Wednesday, August 27, 2025
HomeBerita600 ribu anak Gaza tanpa imunisasi, 1.600 dokter gugur

600 ribu anak Gaza tanpa imunisasi, 1.600 dokter gugur

Sistem kesehatan di Jalur Gaza kini nyaris runtuh total. Rumah sakit, tenaga medis, hingga jurnalis—pilar penting yang seharusnya dilindungi dalam situasi perang—justru menjadi sasaran serangan yang terdokumentasi jelas di depan mata dunia.

Ironisnya, komunitas internasional lebih banyak berdiam diri, seakan tak berdaya menghadapi tragedi yang menyalahi semua konvensi internasional.

Dr. Khalil Al-Daqran, juru bicara Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsha, dalam wawancara dengan Al Jazeera mengungkap skala kehancuran yang disebutnya sebagai “bencana kemanusiaan menyeluruh.”

Menurutnya, Israel memperlakukan dirinya seolah berada di atas hukum, mengabaikan setiap norma dan perjanjian internasional yang mewajibkan perlindungan bagi tenaga medis, wartawan, maupun tim pertahanan sipil.

Data yang disampaikan Al-Daqran menyingkap dimensi tragedi itu. Hingga kini, lebih dari 1.600 tenaga medis gugur saat menjalankan tugas.

Sebanyak 244 jurnalis juga menjadi korban, bersama 38 anggota tim pertahanan sipil.

Semuanya gugur ketika memberikan layanan kemanusiaan dalam kondisi yang sangat berbahaya.

Di sisi lain, infrastruktur kesehatan Gaza telah lumpuh. Sebanyak 22 rumah sakit tak lagi berfungsi, termasuk rumah sakit pemerintah pusat di Kota Gaza yang sebelumnya menjadi rujukan vital bagi pasien dan korban luka.

Rumah sakit yang masih berdiri pun beroperasi dalam kondisi darurat, sarat pasien, dan terus menjadi target serangan langsung, sementara stok obat, peralatan, bahkan air bersih makin menipis.

Di balik runtuhnya rumah sakit, krisis yang lebih dalam mengintai: lebih dari 600 ribu anak di Gaza kini tidak mendapat imunisasi dasar.

Anak-anak itu tumbuh dalam kondisi rawan gizi, anemia, kekurangan zat besi, dan ancaman kelaparan.

Korban jiwa pun mencerminkan bobot penderitaan generasi muda. Lebih dari 18 ribu anak telah meninggal, disertai 11 ribu perempuan.

Total korban di Gaza kini melewati angka 63 ribu jiwa, sebuah angka yang menggetarkan hati nurani.

“Ketika melihat pohon-pohon ditebang kami bisa menanam lagi, tetapi ketika 18 ribu anak meninggal, siapa yang bisa mengembalikan mereka?” kata Al-Daqran lirih.

Blokade dan kelaparan

Selain serangan udara dan darat, blokade yang berlangsung sejak awal perang telah memutus akses bantuan.

Obat-obatan, susu bayi, makanan, dan alat medis dilarang masuk. Strategi “mematikan perlahan” ini mendorong sistem kesehatan ke jurang kolaps.

Jumat lalu, empat badan PBB—WHO, UNICEF, WFP, dan FAO—mengeluarkan peringatan bersama di Jenewa.

Mereka menyebut lebih dari setengah juta penduduk Gaza terjebak dalam kondisi kelaparan akut, dan mendesak Israel membuka akses penuh bagi pangan serta pasokan medis untuk mencegah kematian massal akibat lapar dan malnutrisi.

Dr. Al-Daqran menekankan bahwa tragedi ini bukan sekadar angka statistik.

“Ini adalah kejahatan yang dilakukan terang-terangan, di depan mata dunia,” ujarnya.

Ia menyerukan investigasi internasional segera, dan menegaskan bahwa setiap pihak yang memiliki kekuatan untuk menghentikan pembantaian, tetapi memilih berdiam diri.

“Secara moral ikut menjadi bagian dari kejahatan itu,” imbuhnya.

Di tengah reruntuhan rumah sakit dan tangisan keluarga korban, Gaza hari ini bukan hanya menghadapi perang, melainkan sebuah bencana kemanusiaan yang mengancam satu generasi penuh—tanpa vaksin, tanpa gizi, tanpa perlindungan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular