Wednesday, August 13, 2025
HomeBeritaMedia internasional kompak angkat gugurnya jurnalis Al-Jazeera oleh Israel

Media internasional kompak angkat gugurnya jurnalis Al-Jazeera oleh Israel

Pembunuhan terhadap para jurnalis Al Jazeera dalam serangan udara Israel di Gaza pada Ahad malam, 10 Agustus 2025, menuai sorotan luas dari media internasional.

Mereka Adalah koresponden Anas Al-Sharif dan Muhammad Qreiqa, serta fotografer Ibrahim Zaher, Moamen Alouwa, dan Muhammad Noufal.

Surat kabar-surat kabar ternama dunia segera memberitakan detail peristiwa ini beserta makna yang terkandung di baliknya.

Laporan media asing menegaskan, serangan itu dilakukan secara sengaja. Roket diarahkan langsung ke tenda tempat para jurnalis berada.

Militer Israel berusaha membenarkan aksi tersebut dengan mengulang tuduhan lama terhadap Anas Al-Sharif—yakni keterkaitan dengan Hamas—namun media mencatat, tuduhan itu tidak disertai bukti.

Bahkan, sejumlah organisasi hak asasi manusia internasional telah mengingatkan sejak beberapa pekan sebelumnya tentang ancaman terhadap nyawa Anas setelah tuduhan serupa dilontarkan pihak Israel.

Media internasional juga menyoroti ancaman pembunuhan yang sempat dialamatkan kepada Anas sebagai upaya membungkam liputannya.

Ia digambarkan sebagai jurnalis terkemuka yang memilih tetap menjalankan tugasnya, menolak tunduk pada tekanan, hingga akhirnya gugur di medan liputan.

Sosok yang menonjol

Harian Prancis Le Parisien menurunkan laporan bergambar dan tertulis mengenai gugurnya Anas Al-Sharif dan rekan-rekannya.

Dalam laporannya, Anas disebut sebagai salah satu wartawan paling menonjol di Gaza, sosok yang tetap meliput bahkan setelah ayahnya terbunuh dalam serangan Israel di Kamp Jabalia pada Desember 2023.

Surat kabar itu juga mengutip wasiat Anas yang dipublikasikan setelah ia gugur. Le Parisien menulis, menurut organisasi Reporters Without Borders (RSF), Anas bukan hanya jurnalis ternama, melainkan wajah yang mewakili penderitaan warga Gaza akibat kebijakan Israel.

Media tersebut mengingatkan pula pada pernyataan Irene Khan, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi.

Pada akhir Juli 2025 menilai tuduhan Israel kepada Anas sebagai “tidak berdasar” dan “tercela”, serta sebagai “serangan terang-terangan” terhadap jurnalis.

Adapun Euro-Mediterranean Human Rights Monitor menegaskan bahwa apa yang dilakukan Anas hanyalah tetap berdiri di depan kamera dari pagi hingga malam.

Harian Libération di Prancis memberitakan bahwa daftar jurnalis yang tewas di Gaza kembali bertambah dengan masuknya nama Anas Al-Sharif, Muhammad Qreiqa, dan rekan-rekannya.

Media ini mengutip kecaman keras RSF atas peristiwa itu, sekaligus seruan kepada komunitas internasional agar mengambil langkah tegas untuk menghentikan aksi militer Israel.

Siapa yang melindungi jurnalis?

RSF mendesak Dewan Keamanan PBB segera bersidang berdasarkan Resolusi 2222 Tahun 2015 tentang perlindungan jurnalis di wilayah konflik bersenjata, guna mencegah terulangnya pembunuhan di luar proses hukum terhadap insan pers.

Organisasi itu juga mengumumkan telah mengajukan empat pengaduan ke Mahkamah Pidana Internasional atas dugaan kejahatan perang Israel terhadap jurnalis di Gaza.

Harian Le Monde memuat kabar singkat disertai video laporan dari lokasi serangan yang menewaskan enam jurnalis.

Media ini mencatat bahwa pengakuan militer Israel atas kematian Anas dan rekannya, disertai tuduhan terorisme, adalah klaim yang sebelumnya telah dibantah badan-badan HAM pada 31 Juli 2025.

Mereka menyebut tuduhan tersebut sebagai upaya jelas untuk membahayakan nyawa Anas dan membungkam laporan-laporannya mengenai genosida di Gaza.

Sementara itu, Le Figaro—yang dikenal dekat dengan kubu kanan politik Prancis—menurunkan sejumlah materi liputan, termasuk video yang menampilkan profil Anas Al-Sharif dan potongan gambar dari lokasi pembunuhan.

Dalam laporannya yang berjudul “Siapa Lima Jurnalis yang Gugur akibat Serangan Israel di Gaza?”, media ini menulis bahwa Anas menolak mengungsi dari Gaza Utara, memilih tetap bekerja di wilayah yang hingga kini tertutup bagi media asing, dan menjadi salah satu reporter terdepan di kawasan tersebut.

Teror dan upaya membungkam

Media internasional juga mengingatkan bahwa Anas Al-Sharif pernah meraih Human Rights Defenders Award dari Amnesty International pada Desember 2024, sebagai penghargaan atas dedikasinya meliput realitas di wilayah Palestina.

Surat kabar asing memuat kembali tuduhan Israel kepadanya—yakni “terkait Hamas dan Jihad Islam”—yang ia bantah tegas.

Lembaga-lembaga hak asasi manusia internasional juga menolak tuduhan itu.

Dalam beberapa kesempatan, Anas menyatakan bahwa upaya tersebut merupakan bentuk teror yang sengaja diarahkan untuk membungkamnya, termasuk melalui ancaman pembunuhan.

Le Parisien mengutip kembali pernyataan Irene Khan, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, yang mengecam tuduhan Israel.

Khan menilai, Anas menghadapi “ancaman dan tuduhan berulang” dari militer Israel yang menstigmatisasinya sebagai “teroris” atau “pendukung Hamas” tanpa bukti.

Sementara itu, majalah Prancis L’Obs menulis, ketika Israel terus melaksanakan rencananya menguasai Gaza yang hancur dan dilanda kelaparan, berita kematian Anas dan rekan-rekannya datang dari tenda khusus jurnalis di dekat Rumah Sakit Al-Shifa.

Media tersebut menegaskan, Anas adalah salah satu wartawan paling dikenal dalam liputan perang di Gaza.

Militer Israel sendiri mengakui telah menargetkan Anas, sambil menudingnya terhubung dengan “terorisme”.

L’Obs juga menyebutkan, salah satu unggahan terakhir Anas di platform X adalah laporan soal serangan udara masif Israel, lengkap dengan video singkat dari lokasi. Setelah kematiannya, wasiatnya diunggah di akun yang sama.

Majalah itu mengingatkan kembali pernyataan Committee to Protect Journalists (CPJ) pada Juli lalu, yang mengecam “kampanye pencemaran nama” terhadap Anas.

Sarah Judd, Direktur Regional CPJ di New York, mengatakan bahwa pola Israel yang menuding jurnalis sebagai aktivis tanpa bukti kredibel “menimbulkan pertanyaan serius tentang niat dan komitmen Israel terhadap kebebasan pers”.

“Jurnalis adalah warga sipil dan tidak boleh menjadi sasaran serangan. Mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan ini harus dimintai pertanggungjawaban,” tegas CPJ.

L’Obs juga memuat sikap RSF yang membantah tuduhan Israel dan mengecam kampanye pencemaran terhadap Anas.

Mereka menyebutnya ‘mata bintang’ Gaza

Harian Spanyol El País menurunkan laporan penuh tentang peristiwa ini. Dalam tulisan Beatriz Lecumberri, Anas disebut sebagai salah satu wajah Gaza yang paling dikenal dalam liputan perang.

Media itu mengingatkan bahwa Israel beberapa kali melontarkan tuduhan langsung terhadap Anas.

Al Jazeera, bersama organisasi pers dan HAM internasional, mengecam tuduhan itu sebagai upaya berbahaya untuk membenarkan pembunuhan jurnalis di lapangan.

El País mencatat, sejak lama Gaza tertutup bagi jurnalis asing. CPJ pada Juli lalu bahkan mengungkapkan “kekhawatiran mendalam” bahwa ancaman terhadap Anas adalah langkah awal menuju pembunuhannya.

“Semua ini terjadi karena liputan saya tentang kejahatan Israel di Gaza merusak mereka dan mencoreng citra mereka di mata dunia,” kata Anas dalam pernyataannya kepada CPJ saat itu.

Surat kabar itu juga menulis tentang unggahan Anas beberapa menit sebelum ia terbunuh—yang oleh media disebut “bak ramalan”—mengomentari rencana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menguasai seluruh Kota Gaza.

“Jika kegilaan ini tidak dihentikan. Gaza akan menjadi puing, suara penduduknya akan dibungkam, wajah-wajah mereka akan dihapus, dan sejarah akan mengingat kalian sebagai saksi bisu atas genosida yang kalian pilih untuk tidak hentikan,” tulisnya.

Harian ternama Spanyol lainnya, El Mundo, memuat laporan berjudul “Beginilah Anas Al-Sharif, Reporter Bintang Al Jazeera yang Dibunuh Israel di Gaza”.

Media ini menguraikan detail serangan yang menewaskan Anas dan rekan-rekannya, menyebutnya sebagai “maraṣil estrella”—maraṣil bintang.

El Mundo juga menyoroti pernyataan juru bicara militer Israel, Avichay Adraee, yang bulan lalu menuding Anas sebagai anggota Hamas.

Tuduhan itu ditolak keras oleh Al Jazeera dan oleh Anas sendiri, yang menyatakan bahwa ia menjadi sasaran “kampanye ancaman karena pekerjaan jurnalistiknya”.

“Saya, Anas Al-Sharif, adalah jurnalis tanpa afiliasi politik. Satu-satunya tugas saya adalah menyampaikan kebenaran dari lapangan apa adanya, tanpa bias. Ketika kelaparan mematikan melanda Gaza, mengatakan kebenaran kini dianggap sebagai ancaman oleh pendudukan,” tegas Anas dalam unggahan di X.

Teka-teki waktu serangan

The New York Times memuat laporan lengkap beserta video mengenai peristiwa pembunuhan Anas Al-Sharif dan rekan-rekannya.

Media itu mengulas detail serangan, tuduhan yang diarahkan Israel kepada Anas, serta konteks hubungan tegang antara Israel dan Al Jazeera, yang kian memanas selama perang di Gaza.

NYT menulis, ketika Israel menutup pintu bagi media asing untuk masuk ke Gaza, Al Jazeera justru mampu menempatkan banyak koresponden di lapangan.

“Mereka menyuguhkan arus laporan tanpa henti mengenai kondisi mengerikan yang dihadapi warga sipil, yang terjebak dalam kekurangan dan kelaparan massal,” tulis media tersebut.

Serangan yang menewaskan para jurnalis terjadi hanya dua hari setelah kabinet keamanan Israel memutuskan memperluas operasi militer dan merebut Kota Gaza.

Sementara itu, The Washington Post memberitakan suasana pemakaman para jurnalis yang dihadiri ribuan pelayat.

“Bagi banyak orang di dunia berbahasa Arab, mereka adalah wajah dan suara yang menyertai perang yang telah berlangsung 22 bulan,” tulis media itu.

Di antara mereka, Anas disebut paling menonjol, dengan hampir selalu hadir di siaran langsung dari Gaza Utara yang hancur.

Washington Post mencatat, meski militer Israel langsung mengaku bertanggung jawab atas serangan itu dan menuduh Anas terkait Hamas.

Sementara, mereka tidak menyodorkan bukti atau dokumen yang menunjukkan keterlibatannya dalam aktivitas militer, dan tidak ada tuduhan serupa terhadap jurnalis lain yang turut tewas.

Liputan di tengah ancaman

Washington Post menambahkan, Al Jazeera, CPJ, dan pakar PBB telah menegaskan bahwa dokumen yang dirilis militer Israel tidak kredibel.

Israel sejak awal perang dinilai sengaja mencegah media independen memasuki Gaza, sehingga liputan sepenuhnya bergantung pada jurnalis Palestina.

Media itu juga menekankan, tim Al Jazeera diserang ketika pasukan Israel bersiap melancarkan invasi ke Kota Gaza, setelah pekan lalu kabinet keamanan menyetujui rencana perluasan operasi.

Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Irene Khan, menyebut kematian Anas sebagai “pembunuhan” dan bagian dari “strategi jelas” pemerintah Israel yang memiliki “mesin propaganda canggih”.

“Menyampaikan kabar kematian rekan-rekan saya mungkin adalah hal tersulit yang saya umumkan dalam 22 bulan terakhir,” kata Hani Mahmoud, koresponden Al Jazeera English.

Media Inggris: kecaman dan sorotan

Harian The Times di Inggris memberitakan pembunuhan Anas, Qreiqa, dan rekan mereka, menyebut Anas sebagai “jurnalis terkemuka Al Jazeera” yang pernah menerima ancaman dari Israel.

Serangan ini, tulis mereka, menuai kecaman luas dari jurnalis dan kelompok HAM.

Financial Times mengangkat judul “Israel Membunuh Koresponden Terkenal Al Jazeera di Gaza”, menyoroti reputasi Anas di dunia Arab berkat liputannya mengenai kelaparan di Gaza.

Media ini menegaskan, serangan pada Ahad malam itu menghantam tenda pers di dekat sebuah rumah sakit di Gaza Utara.

CPJ, kata FT, telah memperingatkan sebulan lalu bahwa Anas menjadi target kampanye pencemaran nama, dengan tuduhan tak terbukti terkait Hamas, yang dikhawatirkan menjadi pembuka jalan menuju pembunuhannya.

Anas adalah salah satu dari sedikit reporter yang masih bertahan di Gaza. Laporan terakhirnya berisi kabar peningkatan serangan udara, dengan kalimat singkat di platform X: “Serangan tanpa henti.”

“Kami semua hancur dan sangat marah,” kata Imran Khan, koresponden senior Al Jazeera English.

FT menambahkan, serangan itu dilakukan hanya beberapa hari setelah PM Benjamin Netanyahu memerintahkan militer bersiap memperluas serangan dan menguasai Kota Gaza.

Media itu juga mencatat bahwa militer Israel tidak menanggapi pertanyaan tentang alasan waktu serangan, padahal lokasi Anas diketahui luas dari liputannya yang hampir setiap hari disiarkan dari dekat Rumah Sakit Al-Shifa.

Salah satu laporannya pada akhir Juli—tentang seorang perempuan yang pingsan di depan rumah sakit, diduga akibat kelaparan—menjadi sorotan.

Setelah liputan tersebut, tuduhan Israel kepada Anas kembali digencarkan, hingga mendorong Al Jazeera dan CPJ memperingatkan bahwa ia dibidik karena pekerjaannya.

Propaganda dan disinformasi Israel yang berulang

Harian itu mengingatkan kembali pada pola serupa yang pernah dilakukan Israel dalam kasus kematian jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, pada 2022.

Saat itu, koresponden Palestina–Amerika Serikat tersebut tewas ditembak di Jenin. Israel mula-mula menuding peristiwa itu sebagai akibat baku tembak, namun belakangan mengakui adanya “kemungkinan besar” peluru yang menewaskannya berasal dari pasukan mereka.

Pengakuan itu datang setelah sejumlah investigasi independen membuktikan bahwa Shireen berada jauh dari titik bentrokan dan jelas mengenakan rompi serta helm bertanda “PRESS”.

Menurut laporan, Anas Al-Sharif pun telah mengantisipasi bahwa nyawanya terancam oleh tentara Israel.

Hal ini diungkap oleh para sahabatnya di media sosial, juga dari pernyataannya sendiri dalam wawancara sebelumnya bersama Al Jazeera.

Harian The Guardian meliput insiden pembunuhan itu dan menyoroti jalannya pemakaman Al-Sharif serta rekan-rekannya.

Senin lalu, ratusan pelayat mengusung jenazah “jurnalis senior Al Jazeera Anas Al-Sharif” di jalan-jalan Kota Gaza.

Sehari sebelumnya, ia dan empat rekan jurnalis tewas akibat serangan udara Israel, yang memicu gelombang kecaman dari berbagai penjuru dunia.

Para pelayat kemudian berkumpul di pemakaman Sheikh Radwan, Gaza Tengah, untuk memberikan penghormatan terakhir.

Jenazah para jurnalis yang dibungkus kafan putih itu sebelumnya disemayamkan di kompleks Rumah Sakit Al-Shifa sebelum dimakamkan.

Bukan peristiwa kebetulan

Menurut laporan, inilah kali pertama sejak pecahnya perang di Gaza militer Israel secara terbuka dan cepat mengakui bertanggung jawab atas kematian seorang jurnalis dalam serangan udara.

Institut Poynter, lembaga nirlaba Amerika Serikat yang bergerak di bidang studi media, menerbitkan laporan berjudul “Jurnalis Al Jazeera Ini Pernah Memperingatkan Akan Dibunuh Israel, Kini Ia Telah Tiada”.

Laporan itu menyebut kematian Al-Sharif dan rekan-rekannya “bukanlah sebuah kebetulan”.

Direktur Rumah Sakit Al-Shifa di Gaza bahkan menegaskan bahwa “serangan tersebut merupakan penargetan langsung terhadap tenda para jurnalis di depan gerbang utama rumah sakit”.

Poynter juga menanggapi klaim militer Israel yang menuding Al-Sharif memiliki keterkaitan dengan Hamas.

Lembaga itu menyatakan tuduhan tersebut telah “dibantah dan dikecam keras”, dan sejak lama ada kekhawatiran bahwa Israel akan menargetkan jurnalis tersebut.

Laporan itu kembali mengutip pernyataan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) yang menegaskan bahwa Al-Sharif telah menjadi sasaran kampanye pencemaran nama baik oleh militer Israel.

CPJ menyatakan keprihatinan atas “ancaman berulang” yang dilontarkan juru bicara militer Israel, Avichay Adraee, terhadap koresponden Al Jazeera di Gaza tersebut, serta menyerukan perlindungan internasional baginya.

“Ini bukan pertama kalinya militer Israel menargetkan Al-Sharif. Namun, ancaman terhadap nyawanya kali ini benar-benar menjadi kenyataan,” tegas CPJ.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular