Saturday, June 28, 2025
HomeBeritaApakah pembantaian Kafr Malik menandai babak baru kekerasan para pemukim?

Apakah pembantaian Kafr Malik menandai babak baru kekerasan para pemukim?

Meski tubuhnya dipenuhi luka akibat tembakan, Jihad Hamayel tetap memaksa diri untuk mengucapkan selamat tinggal terakhir kepada sang kakak, Muhammad, yang gugur di depan matanya.

Tragedi ini terjadi ketika sekelompok pemukim Israel dan tentara pendudukan menyerbu desa mereka, Kafr Malik, di timur Ramallah, Tepi Barat, pada Rabu malam.

Kedua bersaudara itu termasuk dalam puluhan warga yang berusaha mempertahankan desa mereka dari serangan pemukim bersenjata.

Namun, aksi keberanian itu berakhir tragis setelah pasukan Israel datang melindungi para pemukim dengan menembaki penduduk.

Tiga warga gugur, termasuk Muhammad dan Murshid Hamayel, serta enam lainnya luka-luka, di antaranya Jihad.

Menurut Manjad Hamayel, saudara Murshid, korban kedua, kakaknya tewas seketika setelah peluru tajam menghantam kepalanya.

“Para tentara menembak secara membabi buta,” ujar Manjad kepada Al Jazeera Net.

Ia juga menyebut bahwa tujuan utama para tentara adalah menjamin keselamatan pemukim, bukan menghentikan kekerasan.

Ancaman lama, luka yang terus menganga

Bagi warga Kafr Malik, serangan brutal ini bukan hal baru. Sejak 7 Oktober 2023, kekerasan oleh pemukim terus meningkat, apalagi setelah kesepakatan gencatan senjata di Gaza pada Januari 2024.

Jalan-jalan utama menuju desa ditutup oleh militer Israel, menyisakan hanya satu jalur kecil untuk lebih dari 4.000 warga.

“Pemukim dari permukiman ilegal di sekitar desa terus berkumpul dan menyerang,” jelas Najeh Rustum, Kepala Dewan Desa Kafr Malik.

Ia menyebut desa mereka seperti terkepung oleh kekerasan yang sistematis.

Nabil Ghura, salah seorang warga, mengungkapkan betapa besar potensi bencana yang berhasil dicegah oleh para pemuda.

“Kalau mereka tidak menghadang, pemukim itu akan membakar rumah-rumah setelah membakar mobil,” katanya.

Strategi kekerasan terorganisasi

Amir Daoud, Kepala Departemen Publikasi dan Dokumentasi di Otoritas Penentang Tembok dan Permukiman, mengatakan bahwa para pelaku penyerangan berasal dari “pos-pos pemukiman liar” yang dibangun secara ilegal di sekitar permukiman “Kokhav HaShahar”.

Lokasinya berdiri di atas tanah milik warga Palestina di antara desa-desa Kafr Malik, Deir Jarir, dan Silwad.

“Sejak awal tahun, para pemukim telah melakukan 1.400 serangan di Tepi Barat. Empat warga Palestina terbunuh, puluhan terluka, dan banyak rumah serta harta benda dihancurkan,” ungkap Daoud.

Lebih dari 170 pos pemukiman baru dibangun sejak perang Israel-Gaza pecah pada Oktober 2023.

Dengan senjata di tangan dan dilindungi oleh tentara, para pemukim tampak bebas melancarkan teror.

Kondisi ini kembali memunculkan pertanyaan mendasar: siapa yang bertanggung jawab melindungi warga sipil Palestina yang tidak bersenjata dari kekerasan terkoordinasi seperti ini?

Isam Bakr, Koordinator Kelompok Nasional dan Islam di Ramallah, menjelaskan bahwa lebih dari 100 komite perlindungan rakyat telah dibentuk di berbagai daerah, namun belum berfungsi maksimal.

“Komite ini butuh dukungan nyata dari pemerintah dan lembaga nasional,” ujarnya.

Bakr menyebut bahwa dalam pertemuan selama perang Israel-Iran, disepakati bahwa pembentukan komite ini harus diperluas ke seluruh komunitas Palestina.

Pemerintah lokal, melalui Kementerian Pemerintahan Daerah, diharapkan bisa menyuplai logistik dan sarana bagi tiap komite.

Lebih jauh, ia menyerukan “status siaga nasional” untuk seluruh desa yang menghadapi ancaman.

“Para pemukim berada di bawah naungan negara yang mendukung mereka sepenuhnya. Kenapa kita tidak mengalokasikan sebagian besar sumber daya untuk memperkuat ketahanan warga di tanah mereka sendiri?” ujarnya.

Ia menyebut tragedi di Kafr Malik sebagai “gambaran awal” dari fase baru kekerasan yang lebih luas dan lebih terorganisir.

Dan untuk itu, menurutnya, rakyat Palestina punya hak penuh, secara hukum internasional, untuk melindungi diri mereka dengan segala cara yang sah.

Peran otoritas Palestina

Pandangan bahwa serangan brutal terhadap Kafr Malik menjadi penanda fase baru kekerasan pemukim Israel juga diamini oleh Jamal Jum’ah, aktivis terkemuka dalam gerakan perlawanan terhadap permukiman ilegal.

Dalam pandangannya, serangan ini bukan sekadar insiden lokal, melainkan sinyal eskalasi yang membutuhkan respons setara dalam skala dan strategi.

“Serangan ini harus dijawab dengan pendekatan baru, yang tak hanya reaktif, tapi juga sistematis,” ujar Jum’ah kepada Al Jazeera Net.

Ia menekankan pentingnya membangun kembali struktur perlawanan sipil, terutama melalui pengorganisasian warga agar mampu membela diri secara kolektif dan terkoordinasi.

Namun, Jum’ah tak ragu menunjuk siapa yang paling bertanggung jawab dalam situasi ini: Otoritas Palestina.

Ia menilai, sebagai entitas yang mengklaim peran sebagai pelindung rakyat Palestina, otoritas tersebut harus lebih dari sekadar pengelola administratif.

“Partai-partai dan institusi nasional memang punya tanggung jawab, tapi tanggung jawab terbesar tetap pada pundak Otoritas Palestina,” tegasnya.

Menurutnya, model lama berupa pembentukan “komite rakyat” telah kehilangan efektivitasnya dalam menghadapi dinamika kekerasan pemukim yang kini lebih terorganisir dan dilindungi militer.

Ia mendorong lahirnya pendekatan baru yang tidak membuat para relawan menjadi target langsung pemukim maupun tentara.

“Kenapa aparat keamanan Palestina tidak disebar ke desa-desa yang paling rentan terhadap serangan pemukim, dengan pakaian sipil?. Mereka bisa menjadi garda depan pertahanan sipil, membantu warga menjaga kampung halaman mereka,” tanya Jum’ah retoris.

Namun, Jum’ah menegaskan bahwa langkah paling menentukan tetap harus diambil di jalur politik.

Ia menyerukan pemutusan total segala bentuk koordinasi keamanan dengan Israel sebagai langkah simbolik sekaligus strategis.

Selain itu, Otoritas Palestina diminta mengambil inisiatif diplomatik yang lebih agresif: menekan negara-negara Arab dan komunitas internasional agar bertindak nyata menghentikan pelanggaran yang terus terjadi.

“Langkah hukum juga harus dikedepankan, yakni membawa Israel ke pengadilan internasional atas kejahatan perang,” kata Jum’ah.

Ia juga mendorong kampanye global untuk memboikot Israel serta mendesak penerapan sanksi internasional.

Namun, ia menyayangkan minimnya keberanian politik dari otoritas yang ada.

“Potensi untuk melawan itu besar. Yang tidak ada adalah kemauan politik untuk memulainya,” pungkasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular