Wednesday, August 13, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Mengapa Netanyahu membelok dari jalur perundingan, dan ke mana arah...

ANALISIS – Mengapa Netanyahu membelok dari jalur perundingan, dan ke mana arah Israel di Gaza?

Harapan akan tercapainya terobosan dalam perundingan pertukaran tahanan, setelah berminggu-minggu negosiasi intensif, mendadak pupus.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu — yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional — mengejutkan para mediator dengan menarik diri pada saat-saat terakhir.

Alih-alih melunak, ia justru menaikkan tensi politik dengan menyuarakan kemungkinan kembali menguasai seluruh Jalur Gaza.

Bagi sejumlah pengamat, langkah ini adalah bagian dari strategi manuver berulang yang menjadi ciri khas Netanyahu: menghindari tekanan domestik, menjaga koalisi politik, dan menekan lawan untuk memberi lebih banyak konsesi.

Menjelang rapat kabinet keamanan terbatas (kabinett) pada Kamis malam, sebagian besar analisis memperkirakan bahwa posisi Netanyahu dalam perundingan lebih diarahkan untuk memenuhi tujuan politik internal, terutama yang terkait kepentingan pribadi dan elektoral.

Ia juga memanfaatkannya sebagai alat tawar hingga detik terakhir demi keuntungan maksimal dari Hamas.

Menghindar dari meja perundingan

Analis politik Palestina, Wisam Afifa, memaparkan sedikitnya delapan alasan yang mendorong Netanyahu mundur dari skema kesepakatan yang difasilitasi mediator dalam beberapa pekan terakhir:

  1. Pertimbangan politik domestik — Menutup pintu kesepakatan berarti menunda skenario “pasca-perang” yang berpotensi memicu penyelidikan publik dan komisi kegagalan, di tengah gelombang kritik internal.
  2. Menjaga soliditas koalisi — Kesepakatan yang dipersepsikan sebagai “kemenangan Hamas” dapat memicu runtuhnya pemerintahan akibat tekanan kelompok sayap kanan. Eskalasi militer dianggap lebih aman secara politik.
  3. Menunda agenda politik — Perang yang terus berlanjut menghalangi wacana pemilu dini dan memberi waktu bagi Netanyahu untuk mengatur ulang peta kekuatan.
  4. Pertimbangan militer — Netanyahu menilai, kesepakatan tanpa capaian lapangan yang jelas, seperti tumbangnya pemerintahan Hamas, akan dianggap sebagai kekalahan. Karena itu, ia memilih melanjutkan eskalasi untuk mencari “kartu kemenangan”.
  5. Manuver taktis — Perundingan digunakan sebagai kedok untuk menekan Hamas. Ketika Hamas tidak lagi bergeser dari posisinya, Netanyahu menghentikan proses.
  6. Memutus momentum positif — Netanyahu khawatir ketika mediator mulai menyusun skema yang lebih dekat dengan posisi Palestina, ia akan terjerat jalur negosiasi yang berpotensi mengakhiri perang secara bertahap.
  7. Bermain di hadapan Washington — Dengan dukungan besar dari pemerintahan Presiden Donald Trump, Netanyahu berupaya mengukuhkan fakta lapangan sebelum ada tekanan internasional menuju penyelesaian.
  8. Menekan Hamas melalui eskalasi — Tujuannya bukan perang total, melainkan mendorong Hamas kembali ke meja perundingan dalam posisi lebih lemah.

Skenario militer di Gaza

Peneliti keamanan dan militer, Rami Abu Zubeida, memproyeksikan tiga kemungkinan jika pemerintah Israel memutuskan memperluas operasi militer di Gaza:

  1. Pembagian wilayah dan pengungsian massal — Memisahkan Kota Gaza dan wilayah utara dari bagian selatan dengan membentuk “zona penyangga” dan kamp-kamp pengungsi yang didukung secara diam-diam oleh Amerika Serikat (AS), disertai serangan udara untuk mendorong penduduk mengungsi ke selatan.
  2. Invasi darat ke pusat Gaza — Fokus pada Kota Gaza dan kamp pengungsi di wilayah tengah untuk mencari tawanan Israel. Namun, skenario ini berisiko tinggi menelan korban tentara akibat jebakan dan pertempuran di medan yang rumit.
  3. Strategi penggerusan perlahan — Serangan udara berkelanjutan, penyusupan terbatas pasukan khusus, dan tekanan kemanusiaan-politik secara simultan untuk melemahkan perlawanan, tanpa terjerumus ke pertempuran skala penuh.

Survei: Kepercayaan publik Israel tergerus

Di tengah ancaman eskalasi, survei yang dilakukan oleh Institut Studi Keamanan Nasional Israel menunjukkan penurunan tajam keyakinan publik terhadap hasil perang.

Sebanyak 61 persen responden tidak percaya operasi militer di Gaza akan berhasil memulangkan tawanan.

Hanya 25 persen yang yakin Hamas bisa dikalahkan dan para tawanan dikembalikan.

Sementara itu, 52 persen menilai pemerintahan Netanyahu justru menghalangi tercapainya kesepakatan pertukaran tawanan.

Analisis yang diterbitkan oleh platform Shu’un Askariya (Urusan Militer) menyebutkan, temuan ini meruntuhkan doktrin militer Israel yang mengandalkan penciptaan fakta di lapangan dan pembebasan tawanan tanpa kompromi.

Perlawanan Palestina, kata laporan itu, telah berhasil membangun pola perang “penggerusan” yang efektif, membuat kemenangan mutlak hampir mustahil, sekaligus memperkuat keyakinan bahwa perlawanan bersenjata tetap menjadi pilihan utama bagi rakyat Palestina.

Dengan menurunnya ekspektasi publik terhadap hasil operasi di Gaza, ruang gerak militer Israel semakin terbatas.

Setiap kerugian pasukan yang tidak diimbangi hasil signifikan akan memicu tekanan politik dan media.

Perlahan, “kesakralan” citra militer Israel di mata warganya memudar, memunculkan perdebatan baru tentang kemampuan angkatan bersenjata untuk mencapai kemenangan.

Situasi ini memperdalam perpecahan internal dan fragmentasi sosial, yang justru menjadi arena baru bagi perlawanan Palestina untuk mengakumulasi keuntungan dari strategi perang berkepanjangan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular