Friday, September 12, 2025
HomeBeritaAktivis: Gaza hadapi gelombang pengusiran terbesar sejak 1948

Aktivis: Gaza hadapi gelombang pengusiran terbesar sejak 1948

“Pergilah dari Kota Gaza sekarang,” dengan kata-kata inilah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu—yang saat ini berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional—mengancam penduduk Gaza, Senin (9/9).

Ia menegaskan akan melanjutkan penghancuran dan mendorong pengusiran massal, di hadapan dunia yang terus menyaksikan.

Peringatan itu datang hanya beberapa jam setelah Israel mengumumkan perluasan serangan udara ke seluruh wilayah Jalur Gaza.

Selang sehari, juru bicara militer Israel, Avichay Adraee, mengeluarkan perintah evakuasi kepada warga Kota Gaza.

Perintah itu terutama ditujukan bagi warga di kawasan lama dan distrik at-Tuffah hingga pesisir barat.

Mereka diperintahkan meninggalkan rumah melalui poros ar-Rashid menuju apa yang disebut “zona kemanusiaan” di al-Mawasi, Khan Younis, di bagian selatan.

Adraee menegaskan, militer Israel akan “bekerja dengan kekuatan besar” demi menuntaskan operasi terhadap Hamas.

Namun, di jalan-jalan Kota Gaza, warga merespons dengan cara berbeda. Ribuan orang turun dalam aksi yang dinamai “Pawai Kafan” di bawah semboyan “Hijrah dari Gaza hanyalah ke langit”.

Mereka menolak meninggalkan rumah, mengirim pesan bahwa pengusiran paksa tak akan diterima begitu saja.

Arah ke bencana kemanusiaan

Gelombang seruan evakuasi itu memicu kecemasan luas. Banyak pengamat menyebut instruksi ini sebagai awal dari perpindahan paksa dalam skala besar menuju selatan.

Risiko bencana kemanusiaan pun kian nyata: ratusan ribu orang dipaksa keluar dari rumah yang hancur oleh serangan, sementara kawasan selatan tak mampu menampung arus manusia sebesar itu.

Komentar di media sosial menilai, arah kebijakan Israel terang: pengusiran massal dan penghancuran sistematis.

Tujuan akhirnya adalah membelah Gaza—utara menjadi wilayah tandus tanpa penduduk, sementara selatan dijejali jutaan pengungsi.

“Ini bukan evakuasi sementara,” tulis seorang warganet, “ini adalah proyek pencabutan akar, penghapusan eksistensi, di tengah gempuran yang terus menghantam seluruh wilayah Gaza. Tak ada satu pun tempat yang aman.”

Nakba baru

Banyak yang menggambarkan peristiwa ini sebagai momen paling getir sejak perang meletus.

Tindakan Israel, menumbangkan Kota Gaza dan mengusir warganya, dinilai mematikan harapan akan rekonstruksi maupun pembicaraan tentang “hari setelah perang”.

Sejumlah suara menilai, ini adalah upaya “pemusnahan politik” terhadap bangsa Palestina, melengkapi pemusnahan fisik yang kini berlangsung.

Mereka memperingatkan bahwa nasib serupa bisa menanti Tepi Barat dan Yerusalem.

Perintah evakuasi yang menyasar seluruh Kota Gaza disebut tak ubahnya “vonis mati atas sebuah kota”.

Lebih dari satu juta orang menghadapi ancaman terusir hanya dalam hitungan jam.

“Sebuah Nakba baru terjadi di depan mata, dengan dunia yang pura-pura buta dan tuli,” tulis seorang pengguna media sosial.

Biaya pengungsian

Kesengsaraan warga makin bertambah dengan ongkos perpindahan yang melambung. Ongkos transportasi melonjak, sewa tanah dan rumah meningkat tajam.

Sementara itu, kawasan selatan telah sesak dengan tenda-tenda, sistem sanitasi yang rapuh, serta kondisi hidup yang tak layak.

“Apa yang sedang terjadi adalah pengusiran paksa terbesar di era modern,” kata seorang aktivis.

Ia menilai, diamnya dunia memberi legitimasi atas kejahatan ini.

“Nakba yang disaksikan dunia dengan pasif. Sejuta manusia dipaksa mengungsi di bawah bombardir, kelaparan, dan pengkhianatan,” tulis yang lainnya.

Bagi banyak warga Gaza, pesan Israel jelas: kosongkan kota atau hadapi maut.

“Itu adalah bentuk paling nyata dari terorisme dan kebiadaban. Israel semakin congkak, sementara dunia terlelap,” tulis seorang warganet.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular