Tuesday, September 2, 2025
HomeBeritaGaza jadi korban tarik-menarik politik Israel dan kepentingan AS

Gaza jadi korban tarik-menarik politik Israel dan kepentingan AS

Harapan untuk tercapainya kesepakatan gencatan senjata di Gaza semakin memudar. Pemerintah Israel, dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat (AS), berhasil menundukkan keberatan militer terhadap rencana politiknya.

Suara penolakan dari kalangan dalam negeri dan kekhawatiran militer di lapangan seolah diabaikan begitu saja.

Pemerintahan Benjamin Netanyahu—yang saat ini berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional—memutuskan secara resmi untuk menguasai Kota Gaza. Keputusan ini diambil meski para pimpinan militer, termasuk Kepala Staf, serta kepala Mossad dan Shin Bet, telah menyatakan persetujuan terhadap rancangan kesepakatan yang tengah dibahas.

Namun, Netanyahu menolak usulan itu dengan alasan “tidak sesuai,” seperti diberitakan lembaga penyiaran publik Israel.

Di sisi lain, Kepala Staf Eyal Zamir berusaha memengaruhi opini publik lewat bocoran informasi ke media. Menurut pengamat politik Israel, Dr. Muhannad Mustafa, langkah Zamir ini bertujuan mengalihkan tanggung jawab kepada pemerintah jika operasi merebut Gaza gagal atau menimbulkan kerugian besar bagi militer.

Sejak awal, Zamir menilai operasi itu sebagai “jebakan strategis.” Pandangannya juga sejalan dengan penolakan mayoritas warga Israel—sekitar 80 persen—yang tidak mendukung operasi tersebut.

Isu tawanan juga menambah sensitivitas situasi. Masalah ini sudah berubah dari urusan keluarga menjadi persoalan nasional yang memengaruhi masyarakat pasca-perang.

Meski begitu, Mustafa tetap menyebut Zamir sebagai “kepala staf yang pengecut” karena, meski yakin pertempuran di Gaza tak akan membuahkan hasil, Zamir tidak pernah secara terbuka menolak rencana tersebut.

Situasi ini menandai babak berbahaya dalam sejarah Israel, baik dari sisi politik maupun militer. Untuk pertama kalinya, keputusan perang dan damai yang biasanya berada di tangan militer kini sepenuhnya dikuasai elit politik yang mengedepankan kepentingan pribadi dan ideologi.

Selain itu, pemerintah Israel dianggap mengabaikan isu tawanan dan gelombang kemarahan publik. Survei terbaru menunjukkan, 54 persen pemilih Partai Likud—partai yang dipimpin Netanyahu—lebih memilih kesepakatan pertukaran tawanan daripada melanjutkan operasi militer di Gaza.

Trump dan Sikap AS terhadap Palestina

Menurut Dr. Muhannad Mustafa, sikap Washington yang abai terhadap situasi ini disebabkan perubahan orientasi politik Donald Trump. “Trump bukan lagi hanya pendukung Israel, tapi juga pendukung pribadi Netanyahu dan ideologi ekstrem yang berakar pada permusuhan terhadap rakyat Palestina,” ujarnya.

Hal ini terlihat dari sikap Trump terhadap Otoritas Palestina dan ancaman yang dilontarkannya kepada lembaga peradilan internasional yang berusaha menghukum Israel.

Pendapat Mustafa sejalan dengan analisis peneliti hubungan internasional Husam Syakir. Ia menilai Netanyahu sepenuhnya dikendalikan oleh kepentingan pribadi dan tekanan faksi sayap kanan dalam koalisi pemerintahannya.

“Netanyahu sudah tak peduli dengan tawaran kesepakatan apa pun. Apa yang terjadi sekarang adalah upaya menghapus Gaza dari peta, dan ini menuntut respons cepat dari dunia Arab. Namun sejauh ini, sikap internasional masih sebatas retorika,” kata Syakir.


Perkembangan Politik dan Dukungan AS

Mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS, Thomas Warrick, mengatakan mungkin akan ada perkembangan politik dalam beberapa pekan ke depan jika keluarga tawanan berhasil bertemu Trump, yang sebelumnya sibuk dengan urusan Ukraina.

Warrick mengakui Trump memberi Netanyahu keleluasaan bertindak, tapi percaya Presiden AS itu pada akhirnya akan menyadari bahwa keleluasaan tersebut tidak membuahkan hasil.

“Ketika sampai pada kesimpulan itu, dia mungkin akan mencari jalan keluar karena sebelumnya Trump sudah menyatakan keinginan mengakhiri perang ini,” katanya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa langkah Trump sulit diprediksi. “Tidak ada yang bisa memastikan keputusan Trump, terutama setelah pertemuan terakhir antara penasihat senior Netanyahu dengan pejabat Washington yang tidak menghasilkan pernyataan resmi apa pun. Itu tidak lazim, tapi memang sesuai dengan gaya Trump,” ujarnya.

Situasi Militer dan Kesiapan Israel

Di tengah tarik-menarik politik dan militer, televisi Channel 12 melaporkan bahwa militer Israel mulai Selasa akan memanggil 60.000 pasukan cadangan secara bertahap. Mereka akan ditempatkan di perbatasan Suriah, Lebanon, dan Tepi Barat untuk memberi ruang bagi pasukan reguler fokus bertempur di Gaza.

Media juga memprediksi sekitar 100 tentara Israel bisa tewas dalam operasi ini.

Lembaga penyiaran publik Israel mengungkapkan bahwa Presiden Trump memang mendukung rencana operasi ini, meski dukungan itu “tidak tanpa batas.”

Harian Yedioth Ahronoth menambahkan, Netanyahu bahkan menolak mengajukan pemungutan suara terkait usulan kesepakatan parsial dengan alasan “tidak diperlukan.”

Pengamat militer Brigadir Elias Hanna menilai persoalan utama Israel bukan kesiapan tempur, melainkan besarnya biaya yang harus ditanggung dan kondisi fisik pasukan yang sudah sangat kelelahan.

“Israel siap secara militer dan keputusan politik sudah diambil, tapi kesiapan itu tidak berarti operasi bisa segera dilakukan. Kepala staf berusaha menunda agar pasukan mendapat waktu istirahat,” ujarnya.

Hanna juga menilai bocoran laporan kegagalan operasi di Gaza hanyalah strategi untuk menyalahkan Netanyahu dan mencegahnya mengklaim keberhasilan militer.

Menurut Hanna, membunuh pemimpin Hamas atau menghancurkan infrastruktur belum menuntaskan perang. Kelemahan justru ada pada pola operasi yang tidak biasa bagi Israel.

“Pasukan terus kembali ke lokasi yang sama berulang kali tanpa mencapai tujuan,” katanya.


Hingga kini, perbedaan pandangan antara Netanyahu dan Kepala Staf Eyal Zamir belum menemukan titik temu. Netanyahu menginginkan operasi singkat dengan hasil cepat, sementara Zamir mendorong pendekatan bertahap dengan serangan besar-besaran.

Selain itu, Zamir berusaha memastikan adanya dukungan publik yang bisa melindunginya dari tuntutan di masa depan.

 

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular