Thursday, July 10, 2025
HomeBeritaSatu dari dua bayi kembar Gaza gugur akibat kelaparan

Satu dari dua bayi kembar Gaza gugur akibat kelaparan

Di tengah puing-puing dan blokade ketat di Jalur Gaza, Aayat al-Sardi, seorang ibu muda Palestina, berdiri dalam kesedihan mendalam di rumahnya di lingkungan Sabra, Gaza City. Di hadapannya, dua boks bayi: satu kosong sejak bayinya, Ahmed, meninggal dunia akibat kekurangan gizi empat hari lalu. Di boks lainnya, saudara kembar Ahmed, Mazen, masih berjuang untuk hidup.

Kedua bayi tersebut lahir prematur pada April 2025 setelah sang ibu melewati masa kehamilan yang penuh perjuangan—empat kali keguguran dan bertahun-tahun perawatan medis. Kelahiran mereka sempat menjadi harapan baru di tengah penderitaan yang panjang. Namun, agresi militer Israel dan blokade ketat menghancurkan semua harapan itu.

Meninggal karena Kelaparan

Akibat buruknya kondisi gizi dan krisis kemanusiaan, al-Sardi terpaksa melahirkan di usia kandungan tujuh bulan. Ahmed dan Mazen harus dirawat selama 40 hari di ruang perawatan intensif Rumah Sakit Al-Helou dan Al-Rantisi. Selama itu pula, sang ibu tidak dapat menjenguk karena keterbatasan transportasi dan risiko keamanan.

“Setiap hari saya takut menerima kabar terburuk,” ujar Sardi. Ketakutan itu akhirnya menjadi kenyataan. Ahmed meninggal dunia karena kelaparan. Ia tak mampu bertahan akibat kurangnya akses terhadap susu formula dan suplemen bayi.

Sejak Israel menutup akses bantuan kemanusiaan pada 2 Maret 2025, Gaza terjerumus ke dalam kelaparan massal yang kini menewaskan banyak anak.

Tak Ada Susu Bayi

Setelah keluar dari rumah sakit, keluarga tidak dapat memperoleh susu formula khusus yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan bayi prematur. “Harga satu kaleng susu formula terapi, jika pun tersedia, bisa mencapai 200 shekel (sekitar Rp1 juta),” ujar al-Sardi kepada kantor berita Anadolu.

Pada awal Juni, pusat-pusat kesehatan menyatakan pasokan susu telah habis total akibat penutupan perbatasan dan penghentian pengiriman bantuan medis.

Dengan tidak adanya alternatif, Sardi mencoba berbagai jenis susu lain. Namun, tubuh Ahmed tak mampu menerimanya.

“Terakhir kali ia minum, susunya keluar lewat hidung,” kenang al-Sardi dengan suara parau. “Dia tidak kuat.”

Perjuangan terakhir

Meski dihadapkan pada keterbatasan ekstrem, Sardi tetap berupaya mencari pertolongan. Karena tidak ada transportasi umum, ia berjalan kaki sebagian besar jalan dari Gaza City ke wilayah tengah Gaza.

Ketika sedang beristirahat di rumah keluarga di Deir al-Balah, ia menyadari kulit Ahmed mulai menguning, lalu membiru. Napasnya berbunyi seperti siulan. Panik, ia menggendong bayinya dan berlari sejauh beberapa kilometer menuju Rumah Sakit Martir Al-Aqsa.

Namun, semuanya sudah terlambat. “Dia tiba dalam keadaan tak bernyawa,” kata Sardi, menahan tangis.

Kembar yang Bertahan

Mazen, bayi kembar Ahmed yang kini berusia tiga bulan, hanya diberi susu untuk bayi usia satu tahun karena tidak ada pilihan lain. Setiap hari, al-Sardi terus mengamati kondisi putranya dengan cemas, takut Mazen akan mengalami nasib serupa.

Kehamilan yang ia jalani pun bukan tanpa tantangan—perpindahan berulang, suara ledakan yang terus menghantui, serta kekurangan gizi yang membuatnya melahirkan lebih awal dan nyaris kehilangan nyawa.

Kini, setelah kepergian Ahmed, ia berjuang menyediakan kebutuhan paling dasar untuk Mazen, termasuk popok dan makanan.

“Apa salah anak-anak ini, hingga harus hidup seperti ini dan meninggal karena kelaparan?” tanyanya lirih.

Tragedi massal

Aayat al-Sardi hanyalah satu dari ratusan ribu orangtua di Gaza yang mengalami tragedi serupa akibat pengepungan panjang Israel. Sejak Oktober 2023, setidaknya 66 anak dilaporkan meninggal karena kekurangan gizi. Pada awal Juli, seorang pria berusia 29 tahun juga meninggal karena kelaparan—korban dewasa pertama akibat kelaparan di Gaza. Kementerian Kesehatan Gaza menyebut peristiwa ini sebagai titik balik yang mengkhawatirkan dalam krisis kemanusiaan.

Pada Jumat lalu, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyatakan bahwa sejak Januari, sekitar 112 anak Palestina dirawat setiap harinya di rumah sakit Gaza akibat kekurangan gizi, yang disebabkan oleh blokade yang terus berlangsung.

Sejak Oktober 2023, militer Israel telah menewaskan hampir 57.700 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Serangan bertubi-tubi telah melumpuhkan Gaza, memperburuk krisis pangan, dan memicu penyebaran penyakit.

Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ).

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular