Bukan hanya pemerintah yang dituding bertanggung jawab atas berlanjutnya pembunuhan jurnalis di Jalur Gaza.
Komunitas pers internasional pun dinilai ikut terlibat, lantaran memilih diam demi melindungi kepentingan sendiri.
Para pakar memperingatkan, sikap bungkam itu justru menyeret dunia kewartawanan ke dalam lingkaran kejahatan yang mengancam masa depan profesi jurnalis di seluruh dunia.
Senin (26/8/2025), 6 jurnalis kembali tewas akibat serangan udara Israel. Di antara mereka terdapat jurnalis foto Al Jazeera, Mohammed Salama, yang menjadi korban saat kompleks medis Nasser di Khan Younis, Gaza selatan, dibombardir.
Hanya sebulan sebelumnya, serangan serupa menewaskan koresponden Al Jazeera, Anas al-Sharif, beserta sejumlah jurnalis lain di depan kompleks medis al-Shifa, Gaza utara.
Pembunuhan berulang dan terang-terangan ini, menurut sejumlah pengamat, tidak hanya menyingkap keterlibatan pemerintah dunia yang membiarkan impunitas Israel, tetapi juga kegagalan komunitas pers global untuk bersuara.
“Sebanyak 246 jurnalis terbunuh selama 22 bulan. Namun, rekan-rekan mereka di dunia memilih diam. Itu bentuk keterlibatan,” tegas Janine di Giovanni, Direktur Eksekutif The Reckoning Project pada Unit Kejahatan Perang.
Ketakutan pada karier
Di Giovanni—jurnalis veteran yang telah meliput 18 konflik dalam 35 tahun terakhir—menyebut tragedi Gaza sebagai “yang terburuk di antara tiga genosida” yang ia saksikan.
Ia menilai komunitas pers seharusnya bergerak membela sesama jurnalis. Namun kenyataannya, kata dia, banyak yang memilih mengutamakan karier.
“Demi pekerjaan, mereka menutup mata atas pembunuhan terhadap kolega mereka, yang sejatinya adalah mata dan telinga dunia di Gaza,” ujarnya dalam program Masar al-Hadath di Al Jazeera.
Di Giovanni mengaku kerap diserang karena mengecam sikap tersebut.
Nada serupa datang dari Jodie Ginsberg, CEO Committee to Protect Journalists (CPJ). Ia menegaskan, setiap jurnalis di Gaza kini adalah target berikutnya Israel.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—yang tengah diincar Mahkamah Pidana Internasional—bahkan pernah meremehkan pembunuhan jurnalis sebagai “kesalahan kecil”, seolah sama dengan menjatuhkan kaus kaki ke lantai.
Menurut Ginsberg, sikap merendahkan nyawa manusia ini lahir dari keyakinan Israel bahwa mereka akan selalu lolos dari hukuman.
“Ketidakmampuan komunitas internasional menjatuhkan sanksi membuat mereka terus melangkah lebih jauh,” katanya.
Ia memperingatkan, selama Israel dibiarkan bebas dari sanksi dan tidak diperlakukan sebagai negara paria, perilaku itu hanya akan makin brutal.
Bagi Dima Samaro, Direktur Eksekutif Skyline for Human Rights, perang Gaza juga membuka tabir standar ganda dunia.
Menurutnya, alih-alih mengupayakan akuntabilitas, Gaza justru menjadi tempat paling mematikan bagi jurnalis karena Israel sepenuhnya mengendalikan keadaan.
“Israel terus menerima suplai senjata yang justru dipakai membunuh jurnalis, dokter, dan warga sipil. Tidak ada yang menghentikannya,” ujarnya.
Samaro menambahkan, bahkan para pelapor khusus PBB yang mengecam Israel justru dikenai sanksi dan intimidasi.
Itu berarti negara-negara yang menghukum mereka, terutama Amerika Serikat, ikut terseret dalam kejahatan tersebut.
Tidak hanya negara, platform media sosial seperti Facebook dan X juga disebut turut abai.
Mereka dinilai tidak menangani ujaran kebencian maupun ancaman pembunuhan terhadap jurnalis Gaza sebagaimana dilakukan pada kasus lain di berbagai belahan dunia.
“Semua faktor itu membuat Israel semakin berani melanjutkan kejahatannya,” tegas Samaro.
Seruan untuk menghukum Israel
Para pakar menekankan, Israel harus dijatuhi sanksi sebagaimana Rusia ketika menyerang Ukraina.
Bukan sebaliknya—diperlakukan sebagai negara demokrasi yang para pemimpinnya tetap disambut di berbagai belahan dunia seolah tidak melakukan apa-apa.
“Menjadikan jurnalis Gaza sebagai target berarti membuka jalan agar jurnalis di seluruh konflik mendatang juga bisa dijadikan sasaran,” kata Janine di Giovanni.
Ia mengingatkan, pembunuhan jurnalis tanpa hukuman akan membuat banyak pewarta enggan meliput di wilayah berbahaya di masa depan.
“Itu sama saja memberikan cek kosong bagi para pelaku kejahatan untuk berbuat semaunya di mana pun,” ujarnya.
Di Giovanni menuturkan pengalamannya berbincang dengan jurnalis yang meliput perang Korea dan Vietnam.
Mereka, katanya, kala itu merasa aman ketika menjalankan tugas sebagai saksi sejarah.
Namun, rasa aman itu kini lenyap di Gaza—dan tidak akan pernah ada lagi dalam konflik mana pun jika Israel tidak segera dimintai pertanggungjawaban.
Menurut Jodie Ginsberg dari Committee to Protect Journalists (CPJ), pembelaan terhadap jurnalis tidak lahir dari anggapan bahwa mereka lebih istimewa dibanding warga sipil lain.
Namun, melainkan karena mereka adalah bagian dari warga sipil itu sendiri—mereka tidak bersenjata, dan peran mereka adalah menyampaikan informasi yang vital agar masyarakat dapat melanjutkan hidup secara wajar.
Namun, dunia justru membiarkan proses “dehumanisasi jurnalis” berlangsung dalam beberapa tahun terakhir.
Para pewarta kerap disudutkan, dijadikan musuh, hingga kehilangan kemampuan menyampaikan informasi.
“Tujuannya jelas: untuk melayani kepentingan penguasa,” kata Ginsberg.
Ia menambahkan, kontribusi jurnalis sama pentingnya dengan peran dokter dalam menyelamatkan kehidupan.
Di Giovanni menekankan, meskipun pengadilan internasional sering tunduk pada kepentingan politik negara-negara besar, pengadilan opini publik global tetap memiliki kekuatan.
“Ia sama pentingnya,” katanya.
Sebagai bukti, opini publik yang terus menekan akhirnya membuat negara-negara seperti Jerman dan Inggris mengubah nada diplomasi mereka terhadap perilaku Israel.
“Inilah yang memberi dorongan bagi jurnalis untuk terus bekerja, tidak menyerah pada keyakinan bahwa hidup mereka akan terenggut tanpa arti,” tutur Di Giovanni.