Wednesday, June 25, 2025
HomeBeritaPBB: Angka tak pernah bohong, pembunuhan warga Palestina saat tunggu bantuan tak...

PBB: Angka tak pernah bohong, pembunuhan warga Palestina saat tunggu bantuan tak dapat diterima

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menegaskan bahwa pembunuhan warga sipil Palestina saat menunggu bantuan kemanusiaan di Gaza adalah tindakan yang tidak dapat diterima.

Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stéphane Dujarric, menilai bahwa istilah “tidak dapat diterima” bahkan terasa terlalu lemah untuk menggambarkan besarnya tragedi kemanusiaan yang terjadi.

“Angka-angka tidak berbohong,” kata Dujarric.

Ia merujuk pada terus bertambahnya jumlah korban jiwa setiap harinya. Ia menyebut bahwa warga yang terbunuh bukanlah kombatan, melainkan orang-orang yang hanya berusaha mendapatkan makanan untuk menyambung hidup mereka dan keluarga mereka.

Sejak dimulainya agresi Israel ke Jalur Gaza pada Oktober 2023, wilayah tersebut mengalami pengepungan total.

Selama 3 bulan terakhir, pembatasan diperketat hingga hampir menutup sepenuhnya akses masuk bantuan kemanusiaan.

Hanya sebagian kecil bantuan yang bisa masuk, dan itu pun dibagikan oleh sebuah perusahaan swasta asal Amerika Serikat (AS) kepada sekitar 1,5 juta warga Gaza.

Perubahan sistem distribusi ini terjadi setelah badan-badan PBB, termasuk UNRWA, dilarang menangani distribusi bantuan langsung.

Namun, alih-alih memperbaiki situasi, pendekatan baru itu justru memperburuk kondisi di lapangan.

Setiap hari, warga Gaza yang mengantre bantuan menjadi sasaran tembakan pasukan Israel.

Data dari rumah sakit di Gaza menunjukkan, sejak Selasa dini hari, setidaknya 80 warga Palestina gugur akibat serangan pasukan pendudukan—56 di antaranya tewas saat menunggu bantuan di wilayah Netzarim di Gaza tengah dan di Rafah, bagian selatan wilayah itu.

Distribusi bantuan yang berisiko tinggi

Menurut Dujarric, operasi distribusi bantuan saat ini sarat dengan risiko dan tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan.

Ia menyoroti cara kerja perusahaan swasta Amerika itu yang dinilai tak menghormati prinsip dasar kemanusiaan dan justru menempatkan warga Gaza dalam situasi mematikan, “di depan laras senapan.”

Sejumlah organisasi hak asasi manusia juga menilai metode distribusi yang diterapkan perusahaan itu sebagai “merendahkan martabat manusia” dan membahayakan nyawa penerima bantuan.

Di tengah tekanan yang terus meningkat terhadap PBB, termasuk tuduhan dari otoritas Israel yang menyebut badan dunia itu berpihak dan tidak netral, Dujarric menegaskan bahwa PBB tidak akan meninggalkan Gaza.

“Kami akan terus bekerja, semampu yang bisa dilakukan, dalam ruang gerak yang sangat sempit,” ujarnya.

Israel selama ini melancarkan berbagai tuduhan terhadap badan-badan PBB, terutama UNRWA.

Mereka menuduh sejumlah stafnya memiliki keterkaitan dengan kelompok perlawanan Palestina dan menuding distribusi bantuan oleh badan PBB itu telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak bersenjata.

Meski demikian, Dujarric menegaskan bahwa PBB tidak pernah mengklaim mampu melakukan semua hal sendiri.

Ia menuntut agar seluruh organisasi kemanusiaan yang relevan diberikan akses aman dan transparan untuk bekerja di Gaza. Dujarric juga mengingatkan bahwa waktu makin menipis.

“Cadangan makanan menipis, bahan bakar menipis, dan kebutuhan untuk segera memasukkan bantuan tambahan makin mendesak,” katanya.

Ia menyampaikan bahwa PBB ingin dapat menjangkau seluruh keluarga di Gaza secara langsung, tanpa perantara, dan tanpa harus membahayakan nyawa warga yang datang ke lokasi distribusi.

Sebab, saat ini, banyak titik distribusi justru menjadi zona berbahaya tanpa alasan yang dapat dibenarkan.

Walau berbagai upaya terus dilakukan, termasuk melalui kontak intensif dengan pihak Israel, AS, serta organisasi kemanusiaan lain yang masih aktif di Gaza, Dujarric tidak menyembunyikan rasa pesimisnya.

Ia menyebut situasi di Gaza sebagai sangat berat dan mempertanyakan siapa sebenarnya yang dapat membawa perubahan nyata di lapangan.

Fakta yang mencolok, menurut dia, adalah bahwa satu-satunya waktu warga Gaza sempat mendapatkan sedikit kebutuhan dasar—seperti makanan dan bahan bakar—adalah ketika berlangsung pertukaran tawanan antara Israel dan kelompok perlawanan Palestina.

Dari situ, Dujarric menyimpulkan bahwa tidak ada jalan keluar dari penderitaan ini kecuali melalui penyelesaian diplomatik dan politik.

“Bukan melalui pembunuhan dan pengepungan,” ujarnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular