Wednesday, September 17, 2025
HomeBeritaAnak-anak Gaza berguguran karena lapar dan sakit di tengah genosida Israel

Anak-anak Gaza berguguran karena lapar dan sakit di tengah genosida Israel

Lapar, sakit, dan kematian pelan-pelan menjadi keseharian anak-anak di Gaza. Dua tahun lebih sejak Israel memperketat blokade dan melancarkan operasi.

Operasi itu disebut warga sebagai “pembunuhan massal terencana”, hidup lebih dari 2 juta penduduk Palestina di wilayah itu berubah menjadi pertarungan untuk bertahan hidup tanpa pangan dan obat-obatan.

Organisasi bantuan internasional memperingatkan, krisis ini menjerumuskan ratusan ribu warga sipil—terutama anak-anak, pasien, dan lansia—ke tepi kematian akibat kelaparan dan penyakit.

Rumah-rumah sakit pun kian lumpuh karena pasokan obat dan perlengkapan medis habis total.

Blokade Israel menjadikan susu bayi, obat dasar, dan alat medis sebagai “senjata pembunuh” yang bekerja perlahan.

Hasilnya, kelaparan kini menjelma kenyataan sehari-hari. Rumah sakit, yang seharusnya menjadi tempat penyembuhan, berubah menjadi “ruang tunggu menuju maut”.

Laporan Famine

Pada 22 Agustus 2025, Global IPC (Integrated Food Security Phase Classification Initiative) mengumumkan status famine (kelaparan massal) di Kota Gaza, dan memperkirakan meluas ke Deir al-Balah serta Khan Younis pada akhir September.

Israel buru-buru menolak laporan itu meski berbasis data lapangan dan kajian ilmiah. Pemerintah Israel menuding laporan hanya bersandar pada “wawancara telepon”, sebuah klaim yang dinilai menutup-nutupi fakta di lapangan.

IPC adalah prakarsa internasional yang melibatkan 21 lembaga terkemuka, termasuk FAO, WFP, UNICEF, WHO, Oxfam, dan Save the Children.

Kondisi kehidupan yang keras

Sejak 7 Oktober 2023, tentara Israel telah membom, merusak, atau memaksa tutup 38 rumah sakit di Gaza. Dampaknya, layanan kesehatan hampir lumpuh total.

Di Rumah Sakit Nasser, Khan Younis, seorang ibu muda, Doa Abu Mustafa, duduk di samping putrinya, Maryam, yang lahir di tengah perang.

Sejak kecil Maryam mengalami gizi buruk dan masalah saraf. Ia membutuhkan obat penghilang nyeri dan terapi dasar—semua tidak tersedia karena blokade.

“Setiap hari saya mati bersamanya. Saya hanya ingin melihatnya bisa bermain seperti anak-anak lain,” ucapnya lirih.

Kisah serupa datang dari Masouda Wahbeh, ibu dari Ubaiyda, bocah dengan gizi buruk, lubang di jantung, dan disabilitas fisik.

Masouda kehilangan satu anak dalam serangan Israel, kini ia berjuang sendirian.

“Saya mohon lembaga internasional melihat kondisi anak saya dengan belas kasih,” katanya.

Di ruang lain, Samar al-Bishti terbaring tanpa daya. Bocah perempuan itu mengalami cedera kepala parah akibat serangan, yang membuatnya lumpuh total.

Malnutrisi memperburuk keadaannya. Ibunya, Jihan, menggenggam ponsel berisi foto Samar ketika masih lincah dan tertawa.

“Dulu ia bermain dan berlari. Sekarang, perang menjadikannya hanya tergeletak tak berdaya,” katanya.

Menurut kantor media pemerintah, lebih dari 5.200 anak di Gaza membutuhkan evakuasi medis segera untuk menyelamatkan hidup mereka.

Namun sejak 2 Maret 2025, Israel menutup semua pintu masuk ke Gaza. Tidak ada pangan, obat, maupun bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk.

Truk-truk bantuan menumpuk di perbatasan, sementara di dalam, anak-anak layu oleh lapar dan sakit.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular