Sebuah laporan investigasi mengungkap langkah baru Israel dalam upaya mengendalikan opini publik internasional terkait perang di Gaza.
Situs Drop Site News memberitakan, Rabu lalu, bahwa perusahaan teknologi raksasa Google menandatangani kontrak bernilai 45 juta dolar Amerika dengan kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Kontrak tersebut, yang berlaku selama enam bulan sejak akhir Juni 2024, ditujukan untuk memperkuat strategi komunikasi pemerintah Israel.
Khususnya dalam menepis tuduhan atas kejahatan perang yang dilakukan terhadap warga Palestina di Gaza.
Dalam dokumen resmi pemerintah Israel, kerja sama ini disebut bagian dari “hasbara”, istilah berbahasa Ibrani yang kerap diterjemahkan sebagai propaganda.
Menurut laporan itu, Google menjadi pihak utama yang mendukung strategi hubungan masyarakat Netanyahu.
Iklan-iklan digital dijalankan melalui YouTube serta platform Google Display & Video 360.
Pemerintah Israel secara terbuka menyebut tujuan kampanye ini adalah menyampaikan pesan-pesan resmi yang meringankan kesan atas krisis kemanusiaan yang melanda Gaza sejak lebih dari 700 hari terakhir.
Propaganda dan kecaman
Selain kontrak dengan Google, catatan belanja menunjukkan Israel juga mengeluarkan dana 3 juta dolar untuk iklan di platform X (sebelumnya Twitter) milik Elon Musk, serta 2,1 juta dolar di platform Outbrain asal Israel.
Seorang juru bicara militer Israel menyebut kampanye digital ini antara lain ditujukan untuk menjelaskan tidak adanya kebijakan kelaparan di Gaza dan menampilkan data lapangan.
Sejak itu, sejumlah iklan pemerintah Israel beredar luas, termasuk sebuah video promosi di kanal YouTube Kementerian Luar Negeri Israel.
Dalam video tersebut, disampaikan klaim bahwa “makanan tersedia di Gaza, dan pernyataan sebaliknya hanyalah kebohongan.”
Video itu tercatat ditonton lebih dari enam juta kali, dengan jangkauan yang diperluas lewat iklan berbayar.
Upaya intensif Tel Aviv menggelar kampanye digital ini berlangsung pada saat dunia internasional semakin keras mengecam kebijakan Israel.
Pada 2 Maret 2025 lalu, Israel menutup seluruh jalur masuk ke Gaza dan melarang masuknya bahan makanan, obat-obatan, serta bantuan kemanusiaan.
Keputusan itu memicu kondisi kelaparan massal di Gaza, meski ratusan truk bantuan menumpuk di perbatasan.
Langkah Israel menggandeng Google, dengan nilai kontrak puluhan juta dolar, memperlihatkan bahwa perang di Gaza tidak hanya berlangsung di medan tempur.
Tetapi juga di ranah informasi—di mana narasi dan persepsi publik menjadi senjata yang tak kalah menentukan.