Perjanjian kerja sama pertahanan bersama yang ditandatangani Arab Saudi dan Pakistan pada Rabu (18/9) lalu dinilai mencerminkan kesadaran kedua negara atas ancaman besar yang kini membayangi kawasan.
Kesepakatan itu bahkan dipandang berarti bahwa persenjataan nuklir Islamabad bisa berada di bawah kendali Riyadh jika kerajaan tersebut menghadapi serangan, sebagaimana disampaikan analis politik Saudi, Munif Ammasy al-Harbi.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera, al-Harbi menegaskan bahwa agresi Israel ke Doha, Qatar, pekan lalu menjadi penanda bahwa kawasan ini menghadapi bahaya terbesar sejak 1948.
Menurutnya, kondisi itu dipicu oleh semakin hilangnya kendali Washington atas kebijakan Tel Aviv.
Kesepakatan yang diteken Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman, dan Perdana Menteri Pakistan, Shehbaz Sharif, memuat klausul bahwa serangan terhadap salah satu pihak akan dianggap sebagai serangan terhadap keduanya.
Bagi al-Harbi, hal ini sejajar dengan pasal kunci dalam perjanjian pendirian Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Dengan ketentuan itu, seluruh instrumen pertahanan yang dimiliki masing-masing negara otomatis dapat digunakan untuk melawan agresi eksternal, termasuk arsenal nuklir milik Pakistan.
Lebih jauh, al-Harbi menekankan bahwa kerja sama pertahanan tersebut tidak hanya menyangkut keamanan Saudi dan Pakistan semata, tetapi juga mencakup keamanan negara-negara Teluk dan dunia Arab.
Hal ini dianggap penting terutama jika komunitas internasional gagal merespons ancaman atau jika kekuatan regional enggan bersikap.
Kemitraan yang dapat diskalakan
Meski demikian, Riyadh tidak bermaksud mengganti kemitraan strategis dengan Amerika Serikat (AS), melainkan memperluas jaringan aliansi pertahanannya.
Saudi, kata al-Harbi, sebelumnya sudah memperkuat hubungan dengan Washington dan Paris, sekaligus membuka ruang kerja sama dengan Beijing maupun New Delhi.
Arab Saudi juga pernah menandatangani kontrak strategis dengan Tiongkok pada 1988, kendati langkah itu memicu ketidaknyamanan di Washington.
Bagi Riyadh, pengalaman itu menunjukkan kemampuan menciptakan keseimbangan demi menjaga keamanan nasional, Teluk, maupun kawasan Arab.
Pandangan serupa disampaikan jurnalis Pakistan yang menekuni isu pertahanan, Muhammad Ali. Ia menyebut kesepakatan Saudi–Pakistan sebagai langkah “bersejarah dan penting”.
Menurutnya, perjanjian itu lahir dari realitas kawasan yang penuh ketidakpastian, diperkuat oleh respons militer Pakistan yang dianggap berhasil menangkis serangan India pada Mei lalu.
Sementara itu, kekuatan besar dunia dinilai gagal memenuhi kebutuhan keamanan negara-negara di kawasan.
Dengan begitu, Pakistan muncul sebagai garda depan jaringan keamanan baru yang dimotori Saudi, dan kemungkinan akan diikuti negara-negara lain.
“Fakta bahwa negara paling berpengaruh di Timur Tengah segera mencari payung keamanan ke Pakistan, hanya sepekan setelah agresi di Doha, menunjukkan akan ada negara lain yang menyusul demi memperkuat pertahanan mereka,” ujar Ali.
Perjanjian strategis Saudi–Pakistan diteken hanya sepekan setelah serangan Israel ke Doha pada 9 September lalu yang menyasar pertemuan pimpinan Hamas di ibu kota Qatar tersebut.