Wednesday, September 17, 2025
HomeBeritaDari Tepi Barat ke dunia, aksi mogok untuk solidaritas Gaza

Dari Tepi Barat ke dunia, aksi mogok untuk solidaritas Gaza

Palestina, Selasa (16/9/2025), memperingati 43 tahun tragedi Sabra dan Shatila, salah satu pembantaian paling kelam di abad ke-20.

Peringatan itu kembali menggarisbawahi bahwa rentetan kekejaman terhadap rakyat Palestina belum pernah berhenti, melainkan terus berlanjut, terutama di Jalur Gaza dan penjara-penjara Israel.

Bersamaan dengan itu, gelombang solidaritas untuk Gaza kian meluas. Sedikitnya 100 kota di dunia Arab dan berbagai negara lain terlibat dalam aksi global.

Seiring dengan perjalanan “Armada Kebebasan” dan “Armada Keteguhan Global” yang telah bergerak menantang blokade Israel di perairan internasional.

Di Tepi Barat, sejumlah kota utama seperti Ramallah, Al-Bireh, Nablus, Jenin, Tulkarm, Qalqilya, Betlehem, Jericho, dan Hebron menggelar aksi solidaritas di alun-alun pusat kota.

Aksi itu diwarnai dengan mogok makan sebagai bentuk dukungan moral bagi warga Gaza.

Omar Assaf, salah seorang penggagas kampanye, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan kelanjutan dari aksi mogok makan yang ia jalani bersama rekan-rekannya di Ramallah selama 55 hari terakhir sebagai bentuk solidaritas untuk Gaza.

“Hari ini, aksi itu meluas melalui jaringan Kuluna Ghazza, Kuluna Filastin (Kita Semua Gaza, Kita Semua Palestina), sebuah jejaring global yang juga berkoordinasi dengan Armada Kebebasan,” kata Assaf.

Suara kaum merdeka

“Kami ingin dunia mendengar suara kaum merdeka menentang kejahatan pendudukan Israel,” ujar Omar Assaf, salah seorang penggagas aksi mogok solidaritas untuk Gaza.

Ia menegaskan, aksi ini bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari gerakan global yang terus berlanjut.

Assaf menjelaskan, pemilihan tanggal 16 September untuk mengumumkan aksi mogok makan memiliki makna khusus karena bertepatan dengan peringatan tragedi Sabra dan Shatila.

“Ini pesan bahwa pembantaian terhadap rakyat Palestina masih berlangsung hingga hari ini, terutama di Jalur Gaza,” ujarnya.

Menurut Assaf, aksi solidaritas ini membawa pesan dalam beberapa tingkatan. Pertama, kepada rakyat Palestina sendiri.

“Kita semua harus memikul tanggung jawab dan bergerak dengan aktivitas yang lebih kuat. Apa yang terjadi di Gaza adalah cerminan dari apa yang juga terjadi di Tepi Barat: perampasan tanah, pembangunan permukiman, pembunuhan, dan penghancuran,” katanya.

Pesan kedua ditujukan kepada dunia internasional. Assaf menegaskan, masyarakat global harus membuktikan komitmen terhadap nilai-nilai yang diagungkan setelah Perang Dunia II.

“Dunia harus kembali pada Bab VII Piagam PBB untuk menghukum Israel, bahkan sampai pada pencabutan pengakuan jika diperlukan,” ujarnya.

Menggalang dukungan dunia

Tujuan utama dari aksi mogok solidaritas untuk Gaza adalah menggalang dukungan masyarakat dunia.

“Kami ingin mengirimkan pesan bahwa kaum merdeka di seluruh dunia berdiri di belakang hak-hak rakyat Palestina. Situasi ini tidak bisa lagi diabaikan, dan sudah saatnya komunitas internasional turun tangan menghentikannya,” ujar Omar Assaf, salah satu penggagas aksi.

Assaf menjelaskan, aksi mogok ini tidak berlangsung penuh sepanjang waktu. Pada awalnya, ia dan rekan-rekannya melakukan mogok makan terbuka selama 17 hari berturut-turut.

Setelah itu, aksi berlanjut dalam bentuk mogok sebagian, 3 kali sepekan, setiap Sabtu, Senin, dan Kamis. Aksi itu disertai dengan unjuk rasa di Lapangan Manara, pusat Kota Ramallah.

“Pada hari-hari itu kami benar-benar tidak makan. Seiring waktu, dukungan terus meluas hingga kini menjangkau 100 kota di berbagai belahan dunia,” katanya.

Menurut Assaf, aksi serupa terjadi di 12 negara bagian Amerika Serikat (AS), serta di sejumlah negara Eropa, termasuk Spanyol, Prancis, Swedia, dan Belanda.

“Kami optimistis kampanye ini akan berlanjut dan berkembang lebih besar lagi,” ujarnya.

Solidaritas untuk para tahanan

Selain untuk Gaza, aksi mogok makan ini juga ditujukan sebagai bentuk solidaritas bagi para tahanan Palestina di penjara-penjara Israel.

Menurut Muzhaffar Zouqan, Direktur Klub Tahanan di Nablus, para tahanan sudah hampir dua tahun menjalani “perang melawan kelaparan” akibat kebijakan penjara Israel.

“Ironisnya, pola kelaparan sistematis yang diterapkan terhadap rakyat kita di Gaza juga dijalankan di dalam penjara. Keduanya adalah wajah dari kebijakan pemusnahan yang sama,” tegas Zouqan.

Ia menambahkan, aksi mingguan berikutnya akan bertepatan dengan penyelenggaraan Sidang Majelis Umum PBB.

“Kami berharap itu bisa menjadi momentum penting untuk kembali menegaskan hak rakyat Palestina menentukan nasib sendiri dan mendirikan negara merdeka,” katanya.

Menanggapi keraguan sebagian pihak tentang efektivitas aksi semacam ini, Zouqan menegaskan bahwa nilai utamanya terletak pada penyampaian pesan.

“Melalui media dan jejaring sosial, suara kita bisa sampai ke seluruh dunia. Pendudukan tidak lagi bisa menutupi fakta atau menyembunyikan skala kejahatan yang terjadi,” ujarnya.

Ia menutup dengan penekanan bahwa setiap bentuk partisipasi dalam aksi solidaritas, sekecil apa pun, merupakan kewajiban nasional.

“Aksi ini menjaga agar isu para tahanan tetap hidup dalam kesadaran rakyat Palestina, sekaligus memberikan dukungan moral yang besar bagi keluarga mereka,” kata Zouqan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular