Sunday, September 14, 2025
HomeBeritaKelaparan sebagai senjata perang: Perjalanan dari Namibia hingga Gaza

Kelaparan sebagai senjata perang: Perjalanan dari Namibia hingga Gaza

Siaran terbaru “File Bulanan” di kanal digital Al Jazeera mengangkat sebuah tema yang tidak pernah kehilangan kepedihan.

Yaitu, penggunaan kelaparan sebagai alat untuk menundukkan rakyat—suatu bentuk penyiksaan kolektif yang dipakai ketika senjata konvensional gagal mencapai tujuan politik atau kolonial.

Video itu mengajak penonton menelusuri empat babak sejarah yang memperlihatkan betapa sistematis dan sadisnya taktik ini dijalankan.

Babak pertama membawa kita ke Namibia, 1904. Di sana, pasukan kolonial Jerman memaksa suku Herero dan Nama ke padang pasir, meracuni sumur-sumur, dan memutus hampir seluruh akses mereka terhadap sumber kehidupan.

Akibatnya, hanya sekitar seperempat dari populasi yang selamat — bukti nyata bahwa kelaparan tidak selalu hadir sebagai akibat perang, melainkan sebagai strategi pemusnahan.

Perhentian berikutnya adalah pengepungan Leningrad pada Perang Dunia II. Selama 842 hari, kota itu tertutup rapat; gudang makanan dihancurkan dan pasokan terputus.

Akibatnya, sekitar satu juta orang tewas karena kelaparan dan kedinginan—angka yang menegaskan bahwa pengepungan panjang dapat berujung pada bencana kemanusiaan berskala masif.

Stasiun ketiga menyorot Kelaparan Benggala, 1943, yang menelan nyawa sekitar 3 juta orang di bawah pemerintahan Inggris.

Banyak sejarawan menyebut peristiwa itu sebagai bencana yang disengaja, bukan semata akibat alam atau kegagalan administrasi.

Sebuah contoh bagaimana kebijakan dan prioritas kekuasaan mampu mengubah kekurangan menjadi pembantaian massal.

Perjalanan itu ditutup di Gaza, 2025. Menurut laporan internasional, blokade yang berlangsung disertai kelangkaan pangan dan obat-obatan telah mengubah wilayah itu menjadi kondisi yang oleh PBB digolongkan sebagai “kejahatan perang lengkap”.

Ratusan warga sipil meninggal karena kelaparan—didominasi anak-anak dan perempuan.

Gambaran ini mengingatkan kita bahwa praktik yang sama, meski berlangsung di era berbeda dan di tangan aktor yang berbeda, menghasilkan penderitaan yang sama.

Pertanyaan yang mengusik tetap sama: mengapa umat manusia gagal belajar dari pengulangan sejarah ini? Sampai kapan kelaparan akan terus diperlakukan sebagai alat tawar-menawar politik atau instrumen pembersihan etnis?

Jika sejarah menjadi guru, catatan-catatan tentang Namibia, Leningrad, Benggala, dan Gaza seharusnya cukup untuk menuntut tindakan internasional yang lebih tegas—bukan sekadar ratap duka.

Mungkin yang dibutuhkan bukan hanya kecaman moral, melainkan mekanisme pencegahan yang efektif.

Yaitu, penegakan hukum internasional yang konsisten, akses kemanusiaan tanpa hambatan, dan kontrol terhadap praktik pengepungan yang menempatkan warga sipil di garis depan penderitaan.

Sampai langkah-langkah itu diambil, praktik lama ini berisiko terus berulang—dengan korban yang selalu sama: mereka yang paling tak berdaya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular