Wednesday, August 13, 2025
HomeBeritaRencana pendudukan Gaza bikin Israel Pecah

Rencana pendudukan Gaza bikin Israel Pecah

Sejumlah laporan media Israel mengungkap arah kebijakan baru yang diusung Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—yang tengah berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional—untuk kembali menduduki Jalur Gaza.

Otoritas Penyiaran Israel menyebut gagasan itu sebagai “rencana ringan” pendudukan Gaza.

Menurut akademisi dan pakar isu Israel, Dr. Muhannad Mustafa, rencana ini merupakan upaya Netanyahu mengurangi resistensi internal terhadap gagasan pendudukan langsung.

Skemanya dimulai dengan pengepungan Kota Gaza, lalu berlanjut ke pendudukan kamp-kamp pengungsi di bagian utara pada tahap kedua.

Dalam wawancara dengan Fox News, Netanyahu menegaskan Israel bermaksud menguasai Gaza tanpa mengelolanya secara langsung, dengan tujuan menyerahkannya kepada pasukan Arab yang “tidak mengancam Israel”.

Namun, rencana itu menuai keberatan keras dari kubu militer. Kanal 12 Israel mengutip pernyataan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Eyal Zamir yang menilai pelaksanaan rencana tersebut akan langsung mengancam keselamatan tawanan Israel di Gaza.

Sikap ini menjadi tantangan terbuka bagi otoritas Netanyahu, mengingat posisi kepala staf secara historis memiliki bobot politik dalam keputusan strategis negara.

Pakar militer dan strategi Dr. Ahmad al-Sharifi menambahkan, keputusan akhir tak sepenuhnya berada di tangan Netanyahu atau militer, tetapi ditentukan melalui visi politik yang digodok di Knesset.

Ia menilai, ada hasrat Israel memperluas kendali geografis demi membentuk keseimbangan baru dalam kerangka “Tata Ulang Timur Tengah”.

Perubahan opini publik AS

Sementara itu, di Amerika Serikat terjadi perubahan besar dalam pandangan publik terhadap kebijakan Israel.

Menurut pakar isu Israel, Dr. Bilal al-Shobaki, survei terbaru menunjukkan 52% warga AS kini memandang Netanyahu secara negatif—angka terendah bagi pemimpin Israel dalam hampir tiga dekade.

Pengaruh gambar-gambar penderitaan warga Gaza memperkuat pergeseran ini: 60% responden menolak operasi militer Israel, berbanding 32% yang mendukung.

Al-Shobaki menilai tren ini berpotensi melahirkan elit politik baru di AS, yang pada tahap selanjutnya dapat menekan kebijakan luar negeri Washington.

Selain itu, katanya, juga dapat menempatkan pemerintah dalam posisi sulit di antara komitmen tradisional dan tekanan publik yang meningkat.

Mantan pejabat senior Departemen Luar Negeri AS, Thomas Warrick, menjelaskan bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump tidak mendukung aneksasi wilayah Gaza oleh Israel, tetapi membuka kemungkinan mendukung operasi militer.

Trump, kata Warrick, yakin Hamas tidak akan membebaskan tawanan dalam kondisi apa pun.

Strategi Washington, menurutnya, berporos pada 3 hal: meningkatkan bantuan kemanusiaan untuk Gaza, memberi lampu hijau bagi operasi militer penyelamatan tawanan, serta menyiapkan mekanisme pemerintahan Gaza yang tidak dikuasai Hamas maupun Israel secara langsung.

Situasi lapangan dan isu pemindahan penduduk

Di lapangan, penulis dan analis politik Ahmad al-Tanani menggambarkan suasana yang “penuh kecemasan dan tegang”.

Ia menyebut pasukan Israel kini menguasai 70% wilayah Gaza dan mengendalikan sisanya melalui dominasi tembakan.

Analis lain, Ahmad al-Hilah, menyoroti dimensi kemanusiaan yang kian memburuk. Mengacu data PBB, ia menyebut 1.300 warga Palestina tewas dalam waktu singkat akibat operasi militer.

Al-Hilah menilai hal ini bagian dari strategi memaksa perpindahan penduduk secara paksa—yang memicu kekhawatiran internasional akan krisis kemanusiaan yang lebih besar.

Gelombang kritik internasional terhadap Israel dan AS terus menguat. Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noël Barrot, menyebut distribusi bantuan di Gaza saat ini sebagai “aib dan memalukan”.

Sementara itu, 147 negara di dunia tetap mengakui keberadaan negara Palestina.

Menurut al-Shobaki, di Eropa mulai terbentuk upaya diplomasi yang bergerak di luar bayang-bayang Washington.

Ia menilai, dinamika ini dapat dikaitkan dengan perubahan sikap di AS untuk memberi tekanan baru terhadap kebijakan Amerika di isu Palestina.

Arah ini, katanya, menjadi tantangan serius bagi dominasi tradisional AS dalam mengelola konflik di Timur Tengah.

Hal itu sekaligus membuka kemungkinan perubahan geopolitik besar yang dapat menggeser keseimbangan kekuatan di tingkat regional maupun global.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular