Sistem kesehatan di Jalur Gaza semakin mendekati titik kehancuran total. Di tengah agresi militer Israel yang terus berlangsung, Direktur Rumah Sakit Lapangan Kementerian Kesehatan Gaza, dr. Marwan al-Hams, memperingatkan bahwa sebagian besar rumah sakit utama yang tersisa kini terancam berhenti beroperasi akibat kelangkaan ekstrem obat-obatan dan peralatan medis.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera, dr. al-Hams menggambarkan kondisi pasien yang dibawa dari pusat-pusat distribusi bantuan sebagai sangat kritis.
Unit perawatan intensif dilaporkan penuh sesak, sementara sebagian besar korban mengalami luka serius di bagian tubuh bagian atas, mencerminkan kekerasan brutal yang terus berlangsung.
“Situasinya sangat mengerikan. Kami terpaksa membagi satu dosis obat untuk dua bahkan tiga pasien,” ujar al-Hams.
Hal ini merujuk pada kebijakan rasionalisasi logistik medis akibat keterbatasan pasokan.
Tak hanya kelumpuhan layanan kesehatan, Gaza juga menghadapi ancaman serius wabah penyakit.
- al-Hams memperingatkan kemungkinan merebaknya penyakit meningitis (radang selaput otak) apabila situasi terus dibiarkan tanpa intervensi.
Peringatan itu sejalan dengan laporan dari Kompleks Medis Nasser di Khan Younis, yang mengonfirmasi 35 kasus meningitis pada anak-anak, sebuah angka yang belum pernah terjadi sebelumnya di wilayah tersebut.
Para dokter menyebut penyakit ini dapat menyebabkan gangguan kognitif dan sensorik yang permanen jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat.
Kondisi itu diperparah oleh kepadatan tinggi di kamp-kamp pengungsian, buruknya sanitasi, dan lemahnya sistem imun anak-anak akibat malnutrisi kronis.
Gaza kini menghadapi kombinasi mematikan: perang, kelaparan, dan ancaman wabah.
Kekejaman tidak berhenti di medan tempur. Pemerintah Gaza menyebutkan bahwa sejak awal perang, sebanyak 580 warga sipil tewas dan lebih dari 4.000 lainnya terluka saat berusaha mengakses bantuan kemanusiaan. Sebanyak 39 orang dilaporkan hilang.
Total, korban jiwa dan luka akibat agresi yang dilancarkan sejak 7 Oktober 2023 telah mencapai hampir 190.000 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak.
Selain itu, lebih dari 11.000 orang masih hilang, dan kelaparan akut telah merenggut nyawa banyak warga, termasuk puluhan anak.
Meski dunia internasional telah mengeluarkan berbagai kecaman, termasuk perintah dari Mahkamah Internasional untuk menghentikan perang, Israel tetap melanjutkan operasinya dengan dukungan politik dan militer tak terbatas dari Amerika Serikat (AS).
Di tengah keputusasaan ini, suara dari Gaza terus memohon perhatian dan tindakan nyata dari dunia.
“Kami tidak bicara soal peralatan canggih atau teknologi tinggi. Kami hanya butuh infus, antibiotik, dan tempat tidur untuk merawat yang terluka,” ujar dr. al-Hams.