Pemerintah Israel, Rabu (20/8/2025), menyetujui sebuah rencana besar pembangunan permukiman di Tepi Barat, wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967.
Dengan restu Menteri Keuangan dari sayap kanan ekstrem, Bezalel Smotrich, Komite Permukiman Israel memberi lampu hijau pelaksanaan proyek “E1” yang sesungguhnya sudah mulai digagas sejak 1990-an.
Proyek itu mencakup pembangunan sekitar 3.400 unit permukiman baru, dengan tujuan memperluas kawasan Ma’ale Adumim dan menghubungkannya ke Yerusalem.
Jika terwujud, jalur ini akan memutus konektivitas antara bagian utara dan selatan Tepi Barat.
Sebuah langkah yang diperingatkan komunitas internasional sebagai pukulan telak terhadap prospek berdirinya negara Palestina yang berdaulat dan berkesinambungan secara geografis.
Jejak panjang pendudukan
Kisah Tepi Barat tidak bisa dilepaskan dari Perang 6 Hari pada Juni 1967, ketika Israel merebut wilayah itu beserta Yerusalem Timur.
Bersama dengan Jalur Gaza, kawasan ini kemudian dikategorikan PBB sebagai bagian dari “wilayah Palestina yang diduduki”.
Beberapa bulan setelah perang, pada September 1967, Pemerintah Israel yang dipimpin Partai Buruh mengizinkan berdirinya permukiman pertama di Tepi Barat.
Sejak saat itu, pembangunan permukiman terus meluas di bawah semua pemerintahan Israel, meskipun PBB berulang kali menyerukan penghentian praktik yang dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional.
Intifada dan kesepakatan Oslo
Tahun 1987 hingga 1993 ditandai oleh Intifada Pertama atau Intifada Batu, sebuah perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel.
Perlawanan itu kemudian membuka jalan menuju Perjanjian Oslo (1993) antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Dua tahun berikutnya, lahirlah Oslo II (1995) yang membagi Tepi Barat ke dalam tiga zona:
- Area A, di bawah kendali penuh Palestina, mencakup kota-kota besar seperti Ramallah, Nablus, Bethlehem, dan sebagian Hebron.
- Area B, dengan kendali sipil Palestina tetapi keamanan bersama.
- Area C, sekitar 60 persen luas Tepi Barat, sepenuhnya berada di bawah kontrol Israel.
Sejak itu, Ramallah menjadi pusat pemerintahan Otoritas Palestina yang didirikan pada 1994.
Tembok pemisah dan kehidupan terbatas
Pada 2002, di tengah Intifada Kedua (2000–2005), Israel mulai membangun tembok pemisah yang disebutnya “penghalang terorisme”.
Namun, tembok itu banyak dikritik karena menyerap wilayah Palestina dan secara sepihak membentuk batas de facto, bertentangan dengan hukum internasional.
Selain itu, ratusan pos pemeriksaan militer Israel di Tepi Barat membatasi gerak warga Palestina setiap hari.
Rencana aneksasi dan normalisasi
Pada 2020, Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana damai yang mengizinkan Israel menganeksasi Lembah Yordan, wilayah strategis yang membentang di perbatasan dengan Yordania.
Pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kala itu sempat menetapkan tanggal 1 Juli 2020 untuk memulai langkah tersebut.
Namun, tekanan internasional dan kesepakatan normalisasi dengan sejumlah negara Arab (Perjanjian Abraham) membuat rencana itu urung dijalankan.
Operasi militer dan gelombang baru permukiman
Sejak pecahnya perang di Gaza pada Oktober 2023, kekerasan di Tepi Barat juga meningkat. Pada 21 Januari 2025, militer Israel melancarkan operasi besar bertajuk “Tembok Besi”, dengan pengerahan tank untuk pertama kalinya sejak Intifada Kedua.
Serangan ini memaksa lebih dari 40.000 warga Palestina mengungsi.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya 29 Mei 2025, Israel mengumumkan pembangunan 22 permukiman baru.
Pada Juli, Knesset (parlemen Israel) menyetujui rancangan resolusi yang menyerukan aneksasi Tepi Barat dan menolak secara mutlak pembentukan negara Palestina.
Puncaknya, 20 Agustus 2025, proyek E1 akhirnya disahkan. Smotrich terang-terangan menyatakan bahwa “menghapus negara Palestina harus dilakukan dengan tindakan nyata, bukan sekadar slogan.”
Potret terkini
Kini, di Tepi Barat yang dihuni sekitar 3 juta warga Palestina, berdiri pula sekitar 500.000 pemukim Israel.
Permukiman itu, baik yang diakui maupun liar, dianggap melanggar hukum internasional.
Lebih dari sekadar pembangunan rumah, proyek E1 mencerminkan arah politik Israel di bawah pemerintahan kanan ekstrem: memperkuat kontrol, memutus kesinambungan wilayah Palestina, sekaligus menutup jalan menuju solusi dua negara.