Cerita-cerita tentang perjalanan yang tertunda menumpuk di sepanjang jalur Tepi Barat.
Setiap langkah kecil menuju kota atau desa berubah menjadi penantian panjang, saat ruang gerak warga disita dan waktu mereka terkuras di bawah bayang-bayang pos pemeriksaan.
Di antara Hebron dan Ramallah, jurnalis Al Jazeera, Muntaser Nassar, menggambarkan langsung kehidupan yang terpotong-potong oleh gerbang besi dan pos militer.
Lanskap tampak seperti wilayah yang dipetak-petak ulang sesuai logika kekuasaan bersenjata.
Kisah bermula di pintu masuk Kota Dura, selatan Hebron. Gundukan tanah dan bongkahan batu telah menutup jalan utama selama berbulan-bulan, memaksa warga memutar melalui jalur-jalur alternatif yang terjal dan berbahaya.
Meski berlubang dan berlumpur, jalan itu tetap dilalui karena tidak ada pilihan lain.
Perjuangan sehari-hari siswa
Tak sampai setengah kilometer kemudian, gerbang besi kuning menghadang di pintu masuk Desa Qalqas. Tentara Israel berjaga, menahan warga yang hendak melintas.
Seorang mahasiswi mengisahkan bagaimana ia kehilangan satu ujian penuh setelah pintu itu ditutup, menambah tekanan pada perjalanan akademiknya yang sudah terganggu saban hari.
Di Gerbang al-Fahs—salah satu akses terpenting menuju Hebron—pintu besi lain kerap tertutup hampir sepanjang waktu.
Warga harus berpindah dari satu pos ke pos lain, menghadapi antrean panjang dan penundaan yang merusak urusan pekerjaan dan kehidupan mereka.
Gambaran makin suram di pintu utara Hebron. Seorang pasien harus dipindahkan dari satu ambulans ke ambulans lain di sisi berbeda gerbang, sebab kendaraan medis dilarang melintas meski tengah menangani keadaan darurat.
Perjalanan kemudian berlanjut menuju Pos Konteiner, salah satu titik paling menyulitkan mobilitas penduduk.
Jalan yang menghubungkan selatan dan tengah Tepi Barat itu telah berubah menjadi serangkaian hambatan berupa pos, gerbang, dan permukiman Israel yang kian meluas.
Menurut peta badan-badan PBB, lebih dari 900 pos, gerbang, dan hambatan tersebar di seluruh Tepi Barat.
Kondisi ini membuat perpindahan antarwilayah menjadi rangkaian perjalanan yang tidak pasti dan selalu bergantung pada perubahan rute mendadak.
Derita pengemudi dan pelaku usaha
Di Pos Konteiner, ratusan pengemudi menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari dalam antrean panjang yang merayap.
Sementara itu, ke arah utara, arus kendaraan melebar menuju Pos Qalandiya—persimpangan tersibuk yang menghubungkan Ramallah dan Yerusalem.
Bagi dunia usaha, hambatan ini berdampak langsung. Suha al-Khawaja, seorang pengusaha, menjelaskan bahwa bahan baku kerap terlambat tiba karena pos pemeriksaan.
Hal itu menyebabkan proses produksi dan pengiriman mundur, serta memunculkan rangkaian kerugian yang tak terhindarkan.
Akibatnya, perjalanan yang semestinya dapat ditempuh dalam satu jam kerap berubah menjadi tiga hingga empat jam.
Waktu habis di jalan, biaya meningkat, dan bagian dari kehidupan normal warga Palestina terasa seperti direnggut sedikit demi sedikit.


