PBB

PBB Perintahkan Situasi Darurat Negara Sudan Dibatalkan

GAZA MEDIA, SUDAN – PBB meminta Dewan Kedaulatan Sudan membatalkan keadaan darurat di negara tersebut sebagai langkah penyelesaian politik yang lebih stabil, Rabu (12/1).

Kepala Misi PBB di Sudan, Volker Peretz, mengatakan: “Opsi yang diajukan organisasi untuk menyelesaikan krisis politik merupakan secercah harapan terakhir di negara itu, mengingat pengunduran diri Abdullah Hamdok sebagai perdana menteri menciptakan kekosongan pimpinan, terutama di kalangan komponen sipil.”

Dalam sidang tertutup Dewan Keamanan PBB, Peretz menuntut diakhirinya keadaan darurat di Sudan guna menciptakan lingkungan yang kondusif untuk dialog lebih lanjut.

Dia meminta pasukan keamanan untuk berhenti menggunakan kekerasan terhadap para demonstran, dan bagi para pengunjuk rasa untuk mempertahankan gerakan damai.

Peretz mengakui bahwa ada kelompok-kelompok penting di jalan Sudan yang tidak bersedia untuk berpartisipasi dalam dialog yang diminta oleh PBB, tetapi meskipun demikian ia berjanji untuk terus menghubungi mereka.

PBB meminta kerja sama semua pihak untuk menciptakan suasana damai dengan mengakhiri kekerasan terhadap demonstran dan meminta pertanggungjawaban bagi para pelaku tindakan kekerasan.

Diketahui, demonstrasi dihadiri sejuta orang pada hari Kamis menuntut pertanggungjawaban pemerintahan sipil, sementara itu pihak berwenang menutup beberapa akses jembatan meredam aksi anarkis di ibu kota Khartoum.

PBB Akui Minta Jaminan Keamanan Taliban di Afghanistan

GAZA MEDIA, NEW YORK – PBB menegaskan pihaknya menuntut keamanan bagi staf dan kantor di Afghanistan dengan kompensasi uang, seperti dikutip dari AA, Kamis (23/12).

Ketika ditanya oleh Anadolu Agency dalam konferensi pers apakah PBB memberikan USD6 juta untuk keamanan kepada Taliban, Farhan Haq, juru bicara Sekretaris Jenderal Antonio Guterres, mengatakan proposal anggaran yang awalnya dibuat PBB untuk tahun 2022 disiapkan sebelum pemerintah Afghanistan jatuh.

“Dan beberapa hal itu dalam pengajuan anggaran kami sudah tidak berlaku lagi. Jadi, anggaran itu sedang dalam kajian,” katanya.

Haq juga mengatakan sejak paruh kedua Agustus, PBB telah meminta berbagai jaminan keamanan dan bantuan dari otoritas de facto di Afghanistan.

“Sistem ini memberikan tunjangan kepada personel yang melakukan layanan keamanan tambahan, yang sangat penting untuk keselamatan personel kami dan kompleks kami,” ucap dia.

“Tetapi tunjangan semacam itu, uang layanan keamanan tambahan apa pun, diberikan kepada orang-orang yang bersangkutan secara langsung. Dan, sekali lagi, seperti yang saya katakan sebelumnya, itu tidak melalui otoritas de facto,” tambah dia.

Secara terpisah, Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi Rabu yang membebaskan sanksi terhadap Taliban untuk meringankan bantuan kemanusiaan di Afghanistan.

Resolusi yang diajukan AS disetujui dengan suara bulat oleh dewan beranggotakan 15 orang.[]

Perang Yaman, PBB: Krisis Kemanusian Terburuk di Dunia

GAZAMEDIA, YAMAN – Badan Statistik Komisaris Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat sebanyak 377.000 warga sipil tewas diantaranya 2.600 anak-anak dalam perang Yaman yang berlangsung sejak tahun 2015 silam.

Informasi yang di himpun GAZAMEDIA, Rabu (15/12) tidak hanya merenggut ribuan nyawa manusia perang dinegara selatan Arab Saudi ini juga mengakibatkan ratusan ribu penduduk terlantar kehilangan rumah dan sanak keluarga. Banyak warga sipil di Yaman memilih untuk mengungsi dan keluar dari negaranya.

Sumber statistik PBB juga merilis dampak ekonomi selama perang yang berkepanjangan ini telah melebihi batas $126 miliar. PBB menggambarkan situasi kemanusiaannya di negara tersebut sebagai “Yang Terburuk di Dunia”. Pasalnya, pelanggaran HAM secara besar-besaran nyata terjadi disana.

Perang di Yaman meningkat menjadi kejahatan perang internasional. 16 juta orang Yaman menderita kelaparan mereka tak memiliki perawatan kesehatan yang memadai. Meskipun situasi mereka sempit, dan kondisi kehidupan yang keras mereka memilih untuk terus bersabar di atas penderitaan mereka.

Kami berharap pertumpahan darah segera berhenti, dan perang gila ini akan berakhir, harap warga sipil yang ada di tanah kelahiran Uwais al Qarni tersebut. []

Pakar Global akan Bahas Efektivitas Hukum Internasional Masalah Palestina

GAZA MEDIA, ISTANBUL – Pejabat saat ini dan mantan pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan serta pakar hukum global akan berkumpul pada Senin depan untuk membahas efektivitas hukum internasional terkait masalah Palestina, (28/11).

“Ini adalah salah satu konferensi langka yang membahas efektivitas dan prospek hukum internasional untuk Palestina,” kata Hassan Ben Imran dari Organisasi Hukum untuk Palestina yang berbasis di Inggris, yang menyelenggarakan acara pada Hari Solidaritas Internasional dengan Rakyat Palestina seperti dikutip dari AA.

Dia mengatakan konferensi virtual akan mengundang sekitar 15 pembicara dari seluruh dunia “yang akan membahas pengalaman mereka di Palestina dan tantangan yang mereka hadapi dalam menegakkan hukum internasional di Palestina.”

“Kami akan mengeksplorasi apakah permintaan pertanggungjawaban, dalam hal penerapan hukum internasional, benar-benar ditegakkan di Palestina,” ujar dia, seraya menambahkan bahwa tujuannya adalah untuk bertukar pikiran tentang bagaimana memastikan tindakan diambil di lapangan ketika menyangkut hukum internasional di Palestina.”

Michael Lynk, pelapor khusus PBB saat ini untuk Palestina, dan pendahulunya John Dugard dan Richard Falk akan mengikuti konferensi tersebut, sementara peserta lainnya termasuk mantan pejabat PBB, pemimpin LSM internasional, anggota Parlemen Eropa, dan pakar hukum dan hukum pidana terkemuka.[]

Apa yang Bisa Dilakukan PBB untuk Afghanistan Sekarang?

Ketika Afghanistan terus tergelincir ke dalam krisis ekonomi dan kemanusiaan yang menghancurkan, ada satu aktor global yang dapat membantu negara itu melewatinya: PBB. Sementara negara-negara anggotanya terus memperdebatkan apakah akan mengakui pemerintah Taliban, PBB masih dapat memainkan peran penting dalam mendukung rakyat Afghanistan. Faktanya, sebagai lembaga internasional, seringkali mengambil tanggung jawab yang tidak ingin dipikul oleh satu negara pun.

Terlepas dari kenyataan bahwa itu dikeluarkan dari pembicaraan AS-Taliban dan proses perdamaian intra-Afghanistan, PBB sekarang dilihat sebagai jalan utama untuk bantuan kemanusiaan di Afghanistan. Jika masing-masing negara mengalahkan dan melemahkan PBB dengan mencegah lembaga tersebut terlibat dengan Taliban, kelemahan mencolok dalam sistem PBB pasti akan muncul ke permukaan. Saat dunia menunggu Taliban membuktikan bahwa mereka telah berubah, PBB juga perlu mengubah pendekatannya dan sebaiknya mempertimbangkan pesan-pesan berikut.

Pertama, penting untuk menyadari bahwa masih ada banyak kebutuhan untuk penyelesaian politik di Afghanistan hari ini seperti sebelum Taliban mengambil alih Kabul.

Kedua, PBB dapat memimpin jalan dalam mempromosikan pendekatan pembangunan untuk bantuan kemanusiaan. Masalah ketahanan pangan sangat penting karena Afghanistan sudah mengalami kekurangan pangan yang parah dan bisa menghadapi kelaparan yang meluas. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), kekeringan parah musim panas ini mempengaruhi jutaan petani di Afghanistan.

Ketiga, memenuhi kebutuhan kemanusiaan dalam skala besar akan membutuhkan bentuk pembiayaan yang berani dan inovatif untuk mengatasi krisis multi-dimensi dan lingkungan operasi yang menantang di Afghanistan tanpa membangun ketergantungan. Pada bulan Oktober, Program Pembangunan PBB (UNDP) mengumumkan pembentukan Dana Ekonomi Rakyat yang akan memberikan akses uang tunai bagi warga Afghanistan yang rentan dan usaha mikro yang dapat menjembatani dukungan mata pencaharian dan stabilisasi ekonomi makro. Meskipun ini merupakan langkah yang disambut baik, ada kebutuhan untuk mobilisasi sumber daya pada skala yang jauh lebih besar.

Keempat, ada kebutuhan mendesak untuk melindungi 20 tahun investasi dalam kapasitas negara dan masyarakat di Afghanistan. Ini berarti bahwa negara membutuhkan bantuan di luar bantuan penyelamatan jiwa. Dalam melakukannya, sangat penting agar bantuan asing harus bisa menghindari melewati struktur yang ada, khususnya di sektor pendidikan dan kesehatan, yang sangat penting untuk stabilitas sosial ekonomi dan mempekerjakan banyak perempuan.

Kelima, mengingat kurangnya kepercayaan antara Taliban dan komunitas internasional, PBB paling cocok untuk menengahi peta jalan selangkah demi selangkah menuju penguatan kerja sama kemanusiaan dan pembangunan. PBB telah memimpin dengan memberi contoh dengan UNICEF mengoordinasikan akses ke pendidikan dengan Taliban dan memiliki rencana untuk secara langsung membiayai guru Afghanistan. Baik UNICEF dan Organisasi Kesehatan Dunia juga telah memulai kampanye imunisasi polio dengan dukungan Taliban: pada bulan Oktober, Taliban mengizinkan kampanye vaksinasi polio nasional yang dipimpin oleh PBB untuk dilanjutkan, dan mengatakan pihaknya berkomitmen untuk mengizinkan perempuan berpartisipasi sebagai pekerja garis depan.

Dalam langkah yang menjanjikan menuju kerja sama pembangunan yang lebih besar, wakil perdana menteri Mullah Abdul Ghani Baradar baru-baru ini bertemu dengan Achim Steiner, direktur Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), di Doha di mana mereka membahas krisis ekonomi Afghanistan saat ini.

Akhirnya, agar hal ini terjadi dan hubungan operasi yang kondusif muncul antara Taliban dan PBB akan membutuhkan kemauan politik dan kepemimpinan yang tepat untuk mewakili PBB. Sementara persepsi Taliban tentang PBB diwarnai oleh sanksi yang dijatuhkan pada kelompok itu. Menarik dalam pertemuan baru-baru ini untuk mencatat referensi yang disukai para pemimpin Taliban pada Lakhdar Brahimi, mantan Perwakilan Khusus PBB untuk Afghanistan.

Terlepas dari ketidaksetujuan mereka dengan kebijakan PBB saat itu, mereka dengan jelas mengidentifikasi dirinya lebih baik dengan dia sebagai seorang Muslim yang memahami iman dan budaya mereka dan menunjukkan pemahaman terhadap pandangan mereka tanpa mengorbankan prinsip-prinsip inti kemanusiaan.[]

Sumber: Al Jazeera

 

 

 

Lebih 3 Juta Orang Butuh Bantuan Darurat di Myanmar

GAZA MEDIA, WASHINGTON – Lebih dari 3 juta orang membutuhkan bantuan untuk “menyelamatkan jiwa” di Myanmar setelah militer di sana merebut kekuasaan dan menggulingkan pemerintah sipil, kata kepala kemanusiaan PBB pada Senin.

Martin Griffiths, koordinator bantuan darurat PBB, mengatakan bahwa setelah kudeta militer 1 Februari lalu, Myanmar telah dicengkeram oleh “konflik dan ketidakamanan yang meningkat, masalah pandemi Covid-19 dan ekonomi yang gagal”.

Dia memperingatkan bahwa tanpa solusi politik untuk krisis, maka jumlah orang yang membutuhkan bantuan “hanya akan terus meningkat.”

Lembaga kemanusiaan telah menyediakan bantuan makanan, uang tunai dan nutrisi kepada 1,67 juta orang tahun ini, menurut angka PBB, tetapi rakyat Myanmar menghadapi kendala yang ditimbulkan oleh “kurangnya akses dan dana kemanusiaan.”

“Akses ke banyak orang yang sangat membutuhkan di seluruh negeri tetap sangat terbatas karena hambatan birokrasi yang diberlakukan oleh militer,” kata Griffiths dalam sebuah pernyataan saat Dewan Keamanan rapat secara tertutup mengenai krisis di Myanmar.

“Saya mendesak militer Myanmar – dan semua pihak – untuk memfasilitasi akses kemanusiaan yang aman, cepat dan tanpa hambatan,” lanjut dia.

Griffiths lebih lanjut meminta masyarakat internasional untuk mendanai kegiatan bantuan, dan mengatakan pihaknya telah menerima kurang dari setengah rencana pendanaan USD385 juta bantuan yang ditetapkan setelah kudeta militer.

“Rakyat Myanmar membutuhkan bantuan kami untuk memastikan bahwa hak-hak dasar mereka ditegakkan dan mereka dapat hidup dengan bermartabat,” tutur dia, seraya mengeluhkan bahwa “dunia sekarang sedang menonton.”

Militer Myanmar menangkap para pemimpin dan pejabat partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang berkuasa, termasuk pemimpin de facto dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, pada 1 Februari, dan menyatakan keadaan darurat satu tahun.

Awal bulan ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan sedikitnya 37.000 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, telah mengungsi karena eskalasi konflik baru-baru ini di barat laut negara itu. []

Pemukiman Ilegal Israel Ancam Kedaulatan Palestina

GAZA MEDIA, JENEWA – Pakar hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Michael Lynk mengutuk rencana Israel untuk membangun ribuan unit perumahan baru di pemukiman ilegal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, yang merupakan wilayah kedualatan Palestina.

Menurutnya, pembangunan pemukiman ilegal warga Yahudi Israel merupakan ancaman yang serius. Pasalnya, langka itu akan memuluskan Israel dalam menganeksasi kawasan tersebut.

“Ilegalitasnya adalah salah satu masalah yang paling diterima secara luas dalam hukum internasional modern,” kata Michael Lynk, pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di wilayah Palestina dalam siaran pernya di Markas PBB Jenewa, Selasa (3/11/)

Pemukiman Israel adalah kejahatan perang dugaan di bawah Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional, dan harus diperlakukan seperti itu oleh masyarakat internasional. PBB telah berulang kali menuntut agar Israel menghentikan perluasan pemukiman dan menghapus pemukimannya.

“Raison d’etre pemukiman Israel di wilayah pendudukan – penciptaan fakta demografis di lapangan untuk memperkuat kehadiran permanen, konsolidasi kontrol politik asing dan klaim kedaulatan yang melanggar hukum – menginjak-injak prinsip dasar kemanusiaan dan hukum hak asasi manusia,” jelasnya.

Kecaman keras datang ketika pemerintah Israel baru-baru ini menyetujui rencana untuk membangun lebih dari 1.700 unit rumah baru di pemukiman ilegal Givat Hamatos dan Pisgat Zeev.

Tak hanya itu, Israel juga berencana membangun 9.000 unit baru di Atarot, sekitar 3.400 lebih di daerah E1 di timur Yerusalem, dan sekitar 3.000 di sejumlah pemukiman ilegal di Tepi Barat yang diduduki.

Selain itu, dalam laporannya bahwa pemerintah Israel berencana untuk secara surut melegalkan beberapa pemukiman ilegal. Para ahli PBB mencatat hampir 700.000 pemukim Israel baik di Yerusalem Timur dan Tepi Barat merupakan pemukiman ilegal.

“Pemukiman Israel adalah mesin pendudukan. Mereka bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia terhadap Palestina, termasuk perampasan tanah, pengasingan sumber daya, pembatasan ketat pada kebebasan bergerak, meningkatnya kekerasan pemukim, dan diskriminasi ras dan etnis, ”kata para ahli PBB.

Yang paling serius, tujuan implantasi pemukim adalah memutuskan hubungan antara penduduk asli dan wilayahnya serta penolakan hak untuk menentukan nasib sendiri, yang merupakan inti dari hukum hak asasi manusia modern.

Para ahli menyambut kritik terhadap rencana Israel akan didukung sejumlah aktor terkemuka di komunitas internasional dalam beberapa pekan terakhir, termasuk oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.

“Namun, kritik tanpa konsekuensi tidak berarti apa-apa dalam situasi seperti ini. Israel telah membayar biaya yang sangat kecil selama lima dekade terakhir untuk membangun 300 pemukiman dan menentang hukum internasional,” pungkasnya.[]