Gelombang protes besar-besaran kembali mengguncang Israel. Puluhan ribu warga turun ke jalan menuntut Perdana Menteri Benjamin Netanyahu segera menyetujui kesepakatan gencatan senjata yang membuka jalan bagi pembebasan para sandera.
Aksi tersebut dipicu kekecewaan mendalam keluarga para sandera yang menuding Netanyahu mengabaikan nasib orang-orang tercinta mereka.
Dalam laporan The Times of Israel, para keluarga menyebut Netanyahu sebagai “pengkhianat” dan bahkan “musuh terburuk orang Yahudi sepanjang sejarah”.
Massa memulai long march dari jembatan gantung di pintu masuk Yerusalem menuju kediaman Netanyahu.
Mereka mengibarkan poster bertuliskan “Pemerintah Kematian”, di tengah penjagaan keamanan yang ketat dan penutupan jalan.
Jeritan ibu dan keluarga
Di Lapangan Paris, dekat kediaman Netanyahu, suara paling lantang datang dari para ibu sandera.
Anat Angrist, ibu tentara yang ditawan Hamas, memperingatkan Netanyahu akan “membayar mahal” bila anaknya celaka.
Sementara itu, Orra Rubinstein, bibi dari sandera Bar Kuperstein, menegaskan bahwa tuntutan mereka tidak berkaitan dengan politik.
“Kami bukan sayap kanan, bukan sayap kiri. Kami hanya keluarga para sandera. Selamatkan mereka semua sekarang juga,” ujarnya, yang disambut tepuk tangan dan pekikan marah dari massa.
Nada serupa terdengar dari Vicky Cohen, ibu sandera Nimrod Cohen. Dengan suara bergetar, ia bersumpah Netanyahu tidak akan pernah “menikmati sedetik pun ketenangan” bila anaknya terbunuh.
Ia menuding operasi militer Israel di Gaza justru menempatkan para sandera dalam ancaman langsung.
“Ketika Hamas menawarkan kesepakatan sebagian, Netanyahu menuntut kesepakatan penuh. Tetapi ketika Hamas menyetujui kesepakatan penuh, Netanyahu kembali menuntut kesepakatan sebagian,” kata Cohen.
“Lebih buruk dari Firaun”
Kecaman paling tajam datang dari Einav Zangauker, ibu sandera Matan Zangauker. Dengan penuh emosi, ia menyebut Netanyahu sebagai “musuh terburuk orang Yahudi dan bangsa Yahudi sepanjang sejarah”.
“Firaun dan Haman pernah menindas kami. Tetapi engkau, Netanyahu, melampaui mereka semua,” ujarnya disambut pekikan massa yang berulang kali meneriakkan kata “pengkhianat”.
Zangauker juga mengaku bahwa pemerintah berupaya menakut-nakutinya pada bulan-bulan awal penculikan anaknya agar ia diam.
“Namun sekarang, saya tidak akan berhenti melawan,” tegasnya.
Gaza, kuburan para sandera
Di Tel Aviv, di lokasi yang dikenal sebagai “Alun-alun Sandera”, keluarga korban mendesak Presiden AS Donald Trump untuk turun tangan menyelamatkan para sandera.
Beberapa keluarga sandera yang tewas menyampaikan penderitaan mereka, sambil menuduh pemerintah Israel telah “menjatuhkan hukuman mati” bagi para tawanan.
Yael Adar, ibu dari Tamir Adar yang tewas dalam penyanderaan, menuding kebijakan Netanyahu sebagai vonis mati bagi semua sandera.
“Bagaimana ia bisa memulangkan mereka hidup-hidup, sementara memulangkan jenazah anak saya pun ia tidak mampu?” katanya getir.
Ophir Sharabi, putri dari sandera yang tewas, Yossi Sharabi, memperingatkan bahwa operasi militer hanya akan menutup peluang pemulangan jenazah.
“Setiap operasi berarti kematian pasti bagi para sandera,” ujarnya.
Di tengah gelombang kritik, sejumlah anggota parlemen dari Partai Buruh, Gilad Kariv dan Naama Lazimi, menyebut Netanyahu sebagai “sakit jiwa”.
Mereka juga menegaskan hanya tekanan publik yang dapat memaksanya menyetujui kesepakatan.
Survei opini publik terbaru menunjukkan mayoritas warga Israel mendukung kesepakatan yang bisa menghentikan perang dan memulangkan para sandera.
Namun, Netanyahu terus menolak. Sikap keras kepala itu, menurut para pengamat, semakin memperdalam ketegangan sosial dan mengancam stabilitas politik dalam negeri.