Thursday, August 28, 2025
HomeBeritaGaza dan biaya perang: Beratnya beban Israel memanggil 370 ribu tentara cadangan

Gaza dan biaya perang: Beratnya beban Israel memanggil 370 ribu tentara cadangan

Keputusan pemerintah Israel untuk menduduki Kota Gaza menimbulkan kecemasan bukan hanya karena risiko politik dan militer, melainkan juga akibat ongkos ekonomi yang semakin menekan negeri itu setelah lebih dari 22 bulan perang berlangsung.

Hingga kini, pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu belum berhasil mencapai tujuan yang dicanangkan dalam operasi militer “Kereta Gideon 1”.

Operasi itu sendiri telah menelan biaya sekitar 7,2 miliar dolar AS. Kini, rencana operasi lanjutan, “Kereta Gideon 2”, diperkirakan akan menambah beban fiskal sebesar 3,3 miliar dolar AS.

Sementara defisit anggaran 2025 diproyeksikan melonjak menjadi 5,2 persen.

Sejak awal perang, Israel telah memanggil sekitar 370 ribu tentara cadangan melalui mekanisme darurat yang disebut Perintah 8.

Langkah itu memungkinkan mobilisasi massal tanpa perlu persetujuan penuh dari parlemen.

Namun, harga yang harus dibayar sangat tinggi:

  • 110 juta dolar AS per hari: ongkos pemeliharaan tentara cadangan.
  • 13.300 dolar AS: biaya rata-rata per bulan untuk seorang tentara cadangan.
  • 7.500 dolar AS: biaya rata-rata per bulan untuk tentara aktif reguler.

Artinya, seorang tentara cadangan dua kali lebih mahal dibandingkan prajurit aktif. Beban kian berat karena biaya meningkat sesuai kelompok usia:

  • Lebih dari 17 ribu dolar AS per bulan untuk usia 40–45 tahun.
  • Lebih dari 15 ribu dolar AS per bulan untuk usia 31–39 tahun.
  • Lebih dari 9 ribu dolar AS per bulan untuk usia 22–30 tahun.

Minggu lalu, sebuah komite di Knesset menyetujui perpanjangan resmi Perintah 8 demi menjaga landasan hukum mobilisasi cadangan, seiring dengan lamanya perang.

Kepala Staf Eyal Zamir bahkan telah menandatangani “ide sentral” untuk rencana pendudukan penuh Gaza.

Keputusan kabinet Israel pada 8 Agustus lalu—yang diinisiasi Netanyahu—menjadi dasar hukum dan politik bagi operasi itu.

Intinya adalah menguasai Kota Gaza dengan cara mengosongkannya dari sekitar satu juta penduduk Palestina, mendorong mereka ke wilayah selatan, lalu mengepung kota sambil melancarkan operasi darat ke permukiman padat.

Rencana tersebut memicu kritik keras dari dunia internasional. Di Israel sendiri, suara-suara keberatan muncul karena selain risikonya yang tinggi, biaya ekonomi yang ditimbulkan kian mencekik.

Setiap hari perang berjalan, beban fiskal meningkat, sementara produktivitas menurun akibat puluhan ribu pekerja yang ditarik dari pasar tenaga kerja untuk mengenakan seragam militer.

Dengan demikian, perang yang dimaksudkan untuk menunjukkan kekuatan Israel justru memperlihatkan sisi rapuh negara itu: antara ambisi pendudukan dan keterbatasan daya tahan ekonomi.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular