Friday, September 19, 2025
HomeBeritaPara pakar Israel prediksi kembalinya “Serigala Lone Wolf” di Tepi Barat

Para pakar Israel prediksi kembalinya “Serigala Lone Wolf” di Tepi Barat

Tepi Barat kembali menunjukkan tanda-tanda meningkatnya aksi perlawanan individu yang oleh Israel disebut sebagai “teror serigala lone wolf”.

Sejumlah serangan terjadi dalam beberapa hari terakhir, mulai dari Yerusalem, Tulkarm, hingga perbukitan di sekitar Yerusalem.

Rangkaian insiden itu—termasuk serangan bersenjata di Yerusalem, pelemparan bom rakitan ke arah pos militer Israel di dekat gerbang “Nitzanei Oz” di Tulkarm.

Selain itu juga aksi penusukan di sebuah hotel di Kibbutz Tzova di barat Yerusalem—mendorong aparat keamanan dan militer Israel menaikkan status siaga serta membahas langkah-langkah pencegahan baru.

Dalam laporannya, harian Yedioth Ahronoth mengutip peringatan dari kalangan keamanan Israel tentang meningkatnya aksi-aksi individu terhadap tentara dan pemukim Israel di Tepi Barat maupun Yerusalem Timur.

Militer bahkan disebut mulai mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan perubahan politik, termasuk skenario pengakuan internasional yang lebih luas atas negara Palestina.

Seorang pejabat senior keamanan Israel menyebut bahwa gelombang serangan terakhir ini seluruhnya tergolong “teror individu”, bukan hasil operasi kelompok bersenjata terorganisasi.

Menurutnya, menurunnya serangan kelompok di Tepi Barat berkaitan dengan operasi militer Israel yang membongkar basis-basis perlawanan di kamp Jenin, Tulkarm, dan Nur Shams.

Kehadiran militer di kawasan itu dinilai memperkuat efek jera di kamp lain seperti Aqabat Jabr, Askar, dan Amari.

Namun, pejabat tersebut mengakui ancaman dari sel-sel bersenjata belum sepenuhnya hilang. Bentuk serangan kini lebih banyak bersifat individual, dengan kekhawatiran utama tertuju pada kemungkinan satu serangan besar.

“Keberhasilan beberapa aksi belakangan ini berpotensi mendorong orang lain menirunya,” ujarnya.

Dari daya cegah ke genggaman besi

Dalam penilaian aparat keamanan Israel, gelombang serangan ini bukanlah insiden acak, melainkan cerminan suasana umum yang dipicu oleh perang berkepanjangan di Gaza dengan segala gambarannya yang mengoyak.

Militer Israel kini tengah menyiapkan perubahan aturan lapangan, mulai dari memperluas operasi penangkapan hingga memperketat pergerakan di wilayah-wilayah tertentu.

Diskusi pun bergulir mengenai kemungkinan redefinisi aturan keterlibatan pasukan.

Sebagian kalangan di Israel menilai, meningkatnya fenomena ini dapat dimanfaatkan pemerintah untuk memperketat kontrol keamanan di Tepi Barat.

Bahkan, tak tertutup kemungkinan fenomena ini akan dikaitkan dengan narasi lebih luas soal “pertempuran kesadaran” yang selama ini dijadikan pijakan Israel dalam menghadapi rakyat Palestina.

Situasi ini menyingkap kaitan erat antara kepentingan militer dan tujuan politik, terlebih di tengah krisis kepemimpinan dalam negeri.

Pemerintahan koalisi yang sedang tertekan oleh kegagalan operasi di Gaza, dinilai berusaha menggunakan isu keamanan untuk mengalihkan perhatian publik.

Gaza dan Tepi Barat: Dua front paralel

Di balik sorotan, Israel tetap menggerakkan manuver militernya di Gaza, di mana intensitas serangan udara mereda dan bergeser menjadi operasi lapangan yang lebih terukur.

Namun, meningkatnya aksi individu di Tepi Barat memaksa munculnya persamaan baru: front Gaza dan Tepi Barat saling terkait—tekanan militer di satu sisi berpotensi menyalakan kembali gelombang perlawanan di sisi lain.

Kembalinya serangan-serangan individu, menurut analisis di Israel, menjadi sumber kekhawatiran ganda: keamanan dan politik.

Di satu sisi, insiden-insiden itu mengancam menggoyahkan kepercayaan publik terhadap kemampuan militer untuk mempertahankan daya cegah.

Di sisi lain, pemerintah dihadapkan pada dilema kebijakan—apakah memperketat lagi “genggaman besi” atau membuka jalan politik yang bisa meredam motivasi ledakan massa.

Memperkuat daya cegah

Untuk menghadapi apa yang disebut Israel sebagai “teror serigala lone wolf”, wartawan Yedioth Ahronoth untuk Tepi Barat, Elisha Ben Kimon, melaporkan bahwa Komando Tengah Angkatan Darat—di bawah kepemimpinan Brigadir Jenderal Avi Blot—menekankan respons cepat terhadap pelaku dan jaringan pendukungnya, berdasarkan rencana menghadapi skenario serangan individu.

Ben Kimon menulis bahwa inti rencana militer itu sederhana: jika aparat gagal menggagalkan serangan sebelum terjadi, maka kecepatan mencapai pelaku dan rekan-rekannya setelah aksi serta pemberian sanksi kepada mereka adalah kunci untuk memperkuat efek jera.

Langkah semacam itu, menurut pengamat, merupakan wujud dari kebijakan yang cenderung menempatkan hukuman kolektif terhadap warga Palestina.

Kebijakan ini juga mencakup praktik pembongkaran rumah pelaku. Namun, sejumlah pejabat keamanan menyatakan ketidakpuasan terhadap lambatnya pelaksanaan.

Proses hukum dan birokrasi sering membuat eksekusi pembongkaran memakan waktu berbulan-bulan hingga lebih dari setahun.

Menanggapi kelambanan tersebut, komandan Divisi Yehuda dan Samaria, Brigadir Jenderal Kobi Heller, memutuskan agar pasukan menutup akses rumah pelaku segera setelah aksi.

Sambil menunggu proses hukum untuk memuluskan langkah pembongkaran, dengan alasan adanya “kaitan langsung antara penyerang dan rumahnya”.

Sejak insiden penembakan di desa al-Mughir, timur Ramallah, sekitar sebulan lalu, Ben Kimon mencatat bahwa Komando Tengah telah mulai menerapkan kebijakan baru yang menyasar lingkungan dan geografi desa asal pelaku.

Tujuannya, menurut laporan, adalah menyampaikan pesan tegas kepada warga: bila serangan keluar dari desa mereka, maka desa itu akan menjadi prioritas sasaran keamanan.

Dalam praktiknya, kebijakan itu mencakup langkah-langkah yang lebih luas: penempatan desa dalam lingkaran target keamanan, penyitaan lahan, penggusuran tanaman dan pepohonan, serta pembongkaran bangunan yang dinilai tak berizin.

Pendekatan ini menunjukkan pergeseran dari penekanan pada pelaku individu ke upaya menekan lingkungan sosial dan ekonomi yang diduga menopang aksi-aksi kekerasan.

Israel perketat upaya membendung serangan “Lone Wolf”

Salah satu strategi utama yang kini ditempuh aparat keamanan Israel dalam menghadapi gelombang serangan individu atau lone wolf adalah memberangus apa yang mereka sebut sebagai “penghasut” serta segala bentuk ajakan yang mendukung aksi kekerasan.

Hal ini dilaporkan laman berita Israel, Ynet, Jumat (19/9/2025).

Sejak meletusnya perang di Gaza, tentara dan kepolisian Israel meningkatkan operasi untuk menekan apa yang mereka kategorikan sebagai “provokasi” serta melakukan penyisiran terhadap pihak-pihak yang dianggap “penghasut”.

Langkah itu dilakukan menjelang kemungkinan munculnya gelombang serangan baru, seiring dimulainya operasi darat “Arabat Gideon 2”.

Data aparat keamanan Israel menunjukkan, sejak awal 2025, sudah ada 255 berkas tuntutan hukum terkait tuduhan penghasutan dan dukungan kepada organisasi yang dikategorikan musuh.

Jumlah itu berasal dari 433 kasus yang dibuka Kepolisian di wilayah Tepi Barat (disebut Israel sebagai “Yehuda dan Samaria”).

Dalam periode yang sama, 343 orang ditangkap atas dugaan menghasut “terorisme”. Sebanyak 294 orang di antaranya masih ditahan sambil menunggu proses hukum.

Sebagian besar tuduhan itu bertumpu pada unggahan di media sosial, yang berisi ajakan menyerang aparat keamanan dan pemukim Israel, serta memuji kelompok-kelompok yang oleh Israel dimasukkan dalam daftar organisasi teroris.

Tantangan “serigala tunggal”

Meski operasi pengawasan diperketat, tantangan terbesar datang dari apa yang diistilahkan Israel sebagai “teror serigala tunggal”.

Yakni serangan individu yang tidak terkait langsung dengan organisasi tertentu.

Peneliti dari Institut Kebijakan dan Strategi Universitas Reichman, Lior Akerman, mempertanyakan langkah yang dapat diambil bila intelijen gagal mendeteksi rencana serangan.

Menurutnya, peran Dinas Keamanan Dalam Negeri (Shin Bet atau Shabak) menjadi kurang efektif dalam menghadapi pola serangan ini.

Fenomena serangan individu sejatinya bukan hal baru. Pola ini mulai menonjol sejak gelombang serangan 2015–2016 dan kini berpotensi berkembang menjadi gerakan yang lebih luas, bahkan menjurus pada intifada baru.

Akerman mencatat, selama setahun terakhir, Shin Bet berhasil menggagalkan ratusan rencana serangan terorganisasi berkat keunggulan intelijen.

Namun, lonjakan tajam aksi individu melemahkan kemampuan pencegahan dini karena serangan itu nyaris tak meninggalkan jejak intelijen yang jelas.

Bagi Akerman, tindakan parsial seperti menutup rumah pelaku atau merobohkannya tidak akan menyelesaikan persoalan.

Ia menilai, diperlukan strategi jangka panjang yang menyasar akar penyebab kekerasan, termasuk upaya meredam penghasutan dan membangun kerangka politik serta keamanan baru.

“Tanpa langkah strategis semacam itu, kemungkinan meluasnya gelombang serangan bersenjata akan tetap terbuka,” kata Akerman.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular