Monday, September 15, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - KTT Doha dalam bayang-bayang ambisi Israel

OPINI – KTT Doha dalam bayang-bayang ambisi Israel

Oleh: Hisham Jaafar*

Ada dua sudut pandang utama untuk membaca peran Israel di kawasan. Pertama, sebagai kekuatan hegemonik—yakni satu-satunya kekuatan besar yang tak menghadapi ancaman militer serius dari negara atau kelompok lain.

Kedua, sebagai kekuatan revisionis—sebuah aktor yang berupaya mengubah tatanan kawasan agar sesuai dengan kepentingannya sendiri.

Serangan udara Israel ke Qatar pada 9 September lalu menimbulkan konsekuensi rumit, bahkan kontradiktif, terhadap kedua peran itu.

Di satu sisi, Israel ingin menunjukkan dirinya sebagai kekuatan dominan yang tak tertandingi.

Di sisi lain, tindakannya justru memperlihatkan ambisi untuk merekayasa ulang lanskap politik dan keamanan di Timur Tengah.

Hegemoni regional yang berkelanjutan, sebagaimana dipahami dalam teori hubungan internasional, menuntut bukan sekadar dominasi militer.

Negara-negara tetangga harus mau menerima, bahkan dalam kondisi tertentu menyambut, posisi istimewa tersebut.

Dengan kata lain, hegemoni hanya mungkin bertahan bila didukung legitimasi dari lingkungan sekitarnya.

Namun, bila ditilik dari langkah-langkah Israel, lebih masuk akal membacanya sebagai kekuatan revisionis.

Israel menolak tatanan yang ada, dan menginginkan perubahan radikal demi memperluas ruang pengaruhnya.

Upaya itu ditopang oleh penggunaan kekuatan militer secara agresif, serta sikap mengabaikan norma maupun jalur diplomasi yang mapan.

Ambisi revisionis ini tampak dalam sejumlah tujuan strategis Israel, antara lain:

  1. Menghalangi berdirinya negara Palestina.
  2. Memperluas batas teritorial Israel.
  3. Menciptakan tatanan keamanan regional baru yang menempatkannya sebagai pengendali utama secara militer.
  4. Menjadikan serangan sebagai demonstrasi kekuatan sekaligus peneguhan paradigma keamanan agresif pasca 7 Oktober.

Bagaimana serangan ke Qatar mempengaruhi peran Israel?

Pada mulanya, serangan Israel ke Qatar tampak sebagai peneguhan atas klaim hegemoninya. Sebuah pesan bahwa Israel bisa bertindak tanpa takut hukuman di mana pun di kawasan.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahkan menegaskan komitmen memburu para pemimpin Hamas “di mana pun mereka berada”.

Serangan itu diproyeksikan sebagai bukti keunggulan militer dan intelijen, dengan narasi internal Israel menyebut operasi tersebut telah “mengembalikan daya gentar” negara itu.

Namun kenyataan di lapangan berbeda. Target utama, yakni sejumlah tokoh penting Hamas, dilaporkan berhasil selamat.

Dengan begitu, serangan yang kemudian dijuluki “gagal” ini justru meruntuhkan klaim Israel sebagai kekuatan hegemonik yang stabil dan tak tertandingi.

Serangan ke Doha memunculkan kesan bahwa Israel tidak selalu mampu menggunakan kekuatan militernya secara efektif, kapan dan di mana saja.

Reaksi internasional pun tak kalah signifikan. Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, serta aktor-aktor Arab dan internasional lainnya, termasuk Dewan Keamanan PBB, melancarkan kecaman keras.

Gelombang kritik itu menunjukkan rapuhnya penerimaan regional, padahal legitimasi dari tetangga merupakan syarat penting bagi terciptanya hegemoni.

Di mata banyak pihak, Israel kian dilihat sebagai negara yang bertindak di luar norma.

Persepsi ini memperdalam krisis kepercayaan terhadap arsitektur keamanan kawasan, mendorong negara-negara Arab untuk meninjau ulang aliansi maupun strategi diplomasi mereka.

Yang menarik, serangan itu dilakukan di Qatar—sekutu dekat Amerika Serikat (AS). Washington, termasuk Presiden Donald Trump, menyampaikan “penyesalan mendalam” dan bahkan mengkritik Israel secara terbuka, sebuah langkah yang jarang terjadi.

Reaksi itu memunculkan tanda tanya serius di kalangan negara Teluk tentang reliabilitas jaminan keamanan AS serta sejauh mana Negeri Paman Sam mampu menahan manuver Israel.

Alih-alih memperkokoh posisinya sebagai hegemon, Israel justru makin terisolasi. Serangan ke Qatar mendorong kawasan ke arah ketidakstabilan lebih lanjut, bahkan menimbulkan pemikiran di kalangan negara Teluk untuk memperkuat kerja sama pertahanan menghadapi Israel, bukan bermitra dengannya.

Meski gagal mendukung klaim hegemoni, serangan ini konsisten dengan karakter Israel sebagai kekuatan revisionis.

Tindakannya mencerminkan tekad untuk mengubah wajah Timur Tengah lewat pendekatan militer agresif dan sepihak.

Pola ini sejalan dengan rangkaian serangan sebelumnya ke Lebanon, Iran, Suriah, dan Yaman, semuanya menegaskan selera Israel terhadap risiko dan orientasi pada perubahan paksa dalam tata kawasan.

Lebih jauh lagi, serangan ke Qatar ditujukan kepada para negosiator Hamas yang tengah membahas usulan gencatan senjata yang didukung AS.

Ini menandakan preferensi Israel pada “kemenangan penuh” melalui kekuatan senjata, dengan tujuan memaksa Hamas menyerah alih-alih menempuh jalur perundingan.

Dengan kata lain, langkah tersebut menegaskan agenda maksimal Israel di Gaza.

Tak hanya itu, Israel juga menantang norma internasional. Menyerang sebuah negara berdaulat—yang sekaligus mitra AS—pada saat upaya mediasi berlangsung, merupakan pelanggaran serius terhadap kedaulatan dan hukum internasional.

Ciri inilah yang kerap melekat pada kekuatan revisionis: bertindak di luar tatanan yang ada demi tujuan sepihak.

Serangan ke Qatar berpotensi merusak kesepakatan Abraham dan upaya normalisasi yang lebih luas dengan dunia Arab.

Alih-alih mendorong integrasi Israel dalam kerangka keamanan regional baru, tindakan ini justru mengguncang fondasi yang tengah dibangun.

Dengan demikian, Israel tampak lebih memilih mendorong visinya sendiri yang lebih agresif dan konfrontatif.

Bagi Netanyahu secara pribadi, serangan tersebut juga mengandung muatan politik domestik.

Di tengah kritik keras terhadap kebijakan perangnya dan desakan gencatan senjata, operasi militer ke Qatar dapat dijual sebagai bukti ketegasan dan kekuatan, demi menopang posisinya di dalam negeri.

Kesimpulan

Serangan ke Qatar pada akhirnya semakin menegaskan citra Israel sebagai kekuatan revisionis.

Tindakan yang bersifat sepihak, agresif, serta menantang norma internasional itu jelas diarahkan untuk mendorong perubahan strategis besar di kawasan, terutama terkait masa depan Gaza dan persoalan Palestina.

Namun, di sisi lain, operasi tersebut justru melemahkan klaim Israel sebagai kekuatan hegemonik.

Target militer utama gagal dicapai, mitra-mitra regional maupun internasional menjauh, dan batasan atas manuver Israel semakin tampak, khususnya ketika menyangkut hubungannya dengan sekutu yang tak tergantikan, AS.

Alih-alih memperlihatkan kemampuan menakutkan dan daya gentar yang diharapkan, hasil serangan itu justru menunjukkan kerugian bersih bagi Israel.

Efek yang muncul bukanlah pemulihan deterrence yang stabil, melainkan erosi kepercayaan, melemahnya pengaruh diplomatik, dan meningkatnya isolasi politik.

Pada gilirannya, kawasan pun terdorong ke arah ketidakpastian dan instabilitas yang lebih dalam.

Dinamika regional baru

Serangan Israel ke Qatar tidak hanya mengguncang keseimbangan militer, tetapi juga membentuk ulang dinamika kekuatan di kawasan.

Dampaknya sangat terasa pada jalur diplomasi, terutama upaya mencari jalan keluar bagi konflik Gaza.

Salah satu korban langsung adalah proses perundingan gencatan senjata dan pembebasan sandera.

Qatar—yang selama ini menjadi mediator utama bersama Mesir dan AS—segera menyatakan bahwa upaya mediasi “tidak lagi memungkinkan” pascaserangan.

Selain karena seorang aparat keamanannya tewas, Qatar juga merasa dikhianati.

Sebab, sebelumnya Doha menerima jaminan dari intelijen Israel maupun Gedung Putih bahwa serangan semacam itu tidak akan dilakukan di wilayahnya.

Dengan demikian, serangan tersebut praktis mengakhiri peran mediasi Qatar yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

Serangan itu juga memperlemah kredibilitas Amerika Serikat sebagai penjamin keamanan bagi negara-negara Teluk.

Washington dianggap gagal, atau bahkan enggan, menahan tindakan Israel—sekutu dekatnya sendiri.

Reaksi Presiden Donald Trump yang ambigu—menyatakan kekecewaan, tetapi sekaligus memuji upaya memberantas Hamas—hanya menambah kebingungan posisi AS.

Dewan Keamanan PBB pun, termasuk Amerika, mengeluarkan pernyataan langka berisi keprihatinan mendalam dan kecaman keras, menyebut serangan itu sebagai pelanggaran nyata atas kedaulatan Qatar sekaligus ancaman terhadap upaya mediasi.

Dampaknya segera terasa pada konstelasi regional. Serangan tersebut memperkuat pandangan bahwa Israel bertindak sebagai kekuatan militer yang lepas kendali, siap menggunakan kekerasan meski harus mengorbankan hubungan diplomatik.

Pandangan ini menimbulkan keraguan besar terhadap Israel sebagai mitra keamanan melawan ancaman seperti Iran, dan sebaliknya menempatkannya sebagai sumber ketidakstabilan yang berkelanjutan—bahkan bagi negara-negara yang telah menandatangani perjanjian damai dengannya.

Respons Teluk pun tegas. Semua negara anggota mengutuk serangan itu sebagai pelanggaran hukum internasional dan kedaulatan Qatar.

Lebih dari itu, kejadian ini memunculkan solidaritas Teluk yang jarang terlihat. Presiden Uni Emirat Arab, Sheikh Mohammed bin Zayed, segera datang ke Doha untuk menyatakan dukungan, disusul rencana kunjungan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman.

Persatuan itu didorong kepentingan bersama menjaga kedaulatan dan keamanan kolektif kawasan.

Namun, serangan tersebut juga membawa risiko lebih jauh: meruntuhkan kerangka rapuh Perjanjian Abraham dan upaya normalisasi yang lebih luas dengan Israel.

Pesannya jelas—normalisasi tidak otomatis membatasi agresi Israel, bahkan terhadap negara-negara yang dianggap mitra.

Di tingkat akar rumput, penolakan rakyat Arab terhadap normalisasi kian menguat, membatasi ruang gerak para pemimpin Arab dalam menjalin hubungan terbuka dengan Tel Aviv.

Selain itu, serangan Israel menambah keraguan negara-negara Teluk pada jaminan keamanan AS.

Kejadian ini memperpanjang daftar insiden—mulai dari serangan Houthi ke fasilitas minyak Saudi hingga serangan Iran ke pangkalan Al-Udeid di Qatar—yang menimbulkan pertanyaan tentang reliabilitas Washington.

Karena itu, ada kemungkinan Teluk akan mencari opsi keamanan alternatif, termasuk membuka jalur dengan kekuatan lain seperti Turki dan Pakistan, atau menuntut komitmen pertahanan formal yang lebih kuat dari AS.

Serangan ke Qatar juga mengirim sinyal keras ke Turki dan Mesir, yang sama-sama menampung tokoh Hamas.

Isyarat ini menimbulkan kekhawatiran bahwa operasi Israel bisa meluas ke wilayah kedua negara tersebut.

Jika eskalasi itu benar terjadi, konsekuensinya bisa amat berat: mengguncang posisi Turki di NATO, dan mengancam perjanjian damai Mesir dengan Israel.

Lebih jauh lagi, serangan ini hanya bagian dari pola intervensi militer Israel yang makin meluas di Kawasan.

Mulai dari ketegangan dengan Iran, operasi terhadap Hizbullah di Lebanon, hingga keterlibatannya di Suriah dan Yaman.

Semua ini mencerminkan strategi Israel yang makin agresif, sekaligus memperbesar risiko pecahnya konflik regional berskala besar.

Dengan demikian, dampak serangan Israel ke Qatar bukan hanya memutus jalur diplomasi penting bagi Gaza, melainkan juga mengubah peta kekuatan regional.

Ia memperdalam krisis kepercayaan negara Arab terhadap Israel dan AS, memperkuat solidaritas Teluk, serta berpotensi memicu perombakan serius dalam strategi keamanan di seluruh Timur Tengah.

KTT Arab-Islam yang dijadwalkan berlangsung pada 14–15 September 2025 di Doha pun dipandang sebagai momentum penting.

Forum ini diharapkan dapat merespons perubahan geopolitik yang coba dipaksakan Israel, sekaligus merumuskan kembali sikap keamanan kolektif dan arah diplomasi kawasan.

Agenda yang mungkin mengemuka antara lain menggugat Israel di forum hukum internasional, menjatuhkan sanksi ekonomi, memperkuat aliansi militer, hingga menata ulang kemitraan politik dengan kekuatan global lain, termasuk Tiongkok dan Rusia.

Pertanyaan mendasarnya kini adalah: setelah serangan ke Qatar, masihkah kita bisa melihat perang yang sudah berlangsung dua tahun ini semata-mata sebagai konfrontasi antara Hamas dan Israel? Atau, sebagaimana ditunjukkan “Thaufan Al-Aqsha” sejak Oktober 2023, konflik ini sebenarnya membuka tabir wajah asli Israel yang kian brutal—dan serangan ke Doha bukanlah penutup, melainkan sekadar bab terbaru dari rangkaian panjang eskalasi itu.

*Hisham Jaafar adalah seorang jurnalis dan peneliti asal Mesir. Ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Mada dan bekerja sebagai Konsultan Senior di Pusat Regional untuk Mediasi dan Dialog serta Konsultan di Pusat Dialog Kemanusiaan (HD). Ia juga merupakan pendiri dan Ketua Dewan Direksi Yayasan Mada untuk Pengembangan Media. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Qimmat al-Dhūhah Fī Muwājahah Khuṭhaṭh Isrāīl lilhaimanah”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular