Tuesday, July 15, 2025
HomeBerita20.000 tentara Israel derita trauma dalam perang Gaza

20.000 tentara Israel derita trauma dalam perang Gaza

Media-media Israel mengangkat potret kelam kondisi militer dan masyarakat Israel di tengah perang berkepanjangan yang tak kunjung memberikan hasil nyata.

Laporan-laporan itu menyoroti krisis mendalam yang kini mengguncang moral tentara dan kepercayaan publik terhadap arah perang yang dijalankan pemerintah.

Analis militer Kanal 13, Alon Ben-David, mengungkap bahwa militer Israel kini mulai menyampaikan penilaian realistis kepada kabinet keamanan tentang apa yang dapat dan tidak dapat dicapai di Gaza.

Ia menegaskan, harga yang harus dibayar Israel kian mahal, baik dari segi korban jiwa maupun kelelahan yang merundung pasukan di garis depan.

“Israel belum pernah melihat satu generasi pun yang mengalami perang selama ini,” ujarnya.

Ia juga memperingatkan bahwa jumlah korban tewas dan luka kemungkinan besar akan terus bertambah.

Sementara itu, jurnalis militer Kanal 12, Nir Dvori, menyampaikan angka mencengangkan: sekitar 20.000 tentara menderita gejala trauma pasca perang (PTSD), dan jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat.

Ia menyebut situasi ini sebagai krisis psikologis terbesar dalam sejarah militer Israel.

Mikhāl Baidan, reporter urusan sosial kanal yang sama, menggambarkan sisi kemanusiaan krisis tersebut.

“Kita tengah menyaksikan satu generasi yang telah bertempur selama hampir dua tahun. Mereka menjalani pertempuran demi pertempuran, dan bagi yang kembali hidup, perjuangan baru dimulai — untuk bertahan secara psikologis dan sosial,” ungkapnya.

Kritik terhadap manajemen perang

Sorotan tajam juga datang dari kalangan politik. Anggota parlemen dari partai Yesh Atid, Merav Cohen, melontarkan kritik pedas terhadap pemerintah yang dinilainya lalai dalam manajemen perang.

Ia memperingatkan bahwa lebih banyak nyawa bisa melayang bukan karena serangan musuh, melainkan karena kelalaian internal.

Cohen menyinggung buruknya pelatihan bagi tentara muda yang langsung diterjunkan ke medan perang, kurangnya latihan bagi pasukan cadangan, serta pemaksaan tugas kepada tentara yang tengah mengalami trauma atau kelelahan parah.

Nada serupa juga disampaikan mantan kepala divisi operasi militer, Yisrael Ziv. Ia menyebut kebijakan pemerintah telah merusak integritas tentara dan memperparah krisis moral di tubuh militer.

“Masalah ini bisa memicu gejala-gejala sosial yang tidak diinginkan dalam institusi militer,” katanya, seraya menegaskan bahwa legitimasi moral dari pemerintah menjadi kunci dalam menjaga daya juang pasukan.

Ben-David juga mengangkat kegelisahan yang mengemuka di masyarakat Israel.

Menurutnya, sebagian besar warga kini kehilangan rasa percaya terhadap arah perang.

Hal itu dinilai tidak memiliki tujuan jelas selain untuk memuaskan sekelompok kecil pendukung garis keras yang disebutnya sebagai “pecandu perang”.

Almog Boker, reporter urusan politik Kanal 12, menambahkan dimensi personal dari krisis ini.

Ia mengutip pesan terakhir seorang perwira dari Brigade Golani yang tewas dalam pertempuran.

Dalam pesannya, sang perwira menyuarakan kekecewaan terhadap mereka yang enggan berbagi beban militer, sementara sebagian lainnya mempertaruhkan nyawa dalam perang tanpa akhir.

Sementara itu, analis politik senior, Amnon Abramovich, menuturkan bahwa konflik ini sejak lama telah melampaui ranah militer.

Ia menuding pemerintah telah menyeret tentara ke dalam konflik berkepanjangan demi mempertahankan kekuasaan dan menjalankan agenda politik seperti pengusiran penduduk Palestina.

Abramovich memperingatkan bahwa arah kebijakan seperti ini bisa membawa Israel menuju kekalahan total — bukan hanya secara militer, tetapi juga secara ekonomi, sosial, dan diplomatik di mata dunia.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular