Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump kembali menerima kunjungan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, Senin (7/7/2025) waktu setempat.
Ini merupakan pertemuan ketiga dalam kurun waktu enam bulan—lebih sering dari kunjungan pemimpin dunia mana pun—dan menjadi penanda relasi pribadi yang kian erat antara keduanya, meskipun tidak selalu sejalan dalam kebijakan luar negeri.
Di bawah slogan “America First”, Trump telah mengambil sejumlah keputusan yang menunjukkan dukungan tanpa syarat terhadap Israel sebagai mitra strategis utama AS di Timur Tengah.
Ini termasuk sikap keras terhadap gerakan pro-Palestina di dalam negeri serta keberpihakan terbuka dalam sejumlah konflik kawasan.
Namun, hubungan keduanya juga kerap diwarnai ketegangan. Paling mutakhir, Trump menunjukkan ketidaksabarannya ketika ia berhasil menengahi gencatan senjata antara Israel dan Iran setelah apa yang disebutnya sebagai “Perang 12 Hari” bulan lalu.
“ISRAEL. JANGAN JATUHKAN BOM ITU. PULANGKAN PARA PILOT SEKARANG!” tulis Trump dalam platform media sosialnya, TruthSocial.
Bahkan dalam sebuah pernyataan kepada media, Trump dengan gamblang menyatakan bahwa Israel dan Iran sama-sama tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan.
Meski demikian, menurut Aaron David Miller, mantan penasihat kebijakan Timur Tengah di Departemen Luar Negeri AS, relasi keduanya tetap terjaga.
“’Bromance’ itu telah dipulihkan, tetapi Netanyahu tahu persis bahwa jika ia mencoba menghalangi sesuatu yang benar-benar diinginkan Trump, maka tekanan akan datang,” kata Miller, yang kini menjadi peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace.
Miller mencatat, meski Trump sering bersikap labil dalam urusan luar negeri, ia telah memberikan Netanyahu sesuatu yang belum pernah dicapai pemimpin Israel sebelumnya: serangan militer Amerika terhadap fasilitas nuklir Iran.
Namun, sikap Trump terhadap Israel juga terkesan ambigu. Ia tetap menjalin kontak diplomatik langsung dengan musuh-musuh utama Israel seperti Hamas, kelompok Houthi di Yaman, dan Iran—sesuatu yang sebelumnya tabu bagi para presiden AS.
Kunjungan resmi luar negeri pertama Trump pun tidak menyertakan Israel dalam agendanya, kendati negara itu tengah berperang di berbagai front dan sekitar 70 persen persenjataannya berasal dari AS.
Menurut Miller, Trump telah “menabrak” dua prinsip besar dalam hubungan AS-Israel: pertama, prinsip “tidak ada celah” antara kebijakan kedua negara; dan kedua, “koordinasi penuh” dalam setiap langkah kebijakan luar negeri.
“Trump justru menerapkan tekanan yang berkelanjutan terhadap pemerintah Israel, sesuatu yang belum pernah kita saksikan sebelumnya,” kata Miller.
Pemerintahan sebelumnya, di bawah Presiden Joe Biden, sempat menyatakan bahwa mereka juga menekan Israel dalam fase awal perang di Gaza.
Namun, seperti dikutip The Times of Israel, mantan Duta Besar AS untuk Israel mengatakan, bahwa pada dasarnya mereka tidak pernah benar-benar mengatakan untuk menghentikan perang tersebut.
Trump sendiri mengirim utusan khususnya, Steven Witkoff, untuk menekan Netanyahu agar menyetujui gencatan senjata dengan Hamas sejak 19 Januari 2025, sehari sebelum Trump resmi dilantik kembali sebagai presiden.
Langkah ini menuai pujian dari kalangan konservatif anti-perang serta komunitas Arab-Amerika yang selama ini mendukung agenda non-intervensi Trump.
Netanyahu pun tunduk terhadap permintaan itu, setidaknya sementara. Namun pada 1 Maret, Israel kembali melanjutkan serangan udaranya ke Gaza, dengan angka korban jiwa mencapai sekitar 100 orang Palestina per hari—angka yang sebanding dengan hari-hari tergelap awal perang.
Sejak Trump kembali menjabat, Israel juga telah melancarkan serangan ke Suriah, Lebanon, dan Yaman.
Netanyahu tampak semakin percaya diri untuk bergerak agresif, sembari tetap menjaga hubungan pribadi yang strategis dengan Gedung Putih.
Trump isyaratkan gencatan senjata Gaza
Presiden Amerika Serikat Donald Trump membuka peluang kesepakatan gencatan senjata baru di Gaza dalam waktu dekat.
Kepada wartawan, Selasa (8/7/2025), Trump menyatakan kemungkinan tercapainya “sebuah kesepakatan pekan depan”, memicu spekulasi bahwa akan ada pengumuman bersama saat kunjungan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ke Gedung Putih.
Namun, banyak pihak menilai proses ini belum akan rampung dalam waktu dekat.
“Hamas adalah pihak penting dalam kesepakatan ini. Jadi tidak bisa semata-mata diumumkan begitu saja,” kata Omar Rahman, peneliti di Middle East Council on Global Affairs, kepada Middle East Eye.
Rahman menyebut, gaya Trump yang impulsif membuat kemungkinan pengumuman akan dilakukan secara mendadak melalui media sosial pribadinya, TruthSocial.
Trump memuji peran Qatar dan Mesir dalam upaya mediasi. Ia mengatakan bahwa kedua negara tersebut “telah bekerja keras untuk membawa perdamaian” serta akan menyampaikan proposal final yang dirancang untuk masa gencatan 60 hari.
Namun media Israel melaporkan bahwa negosiasi masih sangat rumit. Salah satu isu yang mencuat adalah permintaan Israel untuk memperoleh jaminan tertulis dari Trump bahwa mereka boleh melanjutkan operasi militer di Gaza jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Kanal berita Channel 14 menyebut, berdasarkan informasi dari “anggota level politik” — frasa yang sering digunakan untuk merujuk kebocoran informasi yang disengaja dari kantor Netanyahu — proposal gencatan senjata terbaru mencakup surat tambahan dari Trump.
Dokumen itu akan memberi lampu hijau bagi Israel untuk melanjutkan serangan jika tuntutan terkait pelucutan senjata Hamas dan pengasingan para pemimpinnya tidak dipenuhi. Penafsiran atas syarat-syarat itu akan berada sepenuhnya di tangan Israel.
Di pihak lain, Hamas juga memiliki sejumlah keberatan yang masih belum teratasi. Aaron David Miller, mantan penasihat kebijakan Timur Tengah di Departemen Luar Negeri AS, menyatakan bahwa perundingan tidak mungkin selesai sebelum Netanyahu tiba di Washington.
Beberapa isu kunci, menurut Miller, antara lain adalah jumlah tahanan Palestina yang akan dibebaskan sebagai bagian dari pertukaran dengan sekitar 10 hingga 20 sandera Israel yang masih hidup di Gaza.
Selain itu, ada tuntutan Hamas agar bantuan kemanusiaan bisa mengalir masuk tanpa hambatan dan secara aman.
Namun, isu utama tetap menyangkut kapan dan bagaimana perang benar-benar akan diakhiri.
Hamas ingin ada jaminan bahwa perang tidak hanya akan dihentikan sementara, tetapi benar-benar diakhiri dengan penarikan pasukan Israel, setidaknya ke zona penyangga.
“Masalah ini bahkan belum pernah diselesaikan dalam gencatan Januari lalu, yang akhirnya dilanggar Israel setelah enam minggu,” kata Miller.
Netanyahu sendiri tetap pada posisinya: mengusir seluruh pimpinan senior Hamas dari Jalur Gaza, yang kabarnya hendak diasingkan ke tiga atau empat negara Arab yang bersedia menerima mereka — serta memastikan Hamas dilucuti sepenuhnya.
Dua hal ini dinilai mustahil oleh Hamas selama pendudukan Israel berlanjut dan tidak ada prospek negara Palestina.
“Pada akhirnya, semua ini bergantung pada kemauan politik AS untuk menekan Israel. Gencatan senjata Januari tidak bertahan karena Israel tidak bersedia menghentikan perang, dan AS tidak mau memaksanya. Bisakah Trump melakukannya? Saya rasa dia punya kekuatan untuk itu,” kata Rahman.
Normalisasi dan kepentingan lebih luas
Bulan lalu, Netanyahu sempat mengisyaratkan dibukanya jalur diplomatik baru dengan negara-negara Arab sebagai bagian dari paket gencatan senjata Gaza.
Ia dan Trump masih memandang kesepakatan besar dengan Arab Saudi dalam kerangka Abraham Accords sebagai “hadiah utama”.
Namun, laporan Financial Times mengindikasikan bahwa Riyadh tidak seantusias Trump, apalagi setelah serangan Israel terhadap Iran yang dinilai semakin mengacaukan stabilitas kawasan.
Di sisi lain, pemerintahan baru Suriah di bawah Ahmed al-Sharaa sedang menjajaki hubungan lebih dekat dengan negara-negara Teluk dan kekuatan Barat untuk memulihkan negerinya pasca-perang sipil 14 tahun.
Menurut Miller, mungkin akan ada pengumuman terkait kontak lanjutan antara Israel dan Suriah, semacam kesepakatan keamanan atau koordinasi terbatas untuk menghindari benturan.
“Saya sudah 20 tahun memberi nasihat kepada presiden dari dua partai di AS, dan sangat mencengangkan bahwa kontak langsung ini sudah dimulai dengan pemerintahan Suriah yang dulu dikaitkan dengan al-Qaeda. Ini luar biasa,” katanya.
Namun, menurut Rahman, pembicaraan normalisasi formal masih jauh dari kenyataan.
“Saya tidak melihat prospeknya sebagai sesuatu yang kredibel. Paling-paling kita akan melihat semacam kesepakatan militer atau ketegangan yang diredakan, seperti yang dulu dilakukan Assad selama puluhan tahun,” ujarnya.
Sebelum serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, ada dorongan menuju jalur diplomatik antara Israel dan Saudi.
Tapi menurut Rahman, narasi bahwa normalisasi itu sudah di ambang pintu sangat dilebih-lebihkan.
“Saya berada di banyak ruang diskusi itu di Washington. Itu seperti teka-teki yang tidak kunjung bisa disatukan,” katanya.
Adapun pertemuan-pertemuan bilateral paling penting yang dipimpin Trump di Gedung Putih selama ini kerap disertai kejutan.
Terutama karena sang presiden senang mengundang media untuk konferensi pers dadakan.
Namun, menurut Miller, sesi foto Trump-Netanyahu di Gedung Putih kali ini tidak akan mengubah opini siapa pun baik di AS maupun di Israel.
“Yang jelas, ini penting bagi Netanyahu secara pribadi. Dan bila ia salah mengelola hubungan ini, maka harganya akan mahal,” pungkasnya.