Friday, September 12, 2025
HomeBeritaIsrael perketat blokade desa-desa di barat laut Yerusalem

Israel perketat blokade desa-desa di barat laut Yerusalem

Untuk hari ketiga berturut-turut, tentara Israel terus memperketat pengepungan terhadap sejumlah desa di wilayah Yerusalem.

Blokade ini disertai dengan penggerebekan, penangkapan, serta pemberitahuan rencana pembongkaran bangunan.

Salah satu yang ditangkap adalah Wali Kota Al-Qubeiba, Nafed Hamoudeh. Ia ditangkap setelah rumahnya digerebek dan digeledah di desa yang kini masih terkepung itu.

Sejak Senin lalu, warga dilarang keluar-masuk desa sebagai bentuk hukuman kolektif menyusul serangan bersenjata di permukiman Yahudi Ramot yang menewaskan tujuh warga Israel.

Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, Hamoudeh menggambarkan situasi di Al-Qubeiba sebagai “sangat buruk” akibat pengepungan yang membuat kehidupan warga lumpuh.

Desa itu dihuni sekitar 4.800 jiwa, berdiri di atas lahan 3.500 dunam (1 dunam = 1.000 m²). Dari luas tersebut, Israel telah menyita sekitar 2.500 dunam.

Menurut Hamoudeh, tentara Israel menjaga rumah keluarga pelaku serangan, Muthanna Amru, selama 24 jam penuh.

Rumah-rumah lain pun digeledah, dirusak, dan warga dipaksa tetap berada di dalam rumah tanpa bisa keluar.

Hamoudeh sendiri tidak menyangka bahwa dirinya akan ikut ditangkap. Hingga Selasa, jumlah warga Al-Qubeiba yang ditahan sudah lebih dari 15 orang.

Ketegangan juga meluas ke desa-desa lain. Sekitar satu setengah kilometer dari Al-Qubeiba, bentrokan pecah di Desa Biddu, barat laut Yerusalem.

Kantor berita Palestina, WAFA, melaporkan bahwa tentara Israel menembakkan peluru tajam, peluru berlapis karet, serta gas air mata dan granat kejut untuk membubarkan pemuda-pemuda yang menghadang.

Pengepungan yang sedang berlangsung

Pemerintah Provinsi Yerusalem menyatakan, total ada 9 desa yang kini dalam status pengepungan setelah serangan di Ramot.

Selain Al-Qubeiba dan Biddu, desa-desa itu termasuk Qatna—asal salah satu pelaku—dan sejumlah desa lain di barat laut Yerusalem.

“Warga dilarang masuk atau keluar, sementara tentara terus melakukan tindakan represif,” demikian pernyataan resmi otoritas setempat.

Di pos pemeriksaan militer “Terowongan”, yang menghubungkan Desa Biddu dengan Al-Jib, seorang pemuda dilaporkan dipukuli oleh tentara Israel. Jalan penghubung antara Beit Anan dan Al-Qubeiba juga ditutup.

WAFA juga melaporkan bahwa tentara Israel menutup jalur antara Biddu dan Beit Surik, serta menutup sejumlah pos pemeriksaan utama di sekitar Yerusalem.

Penutupan itu menimbulkan kemacetan panjang dan mengganggu aktivitas warga.

Sejumlah pos yang ditutup antara lain Beit Iksa, Qalandia, Mazmuria, Sheikh Saad, Terowongan, Pos 300, dan akses menuju Al-Issawiya.

Di tengah pengepungan, Menteri Pertahanan Israel, Yisrael Katz, mengancam akan meratakan setiap bangunan “ilegal” di wilayah asal para pelaku serangan.

Rabu ini, buldoser Israel merobohkan pagar di Desa Qatna dan menyerahkan surat perintah pembongkaran terhadap taman milik Pemerintah Desa Biddu.

Pelanggaran berat terhadap hukum internasional

Seluruh tindakan yang dilakukan Israel itu masuk dalam kategori hukuman kolektif, praktik yang dilarang hukum internasional.

Pasal 33 Konvensi Jenewa IV secara tegas melarang penerapan hukuman kolektif dan tindakan intimidasi terhadap orang-orang yang dilindungi, maupun terhadap harta benda mereka, atas kejahatan yang tidak mereka lakukan secara pribadi.

Peringatan tersebut disampaikan Pusat Yerusalem untuk Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam pernyataan resmi, Rabu (11/9).

Lembaga itu menegaskan adanya dampak serius yang kini menimpa warga desa-desa di barat laut Yerusalem.

Terutama setelah pernyataan terbaru Menteri Pertahanan Israel yang menyatakan niatnya memberlakukan sanksi sipil terhadap warga Palestina di wilayah tersebut.

Menurut pusat tersebut, sanksi yang dimaksud meliputi penutupan desa, pencabutan izin kerja, serta pembongkaran rumah-rumah yang dibangun tanpa izin.

Padahal, sebagian besar bangunan itu tengah menjalani proses hukum di lembaga sipil Israel sebagai perkara pelanggaran tata ruang, bukan perkara keamanan.

Karena itu, penghancuran rumah dengan dalih “hukuman kolektif” dinilai tidak sah.

Jumlah bangunan yang terancam sendiri diperkirakan mencapai puluhan unit, baik rumah tinggal maupun fasilitas umum.

Pusat Yerusalem menegaskan, apabila ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan, hal itu akan menjadi pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional.

Hukum internasional menolak penghancuran rumah sebagai bentuk balas dendam atau sebagai bagian dari kebijakan penjeraan kolektif. Praktik semacam itu jelas melanggar Pasal 53 Konvensi Jenewa IV.

Lebih lanjut, penggunaan izin kerja sebagai alat untuk menekan warga dinilai melanggar prinsip non-diskriminasi.

Izin kerja, yang merupakan hak ekonomi warga sipil, tidak boleh dijadikan sarana hukuman politik.

Praktik itu juga bertentangan dengan kewajiban Israel sebagai pihak yang meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang menjamin hak setiap orang untuk bekerja tanpa diskriminasi.

Di akhir pernyataannya, lembaga tersebut mendesak komunitas internasional—termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, dan negara-negara penandatangan Konvensi Jenewa—untuk memikul tanggung jawab.

Tekanan internasional diperlukan agar Pemerintah Israel menghentikan kebijakan yang dianggap melanggar hukum tersebut dan kembali menghormati kewajiban-kewajibannya di bawah hukum internasional.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular