai “lelucon”, seraya menyebut dirinya menunda panggilan telepon dari Menlu AS demi sidang.

  1. Pemaksaan atas versi tunggal realitas

Kepada jaksa penuntut, ia berkata bahwa semua tuduhan itu tidaklah benar.

“Yang saya katakan adalah kebenaran mutlak,” katanya seolah-olah menolak adanya kemungkinan kekeliruan atau interpretasi lain.

  1. Pemujaan diri

Netanyahu juag percaya diri dengan membanggakan kebijakan ekonominya.

“Saya membuat rakyat menjadi kaya, tanpa membantu orang kaya atau terlibat dengan mereka. Itu tuduhan yang konyol,” ungkapnya.

  1. Pengalihan isu lewat ejekan

Ketika ditanya soal hubungannya dengan pengusaha Arnon Milchan, yang dituduh memberinya suap, Netanyahu menjawab enteng.

“Saya menyukainya. Ia bukan politisi. Kadang kita berteman karena suka, bukan karena politik,” jawabnya.

  1. Ketidakpekaan terhadap suasana nasional

Saat rakyat Israel berkabung atas tiga prajurit yang gugur di Gaza, Netanyahu justru tampak menikmati suasana sidang, tertawa bersama tim hukumnya atas topik-topik pribadi yang remeh.

  1. Absennya tanggung jawab kolektif

Dengan menunda pertanggungjawaban atas perang Gaza dan serangan 7 Oktober, Netanyahu berhasil membentuk narasi kemenangan melawan “negara dalam negara”—istilah yang ia gunakan untuk menyudutkan lembaga-lembaga negara—tanpa menyentuh aspek tanggung jawab politik atau etika.

Dari sidang ke krisis moral

Dalam penutup tulisannya yang bernada tajam, kolumnis Yedioth Ahronoth, Mirav Batito, menarik kesimpulan yang menyentuh akar krisis politik yang kini mengguncang Israel.

Menurutnya, Benjamin Netanyahu tidak lagi berbicara kepada rakyat sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab secara politik.

Ia kini tampil sebagai seorang narator—sekaligus terdakwa—yang sibuk membentuk ulang kisahnya sendiri.

Lebih dari satu setengah tahun setelah perang di Gaza meletus dan di tengah tren penurunan popularitas yang konsisten dalam jajak pendapat, Netanyahu tetap mencoba menjual citra dirinya sebagai “penyelamat” dan “korban.”

Ia menolak untuk mendengar seruan publik yang menuntut pengunduran dirinya serta pembentukan komite penyelidikan resmi.

Dalam sikap tersebut, Batito melihat upaya sistematis untuk menghindari pertanggungjawaban dan mengaburkan kebenaran.

Lebih lanjut, Batito mencatat bahwa penundaan pertanggungjawaban yang terus-menerus—dibantu oleh payung politik dari partai-partai kanan yang menjadi sekutunya—telah menciptakan rasa kebal hukum dalam diri Netanyahu.

Ia merasa aman dari pengawasan, didukung pula oleh fragmentasi politik internal dan retorika provokatif yang justru memperkuat keyakinannya bahwa “rakyat masih bersamanya.”

Namun, persoalannya bukan semata-mata soal pribadi Netanyahu. Di balik sepuluh ciri yang diuraikan sebelumnya, Batito melihat sesuatu yang lebih mendalam: sebuah krisis politik dan moral yang mengakar dan melampaui sosok perdana menteri itu sendiri.

Dalam pandangannya, krisis ini menyingkap kerentanan sistem demokrasi Israel terhadap figur otoriter yang tidak hanya menolak mengakui kenyataan, tetapi juga menciptakan versi realitas yang dimanipulasi dan menabur benih perpecahan di masyarakat.

Bahaya itu, tulis Batito, bukan hanya pada satu individu yang membahayakan sistem, tetapi pada masyarakat yang mulai bersedia menerima gaya kepemimpinan yang membelokkan kebenaran demi kepentingan pribadi.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular